All Chapters of Luna dan Para Garda Patriot: Chapter 11 - Chapter 20
26 Chapters
11 - Papa Si Pendekar Sepatu Sakti
Apa sih yang Dirga lakukan sampai dikejar seperti tukang copet? Luna  berlari ke lift yang ada di tengah lorong apartemennya, lalu menekan tombol agar lift itu naik. Dengan tidak sabar ia menunggu pintunya terbuka, tetapi angka penanda lantainya bergerak ke atas dengan sangat lambat. Tidak ada waktu lagi. Semakin lama ia berdiri di sini, entah apa yang akan terjadi kepada Dirga. Jadi Luna terpaksa memilih alternatif jalan lain yang kurang disukainya: Tangga darurat.  Tangga itu sempit dan curam, jelas bukan pilihan pertama untuk orang yang sedang terburu-buru. Penerangannya juga suram. Luna menuruni tangga secepat mungkin sambil berhati-hati menjaga langkahnya agar ia tidak terpeleset. Walaupun ingin segera sampai ke bawah, turun sambil jatuh berguling-guling jelas bukan ide yang bagus. Udara di sana juga pengap dan berbau cat yang menyengat. Orang biasa mungkin bisa pingsan kalau mereka menuruni dua belas lan
Read more
12 - Kristal dan Pin
Rasanya Luna seperti mendengar Papa akan menceritakan hal yang memalukan kepada Dirga, seperti. “Luna kalau tidur sering ngiler.” atau. “ Tahu nggak? Anaknya Oom ini sampai SD kelas satu masih sering ngompol, lho.”  Namun yang satu ini bakal lebih payah.    Kalau ada satu kalimat saja yang salah keluar dari mulut Papanya, Dirga akan terus bertanya sampai anak itu merasa puas. Bu Win saja sering bingung kalau temannya itu mulai bertanya macam-macam tentang pelajaran. Luna takut kalau Papa sampai kelepasan bicara, Dirga pasti mengetahui rahasianya dan menganggap Luna sebagai cewek monster, sama seperti Ara dan teman-temannya yang lain. “Ini namanya kristal matahari,” kata Sadewa memperlihatkan kristal yang baru saja dilepas dari kalung Luna. “Kristal ini langka soalnya bisa simpan tenaga matahari dan bisa dipakai buat sembuhin penyakit.” Ia memandangi Luna.  “Dari dulu Luna sakit-sakitan. Dia butuh batu ini biar tetap sehat kayak anak-an
Read more
13 - Es Krim
13 – Luna hanya melongo memandangi pin yang baru saja berbunyi.  Ia menoleh kepada Papa dan Dirga, berharap salah satu dari mereka bisa memberi saran. Namun, keduanya tampaknya terlalu kaget untuk bicara, bahkan Dirga menatapnya dengan mulut menganga seolah baru saja melihat Luna sudah berubah jadi kodok raksasa. Pin di tangannya kemudian berbunyi lagi. Kali ini suaranya tinggi seperti suara perempuan. “Ini  Ti… A… nggak tahu kemana dia … Anak itu… krrsssk … kristal matahari …. bahaya ….. kita harus … kkrrsrk … Maya …” Mendengar nama itu, perut Luna seakan diaduk-aduk. Rasa penasaran menyengatnya, tetapi entah dari mana Luna mendapat keberanian. Ia mendekatkan pin itu ke mulutnya dan mulai bicara. “Ini siapa ya? Kenapa sama  Maya? Halo?” “Kamu … siapa?&r
Read more
14 - Ayo Makan Siang Dulu
Hari Sabtu di minggu berikutnya yang dinanti Luna akhirnya tiba. Jam setengah tujuh pagi ia sudah bangun, tetapi tidak cukup pagi untuk mengantar Papanya. Sadewa akan terbang dengan pesawat jam delapan, yang artinya ia sudah berangkat dari subuh tadi.   Sambil menguap, Luna berjalan ke luar kamar. Di ruang televisi, ia menemukan sebuah ponsel tergeletak di meja, selembar surat, dan juga tiga lembar uang seratus ribu. Butuh sedikit usaha untuk membaca tulisan Papanya yang seperti cacing yang meliuk-liuk kepanasan.   Papa pergi dulu, Minggu depan Papa baru pulang. Pulsa  ponsel kamu udah Papa isi. Telepon Papa kalau ada yang penting. Papa juga udah isi saldo buat kamu pesan ojol kalau kamu mau berangkat sekolah. Uang di meja buat makan & jajan kamu selama seminggu, jangan diborosin. Kunci pintu kalau mau pergi, dan jangan lupa  matikan TV  sama AC. Pakai teko listrik  kalau mau masa
Read more
15 - Terperangkap di Kamar Ganti
Pin itu bentuknya sama dengan pin milik Dirga, hanya saja lebih berkilau dan tidak ada bekas lecet atau terbakar. Luna membalik pin itu, dan semakin terkejut ketika merasakan tombol-tombol kecil di belakangnya. “Luna? Udah selesai makannya?” Suara Maya mengejutkan Luna. Ia berdiri dengan terburu-buru dan terbentur bagian bawah meja. Sambil meringis, ia keluar dari bawah meja.       “Kak, ini … aduh .. ini ada yang-” Luna ingin menyerahkan pin itu, tetapi Maya langsung menggandeng tangannya dan menuju pintu ke luar. Kepala Luna masih berdenyut-denyut.  Ia bahkan hampir menabrak seorang pelayan yang membawa nasi dan cap cay yang mengepul  panas. Luna tidak berani bertanya mereka mau kemana. langkah kaki Maya semakin lama semakin cepat, sementara pegangannya pada tangan Luna semakin keras. Luna akhirnya memaksa untuk
Read more
16 - Kristal Matahari
Selamat datang di kelompok para ksatria, untuk menguji kemampuanmu, tolong curi satu telur naga mahabengis di atas puncak gunung sana.  Kira-kira Luna merasa permintaan Maya seperti itu. Kristal matahari? ia pasti salah dengar. “Kristal matahari saya? ” tanya Luna memastikan. “Mbak butuh kristal itu buat apa?” “Kristal itu berbahaya, Luna,” ucap Maya dengan nada serius. “Kamu sendiri tahu kalau kristal itu bisa kasih kekuatan hebat ke orang lain. Kamu anak yang baik, jadi mbak ngga kuatir, tapi gimana kalau kristal itu dipegang orang yang jahat? ” Seperti si pemuda rambut merah mungkin? Ini ketiga kali Luna berurusan dengannya dan sudah dua kali  ia selalu bertemu dengan bayangan hitam yang menakutkan itu. Mungkinkah pemuda itu juga punya kekuatan kristal yang sama seperti dirinya dan menjadi jahat? Memikirkannya membuat L
Read more
17 - Ambil atau Tidak?
