Lahat ng Kabanata ng PURA-PURA BAHAGIA: Kabanata 31 - Kabanata 40
116 Kabanata
Selalu terluka
'Tania lagi. Lagi-lagi Tania. Selalu saja Tania yang jadi kebanggaan mereka. Padahal orangnya sudah mati'. Geram Hani dalam hati.  Selalu saja seperti itu. Sejak kecil ia bahkan tidak pernah merasa memiliki hidupnya sendiri, ia harus terus hidup dalam bayang-bayang sang kakak. Selalu dibanding-bandingkan. Apapun yang dilakukannya selalu salah di mata orang tuanya. "Maaf, Yah. Tidak bisakah jangan terus membandingkan aku dengan Mbak Tania? Tidak tahukah Ayah kalau aku terluka setiap kali Ayah membandingkan kami? Bukankah aku juga manusia yang punya hati dan pemikiran sendiri?" Hani memberanikan diri mengungkapkan apa yang jadi uneg-unegnya selama ini dengan suara bergetar. "Pada kenyataanya memang seperti itu, kamu tidak pernah melakukan hal benar
Magbasa pa
Ada yang membuntuti
Hani menghentikan motornya agak menepi di dekat warung kaki lima, saat merasa ada seseorang yang mengikutinya. Wanita itu membalikkan badannya, mengamati ke arah belakang. Tak ada yang mencurigakan. Namun, ia yakin diikuti sejak keluar dari rumah orang tuanya tadi. Dengan sangat hati-hati ia kembali menjalankan motornya. Bagaimanapun, instingnya mengatakan seseorang tengah mengikutinya. Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Tentu rawan kejahatan apalagi untuk wanita seperti dirinya yang masih berkendara di jalan. Baru puluhan meter motornya melaju, lagi-lagi Hani merasakan seseorang tengah mengikutinya lagi. Kali ini bukan berhenti, ia malah semakin mempercepat laju motornya. Semakin cepat sampai akan semakin aman baginya. Hingga sampai di d
Magbasa pa
Pelukan
Hani baru saja akan menjatuhkan bokongnya di atas kursi singel di dalam kamar kosnya sepulang kerja siang ini, saat seseorang mengetuk pintu. Keningnya berkerut, siapa gerangan yang bertamu? Tidak mungkin Marta, tadi gadis itu bilang mau langsung jalan dengan pacarnya yang datang menjemput. Vino juga tidak mungkin, ia bilang mau mengantar ibunya terapi, makanya tadi buru-buru pulang. Ditujunya lagi pintu yang masih diketuk dari luar dengan tak sabar itu. Mata Hani langsung melebar sempurna saat daun pintu sudah terkuak dan menampilkan sosok pengetuk tak sabaran itu. Hani sudah akan menutup lagi pintunya saat tangan itu dengan cepat menahannya. 
Magbasa pa
Benih-benih kebencian
Aiman mendudukkan dirinya di kursi susun empat di samping kakaknya. Wajahnya perpaduan antara lelah, khawatir, dan putus asa. Ibunya masih ditangani dokter di dalam sana, menurut Arum, sang ibu jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Tubuhnya sangat kaku saat ditemukan. "Hani tetap tidak mau ikut?" tanya Arum dengan tetap memandang ke depan. Aiman menarik napas panjang sebelum menjawab. "Mulai sekarang, aku sudah memutuskan Mbak, jangan lagi menyalahkan Hani atas apa pun yang menimpa ibu dan keluarga kita. Apapun yang terjadi, itu sudah takdir. Ibu sakit itu takdir bukan salah siapa-siapa," jawab Aiman juga dengan pandangan kosong ke depan. 
