Semua Bab Katakan Saja Ini Takdir: Bab 11 - Bab 20
91 Bab
10. Pelukan Lily (Jangan menangis Uncle)
  Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Baca selengkapnya
11. Skateboard
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai
Baca selengkapnya
12. Rose?
  Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa. Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara. Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel. Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Baca selengkapnya
13. Umpatan mengerikan
Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya. Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai. Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti. Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan,
Baca selengkapnya
14. Pelukan Jeffry
  "Adek, kamu dimana?" teriak Rose sesaat setelah mendapati ruang tengah dimana biasanya di jam ini Lily bersantai sambil menonton TV. Rose telah mampu menata hatinya untuk memberanikan pulang ke rumah, mencoba untuk mengendalikan debaran-debaran menyakitkan setelah beberapa jam yang lalu bertemu kembali dengannya. Apa jadinya jika dirinya berantakan di depan buah hatinya sendiri, tidak membayangkan berbagai macam pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Lily mengingat tingkat kepekaan putrinya itu sungguh luar biasa "Adek, kamu dimana sih?" teriak Rose lebih keras lagi. Pintu terbuka dari lantai dua, itu dia anaknya, Lily berlari ke arah Rose dengan hati-hati, kaki mungilnya menuruni tangga, senyuman merekah itu mampu membuat Rose merasa sedikit lega, mungkin itulah obat paling manjur yang ada di dunia ini. "Mana kue pesananku, mom?" tanyanya polos dan juga bingung, matanya mengarah mencari-cari disekitar jemari Rose, namun nihil, ibunya
Baca selengkapnya
15. Perasaan sakit Vee
Otak boleh semrawut tapi, pekerjaan tetap harus diurus. Beginilah aktifitas Vee Kanesh Bellamy untuk menghabiskan waktu guna memusnahkan petang akibat tidak dapat menemukan ketenangan di waktu malam.  Duduk di tempat kerja, kacamata bertengger dengan gagahnya serta jari-jari yang menari di sepanjang papan keyboards sebuah komputer. Vee memincingkan mata dengan konsentrasi penuh pada layar bercahaya dengan berbagai susunan huruf di dalamnya.  Kopi yang berada dalam cangkir disebelah kanannya terhitung tiga; jumlah konsumsi yang cukup berlebihan mengingat lambung pria itu sedikit bermasalah dari muda. Mengingat tentang kopi. Vee memang kurang setuju dengan kebiasaan barunya ini. Tapi mau bagaimana lagi. Selain obat tidur, cuma air hitam dengan rasa pait itu yang saat ini setia menjadi teman malam. Mata Vee tiba-tiba memanas saat pintu menyibak secara mendadak, menampilkan sosok Zara dengan kepalan tangan menggenggam ponsel serta mata memin
Baca selengkapnya
16. Sial beruntun
Mungkin hari ini adalah hari yang sangat menyebalkan untuk wanita yang menyandang status sebagai single parent yang tak lain dan tak bukan adalah Rose Alyne Everleight. Bagaimana tidak, sepagi ini kakaknya yang sangat menyebalkan itu tiba-tiba menunjukkan batang hidungnya, pun merecok pula. Jeffry Argiato Samanta. Ya. Pria yang sedang asik duduk bercengkrama dengan Candra itu adalah dalangnya; mengatakan dan melebih-lebihkan informasi sehingga watak kakaknya yang sangat berlebihan itu membuat tubuhnya yang kekar menyempatkan waktu untuk mampir menuntut penjelasan. Apalagi jika bukan tentang pertemuan Vee Kanesh Bellamy dengan putrinya Lily Berna Samanta waktu lalu. Rasanya saat ini Rose ingin sekali menggorok leher Jeffry. Seakan belum cukup Jeffry mengatakan hal ini kepada bapak Fernandez yang terhormat hingga pria tua itu bernafsu lagi untuk menghancurkan Vee. Namun, niat menggorok leher Jeffry terpaksa diurungkan oleh Rose, menginga
Baca selengkapnya
17. Sial beruntun 2
Ok, anggaplah hari ini memang adalah hari yang benar-benar sial untuk Rose. Belum sempat raganya mendudukkan diri untuk sekedar minum kopi. Kini, netranya menatap kertas dari tangan lentik milik sekertaris pribadi sekaligus salah satu Dokter di Rumah Sakit ini, parasnya cantik, semua mengakui."Kau gila?" Rose membanting kertas itu sampai ke lantai, anggaplah Rose saja yang gila, bukan wanita di depannya. Namun, bagi Rose, sekertaris yang merangkap menjadi teman semasa sekolah menengah atasnya, dulu, lebih gila darinya.Shane. Nama wanita itu Shane, pribadi dengan pawakan bak model, molek aduhai yang tengah menghembuskan napas beratnya. "Boleh aku berbicara sebagai teman?""Ya, silahkan," jawab ketus Rose."Sekarang apa masalahmu Rose, ayolah, ini demi Rumah Sakit, " bujuk Shane akhirnya, sangat serius bahkan beribu-ribu kali lipat lebih serius.Rose tetap diam ketika tubuh menjulang tinginya itu sudah duduk tenang di kursi kebesarannya. Direktur U
Baca selengkapnya
18. Vee-Leon
Suara pantulan bola menggema melengkapi sunyi yang begitu kelam di malam hari ini, sepasang kaki itu tak henti berlari, memutar bahkan melompat dengan tangan yang menggiring benda bulat orange. Peluh yang meluruh dari dahi dibiarakan begitu saja. Lantas, kakinya telanjang tanpa terbungkus apapun, banyak goresan bahkan cairan kental merah berceceran mengikuti jejak pijakannya. Bukan hanya kondisi fisik yang tersiska dibalik napas engahnya, hatinya tersiris perih, pun menjalar, belum lagi punggungnya yang saat ini dipasrahkan pada lantai paping dingin di pinggir lapangan. Vee Kanesh Bellamy, sekali lagi dilemparkan pada ingatan masa lalunya saat mata hangat itu menatap langit gelap menembus tanpa batas menampilkan pijaran bintang yang samar tak terlihat. Kepalanya berpangku pada tangan yang di lipat dibawahnya. "Begini sangat nyaman," gumamnya sembari memejamkan mata. Semilir angin yang tiba-tiba berhempus mampu menggoyangkan anakan rambutnya, dilihat d
Baca selengkapnya
19. Vee-Lily
Benda bulat yang mengeluarkan terik panas itu sudah menggantung di langit atas, Vee yang saat ini baru terbangun mendadak mengrenyit karena silau dari matahari menembus matanya. Pria itu mendudukkan diri dengan keadaan mengenaskan, pandangannya kini berpindah untuk memindai sekelilingnya, lalu seakan dibungkam dengan keadaan saat matanya melotot pada gelang jam yang sedang dengan santainya menunjukkan pukul tujuh pagi. "Haiiis, sial, kenapa aku bisa ketiduran di lapangan ini," rutuknya bersamaan itu mencoba untuk berdiri. "Akash," ringisnya menyadari saat dirasa kakinya memanas sakit ketika mencoba untuk sedikit melangkah. Benar kata Leon tadi subuh, luka sobekan itu sangat parah dan harus dijahit. Vee yang sekarang sedang menatap pada kaki itu merasa ngilu sendiri. Ayolah, jangankan untuk dijahit, disuntik saja pria dewasa itu ketakutan setengah mati. Sedangkan di luar sana, puluhan pasang kaki melangkah ingin memasuki gedung Jakarta Revolution Eleme
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status