Bongkahan itu tidak berbentuk bulat mulus seperti Kristal matahari yang biasa dipakai Luna. Banyak kerikil dan pasir masih menempel membuat warnanya menjadi kusam. Ukurannya juga bermacam-macam. Dari yang terkecil berukuran seperti bola bekel sampai sebesar bola kasti. Luna menghitung jumlahnya, ada tujuh buah kristal di sana.  Papa tidak akan curiga kalau ia mengambil satu, bukan? Pikiran itu berbisik di kepala Luna, berulang-ulang seperti gema yang semakin lama semakin nyaring,  membuat tangannya bergerak sendiri dan meraih sebuah kristal. “Kamu lagi nyari apa?” Luna nyaris melompat karena kaget, kristal matahari yang ia pegang kembali meluncur ke dasar ransel. Sadewa berdiri di belakangnya dan mengangkat alis. “Eng, .. lagi beresin tasnya Papa.” jawab Luna mencari-cari alasan. “Itu di dalam ada kristal matahari ‘kan? Papa dapet dar
Read more
18 - Saya Buru-Buru, Bang!
Awalnya, Luna mengira setelah kristal matahari ada di tangannya ia bisa tidur dengan nyenyak. Namun,  ia keliru. Kristal itu seharusnya sudah aman sekarang. Setelah sukses menjalankan aksinya, Luna memasukannya ke dalam tas sekolah. Tertutup kaus olahraga dan tersembunyi di antara buku-buku paket yang tebal. Sayangnya, Luna merasa tidak mengantuk lagi.  Kedua matanya tidak mau diajak istirahat sampai jam tiga pagi. Luna merasa baru terlelap beberapa detik saat ia mendengar panggilan Papa dari balik pintu kamar. “Buruan mandi, nanti kamu kesiangan lho.” kata Sadewa.  Luna melirik jam wekernya dan mengerang. “Sekarang’kan masih jam setengah enam, pa.” “Katanya mau ke kantor Papa dulu ambil batu. Kalau nggak, nanti kamu telat masuk sekolah.” Luna mengerang lagi. Batu untuk pelajaran IPA hanya cerita bohong
Read more
19 - Balap Sepeda yang Melelahkan
Mungkin Maya tertangkap oleh gerombolan orang jahat. Ia bisa saja disandera di suatu tempat, bahkan sekarang sedang terluka dan butuh bantuan, atau bisa saja lebih buruk lagi. Luna buru-buru menghentikan pikiran-pikiran yang menakutkan itu.    Di tengah rasa panik, ia berpikir keras. Ide yang pertama muncul adalah ia harus menelepon polisi, tetapi ia bahkan tidak tahu Maya ada di mana. Ide lainnya lalu muncul.  Ia harus minta tolong kepada teman-teman Maya. Garda Patriot pasti punya banyak jagoan hebat yang bisa menolong Maya. Masalahnya, di mana markasnya? Luna juga tidak tahu. Namun, Luna kenal orang yang mungkin saja mengetahui markas mereka. Dirga, tentu saja dia.   Tanpa membuang waktu, Luna bergegas mencari nomor telepon rumah Dirga yang ia catat. Butuh waktu agak lama untuk menemukannya karena kertas catatan itu terselip dalam buku
Read more
20 - Ojan dan Malih
Luna harap Dirga sedang tidak bercanda. Mereka  sekarang berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang lebih cocok menjadi rumah hantu.  Rumah itu kelihatan suram dan sudah ditinggalkan oleh pemiliknya bertahun-tahun. Dinding yang seharusnya bercat putih tampak kuning dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya juga banyak yang pecah. Di depan pagarnya yang besar, ada Papan tanda DIJUAL yang sudah miring dan lapuk. “Beneran di sini ?” kata Luna ketika bunyi di pin Dirga sudah berhenti. Dirga mengeluarkan pinnya dan menyorotkan ke dinding terdekat. Sekarang, Luna bisa melihat dua titik kuning di peta sekarang hampir saling menempel satu sama lain. “Orangnya pasti di sini,” kata Dirga yakin. “Mau masuk?”    Tidak ada kata mundur lagi. Langit di atas kepala Luna sudah mulai berwarna oranye. Ia harus menyelesaikan ini dan p
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status