Magbasa pa
Hari itu semakin dekat
"Aku tidak punya teman perempuan, Mbak!" sungut Aiman kesal. "Gajinya si Ratih biar aku yang urus. Asal pastikan dulu kerjanya bagus.""Mbak yakin dia bisa diandalkan, kerjanya rajin, telaten, apalagi kita beri dia tempat tinggal juga, dia pasti mau."Aiman hanya mengangguk tanda setuju dengan usulan kakaknya, toh dia juga lelah kalau harus bolak-balik, belum lagi kalau harus lembur. Sementara ibunya juga tidak mau ikut ke rumah anak-anaknya. Kalau ada yang merawat sang ibu, mereka tenang, Aiman bisa fokus kerja.Akhirnya mereka sepakat untuk mempekerjakan perempuan bernama Ratih itu, yang kata kakaknya dia seangkatan dirinya. Namun, sungguh lelaki itu tidak mengingatnya sama sekali. Pe
Magbasa pa
Hamil
Bahu Hani meluruh lemah. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari hal itu. Semalam sebelum meninggalkan rumah Aiman, lelaki itu melakukannya. Ya, ia tahu walaupun hanya dilakukan sekali, tapi peluang terjadi pembuahan pasti ada. Buktinya ada banyak korban perkosaan yang langsung hamil. Begitupun dengan dirinya, bahkan ia ingat saat itu baru saja selesai haid, pasti saat organ reproduksinya tengah masa subur. Bagaimana Hani bisa melupakan hal semacam itu, ia bahkan tak berpikir sampai sana. Malam itu, Hani tak sepenuhnya menyalahkan Aiman. Bahkan jujur, ia pun sempat terbuai dan ikut menikmati malam itu, hanya saja semua sudah terlambat untuk diperbaiki lagi. Saat itu ia benar-benar ingin berpisah. Lalu sekarang? "Han, kok bengong? Eh, wajahmu
Magbasa pa
Papa baru
Aiman memijat tangan ibunya dengan lembut sore ini, sepulang kerja. Itu memang selalu dilakukannya bila mengunjungi sang ibu, sebagai bentuk perhatiannya. Bu Yuli duduk bersandar di kepala ranjangnya. Keadaannya jauh lebih baik, bicaranya sudah terdengar jelas setelah beberapa kali terapi. Kakinya juga sudah sedikit bisa digerakkan, kemajuan yang sangat pesat dan membahagiakan untuk Aiman dan keluarga. Semua tak lepas dari tangan ringan Ratih yang merawatnya dengan telaten. "Ai, kapan jadwal sidang terakhirmu?" tanya wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu. Aiman mengalihkan pandangan ke arah wajah sang ibu sebentar, kemudian menunduk lagi. "Besok, Bu," jawabny
Magbasa pa
Dilema
Mata Aiman berbinar bahagia. Secercah harapan hadir, kalau pernikahan mereka bisa dipertahankan. Karena, tidak biasanya Hani menghubunginya. Aiman yakin Hani menelpon untuk membatalkan perceraian mereka, dan ia akan menyambutnya dengan suka cita.  Aiman baru akan mengangkat panggilan Hani saat ponselnya berhenti berdering, ternyata panggilan terputus. Secepat kilat ia menghubungi balik, dan butuh waktu cukup lama Hani mengangkat panggilannya.  "Iya, Han? Bagaimana?" tembak Aiman langsung setelah panggilan terhubung. Lelaki itu membuka pintu mobil, lalu duduk di belakang kemudi.  "Ma-af, Mas. Ke-pen-cet," jawab Hani pelan di seberang sana. Padahal sungguh Hani sedang bimbang, antara memberi tahu Aiman atau tidak.  
Magbasa pa
Resmi
Dengan ditemani Marta, Hani datang ke Pengadilan Agama itu dengan tubuh lemah, tetapi ia paksa kuat.    Dua hari ini ia mengalami morning sickness yang parah. Hampir tak ada makanan yang masuk. Kalaupun ada, akan kembali ia muntahkan. Sungguh masa kehamilan yang berat, apalagi tanpa suami dan keluarga di sisinya. Hanya Marta sang sahabat yang selalu menemaninya.    Maka pantas bila hari ini, ia terlihat sangat pucat dan kurus.    Aiman menyadari hal itu. Ia yang datang ditemani Arum dan suaminya, Danu, sangat heran melihat keadaan Hani.    Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa bulan ini. Rasa rindu yang membuncah berubah menjadi rasa khawatir yang mendalam.  &nb
Magbasa pa
Dia pun pergi
"Ada apa lagi, Mas?" tanya Hani heran melihat Aiman lari tergopoh-gopoh. Padahal ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Selain tak ingin menambah luka hatinya, wanita itu juga menahan rasa mual yang sejak tadi menyiksanya.  Lagi-lagi Aiman menarik tubuh Hani dalam pelukannya. Didekapnya cepat dan erat tubuh itu, hingga Hani tak sempat menghindar.  "Izinkan aku memelukmu mungkin untuk terakhir kalinya, Han. Setelah ini aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi," ucapnya parau.  Hani memejamkan matanya dengan malas. Kenapa Aiman terus saja bersikap seperti ini? Apakah ini ada hubungannya dengan bayi yang dikandungnya? Apakah ikatan antara ayah dan anak itu begitu kuat?  Hani segera mengurai pe
Magbasa pa
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status