Semua Bab Asisten Pribadi Tuan Muda: Bab 81 - Bab 90
125 Bab
81. Pede gila
Sukses di usia muda, memiliki kecerdasan diatas rata-rata dan menjadi salah satu pengusaha muda yang patut diperhitungkan, nyatanya kehidupan Vano banyak yang terlewatkan. Kebahagiaan masa kanak-kanak, pertemanan hingga sebuah hubungan asmara, semua itu terlewat dengan waktu yang nggak dia sadari.Sejak kecil sang tuan muda itu sudah hidup tidak normal. Sang ayah selaku kepala keluarga memiliki sifat humoris dan santai, sedangkan Ibu memiliki sifat lembut, ramah dan tenang. Tak ada satu pun sifat-sifat positif itu menurun kepada sang anak tunggal.Kedua orang tuanya memiliki relasi dan jaringan pertemanan yang luas dan memiliki masa muda yang normal. Mengapa Vano sedikit berbeda. Dia nggak begitu suka keramaian dan ambisius. Kendati dia memperlihatkan sifat baik kepada orang-orang yang dia kenal, namun tetap saja kehidupan Vano hanya berputar di dunia kerja, mengenai bisnis dan perusahaan.Sehingga kehidupan yang monoton itu semakin mempengaruhi baik dari pola p
Baca selengkapnya
82. Overthinking
"Den," panggil Bik Muti setelah menghampiri tuan mudanya di ruang tengah. Malam semakin larut namun sang workaholic tetap menatap layar laptop tanpa terpengaruh dengan jam yang berdetak. Vano menolehkan kepalanya, dia melepaskan kacamata antiradiasi yang bertengger di hidung sedikit mancungnya. "Ada apa Bik? saya kira udah tidur." Bik Muti yang berpenampilan khas ibu-ibu rumah tangga itu kian mendekat. Ia menutup mulutnya yang tiba-tiba menguap. "Iya Den, ini kebangun dan tiba-tiba ingat sesuatu." "Ada apa?" tanya Vano setelah merenggangkan tubuh belakangnya. Dia sudah fokus dengan layar laptop sejak sepulang mengantarkan asistennya pulang. Bahkan kini jarum jam akan menuju angka dua belas. Jika Bik Muti nggak datang mungkin Vano akan lanjut bekerja hingga lewat tengah malam. "Tadi sore, Non Bunga telpon lewat telepon rumah, Bibik angkat dan tanya Den Vano sudah pulang belum? Bibik jawab belum dan bilang nanti kalau Den Vano pulang yang akan menelpon.
Baca selengkapnya
83. Terlalu pilih-pilih
Seperti biasa, pagi hari saat masih suasana di luar gelap, Mita sudah terbangun dari tidurnya. Ralat, terpaksa bangun lebih tepatnya. Pada pukul lima pagi, gadis itu sudah bersiap-siap akan berangkat bekerja. Memakai blouse polos warna abu-abu serta celana dasar berwarna hitam. Sebuah simbol yang menandakan jika Mita sedang nggak mood untuk bekerja.Ternyata tubuhnya mampu merespon dengan normal. Sebab sudah beberapa bulan dia bekerja dengan sangat keras, tubuhnya kuat bak besi baja yang tahan dengan panas maupun hujan. Namun sekuat-kuatnya besi baja, pasti akan berkarat dan rapuh seiring waktu.Seperti halnya Mita. Gadis itu pada akhirnya merasa kelelahan yang amat sangat ketika bangun tidur. Suatu hal yang baru kali ini dia alami setelah hujan panas menerjang."Lesu banget Mit," komentar Ibu Sri ketika Mita memasuki dapur dengan lunglai. Gadis itu berjalan menuju letak dispenser dan menuangkan air minum ke dalam gelas miliknya."Capek Bu," ungkap Mita.
