Semua Bab Pelakor Harus Mati: Bab 51 - Bab 60
139 Bab
BAB 51 - Hidup dan Mati
Waktu tidak akan menyembuhkan luka, Tapi waktu akan mengajarimu untuk terus hidup dan melewatinya.- Bianca Peruka*** Hidup dan mati hanya terpisahkan oleh sebuah garis tipis tak kasat mata. Bisa jadi kau yang tengah tersenyum begitu cerah, tanpa beban, tanpa luka, akan tiba-tiba mati esok hari.Hidup dan mati tidak pernah dapat diprediksi.Seperti petuah kuno yang mengatakan ada tiga hal yang tidak bisa kau tentukan dalam hidup. Kapan kau dilahirkan, kapan kau mati, dan dari siapa kau akan dilahirkan.Pertuah itu benar.Suasana area pemakaman siang itu terasa sangat damai. Tampak pengelola begitu repot membuat area pemakaman seindah taman di surga, seakan itu bisa menghibur orang-orang yang ditinggal mati kerabat mereka dan mengembalikan hal yang paling berharga, yang sudah hilang selamanya.Sebuah pohon mahoni berdiri kokoh di sudut area pemakaman. Rindang dedaunannya menjadi payung sempurna yang m
Baca selengkapnya
BAB 52 - Rindu (1)
  “SAYA NGGAK BERSALAH! PEREMPUAN GILA ITU YANG BERSALAH! LEPAS! SAYA NGGAK MAU DIPENJARA! LEPASSS!!” Teriakan Nindi terus menggema setelah hakim membacakan putusan akhir dari persidangannya. “DIA YANG HARUSNYA DIPENJARA! DIA JEBAK SEMUA KELUARGANYA! DIA JUGA PASTI SUDAH SOGOK SEMUA ORANG TERMASUK HAKIM!” Tuk. Tuk. Hakim kembali mengetuk palu untuk membuat kebisingan di ruang sidang kembali kondusif. Dua orang petugas polisi langsung menarik paksa tangan Nindi yang meronta-ronta seperti orang gila. Keluarganya yang ikut hadir dari kampung menangis di kursi pengunjung, tapi tidak bisa berbuat apa pun. Bukti-bukti tentang perzinahan Nindi dan upaya penyerangannya sangat kuat. Kini ia harus mendekam di penjara sembari menjalani hidup sebagai pasien HIV Aids yang ditularkan oleh Dandy. “LEPASSSS!!!!” Nindi terus memberontak keras. “MAS TOLONG AKU!!! AKU NGGAK MAU DIPENJARA! MAS!” teriak Nindi, memanggil Dandy yang kini bertuga
Baca selengkapnya
BAB 53 - Rindu (2)
Beberapa saat yang lalu, ketika Mario menangkap tubuh Bianca, untuk beberapa saat Bianca sempat berpikir bahwa itu adalah Indra. Sebuah perasaan lega yang muncul tiba-tiba menguap secepat kehadirannya. Indra tidak datang, ia sudah memberikan kesaksiannya di persidangan bagian pertama. Dan Bianca mulai membenci dirinya sendiri yang belum juga terbiasa dengan ketidak beradaan Indra. Selama ini, pria itu selalu ada untuk menggenggam tangan Bianca, menjaga tubuhnya saat mulai terhuyung, atau membantunya membereskan semua masalah yang ada. Kini, pria itu tak lagi ada di sisinya, dan Bianca harus membiasakan diri untuk mengurus masalahnya sendiri. Ia harus mulai membiasakan diri hidup tanpa seorang Indrawan Bimasena. Bianca berdeham pelan, lalu menatap lalu lintas yang padat di hadapannya tanpa berkedip. “Kita ke kantor dulu, saya harus periksa berkas-berkas urgent.” Mario dan Haris saling melempar pandang dalam diam. ***  
Baca selengkapnya
BAB 54 - Hug Me
  Langkah Indra berhenti di balik lorong rumah sakit saat mendengar isak tangis samar yang begitu asing di telinganya. Wajahnya sedikit tertunduk, kedua tangannya terkepal erat. Suara isakkan itu mengingatkan Indra pada air mata Bianca yang mengalir saat ia terlelap beberapa waktu yang lalu. Air mata yang mengalir tanpa persetujuan dan kesadaran Bianca, karena dalam keadaan sadar, Bianca takkan pernah menunjukkan lukanya di hadapan siapa pun. Selama ini, setelah kematian ibunya 18 tahun yang lalu, Bianca berubah drastis. Ia berubah menjadi gadis pembuat masalah yang terlihat begitu ceria, dan penuh canda tawa. Seiring berjalannya waktu, Bianca kembali berubah menjadi sosok yang begitu kuat dan dingin. Siapa sangka di balik senyuman menawannya, Bianca menyimpan lautan luka yang begitu dalam. Seluruh kesedihan yang selama ini tersembunyi, luka, ketakutan, kekecewaan, keputus asaan, kesepian, akhirnya pecah berantakan, menghancurkan pertahanan yang
Baca selengkapnya
BAB 55 - Detik yang Berharga Dalam Hidup (1)
