All Chapters of Katakan Saja Ini Takdir: Chapter 21 - Chapter 30
91 Chapters
20. Akal bulus Lily
Tidak lagi terasa perih, kini kakinya pun dapat menekan gas mobil dengan rapih. Membelah kota Jakarta yang nyatanya terlewat sepi ditemani jalanan yang tak cukup isi. Vee Kanesh Bellamy, sudah melakukan berbagai cara dengan modal pita suara, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataan tetap kenyataan, Lily cukup membuatnya membungkam dan nurut saja. Vee, seakan dibuat lupa untuk kesekian kali. Ada perasaan aneh yang selalu memaksa untuk menuruti gejolak jiwa. Lily Berna Samanta, gadis cilik itu seakan menghipnotisnya, benci sekali pun sungguh tidak bisa. Perangai manisnya tengah mampu menarik total tubuh Vee untuk nyaman berada di dekatnya. Pria dewasa itu yakin, pun sadar dengan perasaan yang tidak bisa ditarik begitu saja, benar-benar nyaman dan apa adanya. Sekarang lihat saja, betapa bahagianya buntelan kecil dengan kantung plastik berisi makanan yang asik nangkring di pahanya. Duduk dibagian jok samping dimana Vee sedang menyetir, gadis itu, Lily, m
Read more
21. Suasana buruk
Sebegitu membingungkan segala urusan yang berada di depan mata, pun dengan keadaan terluka hatinya. Rose, masih terbayang akan satu kata yang kian lama kian menusuk tanpa ampun.Bagai luka yang digoreskan begitu dalam, Rose hanya mampu membayangkan bagaimana caranya untuk tenggelam, bersembunyi dari masa kelam. Baginya, kata—jalang—yang didengar dua hari yang lalu masih saja terngiang dan menimbulkan luka baru yang bahkan hasil tikaman dimasa lalu sampai saat ini masih ternganga lebar.Tidak pernah Rose membayangkan, walau sekali saja ,pun untuk menjawab segala pertanyaan di hatinya seakan buntu. Wanita dengan kacamata membingkai matanya itu sampai bingung tak menentu. Menurutnya ada sesuatu yang mengganjal di balik kata, jalang.Meski Rose berkali-kali mengatakan jika hanya Lily saja yang mampu mempengaruhi hidupnya saat ini, namun dengan adanya pria itu, yang berada dihadapannya langsung mampu mebuat otaknya kembali kotor oleh prasangka buruk, sepe
Read more
22. Siapa suami Rose?
Lily lapar, oleh sebab itu beberapa saat yang lalu, Rose memanggil perawat Selena untuk membawanya ke restoran dekat rumah sakit. Pekerjaan Rose masih menumpuk sebukit. Belum lagi, dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang bertambah semakin rumit. Vee masih disini, dengan luka goresan di siku tangannya, kulit sedikit mengelupas, tapi tidak parah yang mengharuskan ada proses jahitan. Terpaksa, juga karena naluri seorang dokter, Rose mengobati luka itu dengan telaten sembari tetap mengontrol degub jantungnya yang sedari awal sudah menggila. "Selesai. Jangan lupa setiap hari dibersihkan. Untuk luka jahitan, seminggu setelah ini anda bisa datang kemari. Kalau anda tidak mau dirawat oleh saya. Anda bisa menghubungi Dokter lain. Terserah anda saja mana baiknya." Rose berkata dengan gerakan tangan yang super sibuk membereskan peralatan, juga matanya yang tidak fokus menatap lawan bicara. Jika kasus lain dengan dua lakon yang berbeda, mungkin Rose sudah m
Read more
23. Harus paham
Benci? Tentu saja benci itu ada. Tapi, bukan itu alasan utamanya. Hanya saja, Rose tetap mempertahankan logikanya untuk digunakan secara baik dan benar. Tidak mau dan tidak akan pernah Rose membiarkan Lily untuk merasakan kasih sayang yang terbagi dari seorang ayah. Itulah mengapa Rose belum siap untuk membuka lebar kenyataan yang selama ini tertutup rapi bak memori yang terkubur dalam peti mati. Walaupun begitu sakit, Rose masih akan tetap menahan semua hujaman penderitaan dari masa lalunya. Wanita itu harus tetap bertahan demi apa yang diperjuangkan—Lily putrinya. Alasan sampai saat ini Rose dapat melebarkan ranumnya untuk mempertontonkan semburat senyum yang nampak bahagia dari luar. Hingga tidak ada yang pernah tahu bahwa wanita itu selalu menyisihkan waktu untuk membuang air matanya yang serasa tidak pernah ada habisnya. Jika ditanya, apakah Rose masih mencintai ayah dari anaknya?  Of course, yes! Bodoh?  Menurut Rose, cintanya