Baca selengkapnya
84. Gara-gara Bunga
Rencana awal ketika baru masuk setelah di bukakan gerbang oleh Mang Joko adalah Mita akan menuntut Vano dengan menyusul ke ruang gim. Biasanya laki-laki itu baru akan selesai berolahraga setiap kali Mita datang.Namun ketika baru masuk, gadis itu malah mendapati sebuah mobil asing yang terparkir dengan cantik di halaman. Dia mengernyit heran dan mencoba melihat jarum jam di lengan kirinya. Mita nggak salah, apakah ada tamu jam enam pagi."Apa ada tamu, Mang?" tanya Mita nggak bisa menahan rasa penasarannya."Ada Non Bunga, Mamang juga baru datang sudah ada Non Bunga."Hah? Bunga? Sepagi ini?Mita langsung terburu masuk nggak sempat mengatakan apa-apa lagi dengan sopir bosnya itu. Seketika dia merasa was-was akan berita kedatangan perempuan yang menjadi obyek tugasnya. Terakhir Mita berhubungan dengan Bunga beberapa minggu yang lalu. Pada saat itulah Vano mengeluhkan akan ketidak becusannya dalam menjalankan tugas sebab Bunga masih saja mengehubungi
Baca selengkapnya
85. Bukan seperti manusia
Suara dentingan sendok beradu dengan piring meramaikan suasana makan yang sunyi. Tiga orang sedang menikmati sarapan pagi agak kaku. Vano yang merupakan tuan rumah serta laki-laki sendiri, duduk di sebuah bangku ujung. Sedangkan pada sisi kanan dan kirinya ada dua sosok perempuan yang tak terlihat akrab. Sisi kanannya ada Mita, sedangkan sisi kirinya ada Bunga. Jika orang lain yang tak kenal mereka pasti akan menyangka jika Vano merupakan kepala keluarga dengan dua istri. "Hari ini aku off kerja, aku bisa ke kantor temani kamu, kak," ucap Bunga memecahkan keterdiaman diantara mereka. Sorot matanya hanya terfokus dengan Vano, Dia nggak sama sekali melihat Mita. Gadis bermata sipit itu tentu mengerti maksud Bunga yang tak menganggapnya ada. Tapi itu bukan masalah, dia bisa diam tanpa berkata apapun sembari menikmati sarapan keduanya. Vano menyeretnya untuk ikut sarapan, padahal sebelumnya bosnya itu nggak pernah repot-repot menawari sarapan. Namun seaka
Baca selengkapnya
86. Tolong bantu
Vano memang nggak nyangka akan seperti ini. Kepalanya sungguh pusing memikirkan hal lain di luar urusan pekerjaan. Sejak kecil dia nggak begini. Hidupnya selalu terfokus dengan satu hal, yaitu sesuatu yang sedang dia kerjakan. Namun kali ini sungguh di luar batas kemampuan seorang Vano. Laki-laki berperawakan tegap itu memasuki ruangannya dengan langkah lebar. Setelah bertemu dengan jajaran direksi lalu mengunjungi pabrik, tubuhnya seketika begitu lelah nggak seperti biasa. Dia menjatuhkan dirinya di sofa, memijit pelipisnya pelan. Kekacauan dirinya telah diejek oleh Billy sejak tadi. Sebab nggak terlihat biasa kalau seorang Vano menampilkan ekspresi wajah terbebani dan sangat stres. Vano terkenal dengan dedikasinya dalam berbisnis. Hal-hal yang memusingkan kepala dalam pekerjaan nggak pernah membuatnya frustasi seperti sekarang. "Mau makan apa, bos? kasian banget gue liatnya," ucap laki-laki berambut klimis di depan pintu menatap Vano dengan penuh simpati. D
Baca selengkapnya
87. Menjadi sangat cantik
Duduk berdua dengan tenang nggak pernah terpikirkan bisa terjadi oleh Mita. Biasanya dia dan bosnya akan mengeluarkan aura permusuhan yang nggak bisa membuat mereka dekat. Namun kini Mita tampak diam, merasa simpati dengan perubahan drastis bosnya yang sedang menceritakan sesuatu yang nggak diduga Mita bisa mendengarnya. Laki-laki itu mengatakan jika nggak ada yang bisa dia selesaikan selain pekerjaan. Hal-hal yang membuatnya frustasi selama ini, yaitu nggak bisa melakukan sesuatu yang mudah. Dan seketika itu Mita mendapatkan sebuah ide. Sehabis istirahat, Vano nggak memiliki jadwal yang sangat penting dan mendesak. Gadis bermata sipit itu langsung menatap bosnya dengan sorot yang berbinar-binar. Nggak pernah Mita melakukan itu sebelumnya, namun sekarang dia menganggap bosnya sebagai teman bukan lagi musuh yang menyebalkan. "Apa?" tanya Vano karena terus mendapati pandangan itu. "Hari ini Pak Vano pakai dasi biasa kan? Bukan yang instan? Coba Bapak pa