Read more
24. Siapa Leon?
"Ada apa malam-malam mengajak ku ke tempat ini?" Tanya Jaeko sembari tangannya meletakkan gelas berisi air bening berwarna sedikit cokelat di atas meja. Vee mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya memasrahkan punggungnya di sandaran empuk sofa, "Huh, ada sesuatu yang sangat ingin aku tanyakan," jawabnya sedikit ragu. Vee sepenuhnya lesu. "Memangnya apa yang ingin kau tanyakan, jika aku tau dengan senang hati akan ku jawab." Bersamaan itu pula tubuh Jaeko ikut disandarkan di punggug sofa. "Dimana Lala sekarang?" Mendengar nama istrinya disebut, sontak saja membuat Jaeko terduduk dengan tegak kembali. "Vee, kau sedang tidak tertarik dengan istriku 'kan?" Satu jitakan mulus meluncur di kepala Jaeko. Bisa-bisanya kelinci bodoh itu berpikiran konyol. Mana ada Vee tertarik dengan wanita super bar-bar seperti Lala. Vee berdecak kesal dengan lirikan tajam menghujam. "Aku bicara serius, Ko!!" "Aku juga serius, Vee. Melih
Read more
25. CCTV
Menjejalkan telapak tangan pada kantung celana, Vee berdiri dari balik jendela raksasa yang mempertontonkan hilir mudik transportasi Jakarta di bentangan jalan raya. Matanya memincing tajam, terkadang pula tawanya renyah merana.   Vee menatap penuh ruangan dengan ukuran ekstra lebar yang berada diujung gedung tinggi memuncak sebuah perusahaan. Hari menjelang sore, Vee sudah membuat janji temu dengan seseorang.   Beralih pandangan pada kursi duduknya, pria itu mengayunkan torsonya untuk segera menyamankan bokongnya di sandaran empuk itu. Jemarinya melatuk menimbulkan suara yang beradu di atas meja, pikirannya kosong melalang buana entah kemana.   Suara ketukan pintu mengalihkan afeksinya, pria itu berujar untuk mengucapkan sandi agar benda kotak dengan bahan
Read more
26. Vante
Suasana riuh dari balik ruang VIP restoran Italian yang dipenuhi tanda tawa dan lemparan argumen kekanakan dari dua keluarga yang saat ini sedang melakukan temu kangen. Terlebih ungkapan laki-laki kecil dengan gelagat dewasa itu sangat menggelikan untuk Lily yang berada di sampingnya.   "Aku akan segera tumbuh dewasa, menjadi pria keren yang melamarmu dengan caraku. Aku yakin kamu tidak akan menolak sweety."   Lily memincingkan matanya, tatapan itu lebih ke arah kejengahan. "Sean, berhenti sok dewasa dan berbicara omong kosong," pintanya dengan nada dingin.   Ya, bocah cilik yang menjelma sebagai roman picisan itu adalah Sean. Sepeti yang sudah-sudah, laki-laki terlewat tampan itu sudah sangat kebal medapat bantahan kasar dan tatapan sedingin kutub utara dar
Read more
27. Rekayasa
Sore berganti malam, langit yang semula menguning pun jadi semakin temaram. Cahaya yang selalu diagungkan Dunia menghilang dalam sekejap mata. Seperti hatinya yang saat ini lara karena kebodohannya.   Jika ditanya kenapa—penyesalan—selalu datang diakhir. Maka, satu suku kata itu tidak akan pernah terlahir. Seperti Vee, bermodal otak dangkal, mengambil keputusan tanpa akal.   Lalu, apa yang dilakukan pria itu?   Apakah usahanya sudah mencapai titik temu?   Jawabannya belum sepenuhnya. Nyatanya pria itu saat ini hanya mengumpat dengan sumpah serapahnya. Keabsahan yang baru saja dilempar tepat di depannya memberikan efek yang membuatnya seakan mati rasa. Perasaan benci yang selama ini ditumbuh
Read more
28. DNA-Jebakan
Rose mengoyak isi etalase dengan matanya. Sembari tersenyum, sorotnya menatap berbagai kue yang sudah di desain sangat indah di dalam sana. Hari ini, Rose akan membelikan kue khusus untuk Lily; seperti biasa, mencari kue dengan coklat yang menumpah ruah diatasnya. Beruntung, hari ini sangat banyak stok yang sesuai kriteria kesukaan putrinya.   Tempat ini begitu sunyi dengan musik lirih mengiringi. Suasana hati Rose sangat buruk jika melihat dari kilat matanya. Hidupnya terusik lagi dengan hanya melihat Vee yang beberapa kali berhadapan langsung di depan matanya.   Mengingat lagi, dua hari yang lalu saat Jaeko menerima telefon dari Vee dengan raut mengawatirkan juga membuat Rose kalang kabut memikirkan. Berbagai spekulasi mengerubung tidak jelas dalam benaknya. Ingin acuh namun jujur wanita itu tidak bisa.  
Read more
29. Jebakan Zara
Bar malam di kota Jakarta yang terkenal rupanya tak begitu berbeda seperti delapan tahun yang lalu. Kenzo, pemilik sekaligus bartender di dalamnya tampak masih mempesona bahkan lebih dengan otot sempurna di setiap lengannya. Penari latar yang menggoda dengan lengkungan tubuh yang sedikit terbuka, menampakan belahan dada yang sintal membuat berbinar pria mata keranjang.  Vee, meskipun kurang belaian atau mungkin memang tidak pernah terbelai tak akan mudah terlena dengan kepiawaian gadis jalang. Di membenci wanita seperti itu, mengingatkan pada Rose yang diduganya dulu memiliki peringai yang sama seperti wanita liar dengan minuman memabukkan—tapi tidak dengan sekarang. Secara sadar Vee mengakui salah menilai dan menyesal. "Aku ingin meminta bantuanmu."  "Woyo, miliader sepertimu meminta bantuanku, Bang. Apa aku tidak salah dengar," jawab Kenzo diiringi bercanda. "Mau minum apa dulu. Aku beri gratis karena sudah lama kau tidak mampir kesini," t
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status