Baca selengkapnya
88. Mengkhawatirkan bos
Malam hari yang cukup cerah, angin sepoi menerbangkan helaian-helaian rambut Mita yang tergerai. Dia menikmati makan malam sehabis pulang kerja di sebuah kedai pinggir jalan bersama Bianca. Sahabatnya itu tiba-tiba ingin bertemu karena sudah lama nggak menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Sebab kini mereka sudah sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Capek juga Bi jadi kacung,” kata Mita setelah meminum jus buahnya. “Bukan kacung tapi kampret.” “Kamu yang kampret, aku cukup kacung aja,” ujar Mita membalas. “Tapi bagaimanapun, sebutan babu lebih cocok sama aku.” Bianca terkekeh atas ucapan Mita. Salah satu hal yang Bianca rindukan adalah mendengar secara langsung celotehan sahabatnya itu. “Masih waras apa udah gila?” tanya Bianca santai. Gurat wajahnya tak terlalu lelah seperti tadi. Baik Bianca dan Mita, mereka bertemu pas sehabis pulang kerja. Belum berganti pakaian ataupun mandi, bahkan belum sempat membasuh muka. Alhasil nggak ada lak
Baca selengkapnya
89. Biang kerok
Mita sampai rumah tepat pukul sembilan malam. Gadis itu sudah bersih-bersih dan mulai merebahkan dirinya saat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Suasana di dalam rumahnya sangat sunyi senyap sebab para keluarganya sudah mulai memasuki kamar masing-masing. Mita seketika menerawang langit-langit kamarnya. Dia semakin menaikkan selimut bergambar mickey mouse hingga batas dada. Dinginnya malam apalagi dirinya belum lama selesai mandi membuat tubuhnya butuh penghangatan. Selimut tebal sudah lebih dari cukup bisa menghangatkan kembali tubuh gadis berata sipit itu. "Gimana ya jadi Kak Vano? Kak Billy sering cerita soal Kak Vano, jadi agak kerasa gimana gitu aku liat berita ini apalagi liat komentar-komentarnya." Semakin melihat langit-langit kamar, pikiran-pikiran Mita kian melayang-layang. Dia kembali mengingat ucapan Bianca setelah dirinya selesai berbicara dengan Gilang lewat telepon. "Bunga tuh orangnya gimana ya, dia polos tapi ingin
Baca selengkapnya
90. Mertua idaman
Siang hari yang cukup cerah nan panas membakar kulit.  Mita berjalan dengan flat shoes yang sangat nyaman di kakinya untuk menyebrang jalan. Dia sehabis membeli tiga cup kopi untuk dirinya, Vano dan Billy. Kedua laki-laki itu saat Mita tinggal sedang melakukan diskusi serius, dan rasa-rasanya dirinya nggak begitu penting untuk ikut dalam diskusi tersebut, sehingga Mita lebih memilih untuk keluar dengan alibi membeli kopi walau pada sesungguhnya dirinya hanya menghindar. Langkah kakinya kian mendekati perusahaan. Pagi tadi saat berangkat beberapa wartawan berkumpul di depan gerbang dengan Billy yang mencoba menengahi. Mita merasa simpatik dengan pacar sahabatnya itu. Laki-laki itu sungguh bekerja sangat keras. Dedikasinya dalam membantu Vano harus diacungi jempol. Ia begitu serius dan menyelesaikan masalah yang terjadi yang ditimbulkan oleh Vano. Atas hal itu Mita jadi berharap agar Billy berani mengomeli si bos yang suka membuat ricuh atas ketidakdewasaa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status