“Mama!!! Aku mau Mama!! Mama mana???” Tangisan itu menggema di seluruh penjuru rumah. Semua orang tampak sibuk menghibur dan mencoba mengalihkan perhatian gadis kecil itu, berharap ia akan segera berhenti menangis dan mau melahap makanannya. Bianca duduk di tepi ranjangnya yang megah. Tidak peduli sekeras apa ia menutup telinga, isak tangis itu terus terdengar. Bianca mengambil ponsel di sampingnya, lalu memasang earphone, memutar musik secara acak dengan suara maksimal. Kepalanya terasa pening karena suara yang memenuhi telinganya, tapi entah mengapa suara tangis itu tak juga memudar. Sekarang justru terdengar semakin kencang. Dengan langkah lemah, Bianca berjalan ke pintu balkon yang kini terkunci rapat, bahkan mereka menggemboknya agar Bianca tidak pergi ke balkon dan mengingat kejadian naas itu. Namun, agaknya semua orang dewasa itu lupa jika Bianca tidak perlu datang ke balkon yang sama untuk mengenang kejadian menyeramk
Baca selengkapnya
BAB 56 - Detik yang Berharga dalam Hidup (2)
“Sekarang mungkin dia benar-benar terluka karena kejadian ini, Kak. Dan aku bahkan nggak tau cara buat menghiburnya. Aku nggak tau apa aku berhak bahagia karena ibuku masih hidup, sedangkan ibunya sudah mati.” Sheila tertunduk menatap lantai rumah sakit di bawah kakinya. Selama ini, tidak pernah sekalipun Sheila melihat kakaknya menangis. Bahkan saat mereka berdua terjatuh dari sepeda yang dikendarai Bianca, wanita itu tidak pernah menangis. Padahal ia memiliki luka yang lebih dalam, dengan darah yang menetes lebih banyak, tapi ia sama sekali tidak menangis. Sama seperti ketika mereka menghadiri pemakaman sang ibu, Sheila menangis meraung melihat tanah melalap sosok ibunya yang perlahan-lahan menghilang, tapi Bianca hanya menitikkan air mata tanpa isakkan. Bahkan ketika ia menceritakan perselingkuhan Dandy dulu, Bianca sama sekali tidak menunjukkan air matanya. Wanita itu selalu tampak kuat di mata Sheila. Ia adalah tombak runcing yang tak pernah terpatahkan,
Baca selengkapnya
BAB 57 - Glass Bridge
“Kamu pasti capek.” Bianca membelai kepala Sheila yang kini tersembunyi di dalam rangkulannya. “Sudah nangisnya?” tanya Bianca lembut.Sheila mengerucutkan bibirnya pada pertanyaan itu. Wajahnya bengap karena menangis tanpa henti selama satu jam penuh. Ia meraung di lorong rumah sakit, sampai beberapa perawat berdatangan untuk memeriksa jika sesuatu terjadi kepada pasien di dalam ruangan.Sheila mempererat rangkulannya di pinggang Bianca, seperti yang ia lakukan ketika mereka masih kecil. Kedua mata indahnya menatap tubuh lemah di atas ranjang rumah sakit dengan dada yang semakin sesak.“Tante akan baik-baik aja kan, Bi?” tanya Sheila. “Aku nggak tau, Shei,” jawab Bianca jujur. Setelah ratusan rasa sakit yang mereka alami, Bianca bahkan sudah tidak berani berharap terlalu tinggi lagi.“Aku… aku minta maaf, Bi….”Bianca menghela napas panjang. Sheila sudah mengata
Baca selengkapnya
BAB 58 - The Night Before Farewell
“Kamu juga berhak bahagia, Bi,” bisik Sheila tulus. “Apa, sih?” gerutu Bianca sambil melepas pelukan adiknya. Sheila tersenyum penuh arti, lalu menoleh kepada Indra. “Jaga Bian ya, Kak. Kalau Kakak sampai macam-macam, apalagi mendua, Kakak akan berurusan langsung sama aku.” Sheila meletakkan ibu jarinya di leher, menirukan gerakan menyayat leher dengan wajah serius. “Sheila!” Indra menyentuh tengkuknya sambil berdeham berkali-kali. “Udah sana pergi, aku mau istirahat.” Sheila melambaikan tanganya penuh semangat, tapi Bianca tetap mematung di tempat dengan tatapan ragu. “Kak Indra, sekarang tolong bawa orang ini pergi, aku benar-benar mau istirahat! Udah sana, Bi. Ampun deh. Kalau kamu nggak pergi sekarang aku akan tunjukin isi buku harianmu ke Kak Indra!” “Sheila!” “Hahahaha.” “Mmm… memang apa isinya?” tanya Indra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bianca. “Ehm, selamat pagi.” Bianca dan Indra men
Baca selengkapnya
BAB 59 - Song for a Lover
“Kamu apa?!” Indra mencengkram tangan Bianca dengan sangat erat. “Kamu bilang apa?” Tatapan datar Bianca membuat dada Indra semakin bergemuruh marah.Bianca melepaskan cengkraman tangan Indra dengan perlahan.“Kakak bisa pergi sekarang.”“BI!”“Kakak bisa suruh Mario buat jemput aku nanti.”“BIANCA!”Tanpa menggubris panggilan Indra, Bianca masuk ke dalam rumahnya, lalu menutup rapat pintu itu di hadapan wajah Indra.“Bianca, ini semua pasti nggak benar! Kita harus periksa lagi! Aku akan cari dokter yang terbaik! Kamu pasti akan baik-baik aja, Bi!”Di balik pintu itu, Bianca menyandarkan punggungnya yang terasa sangat letih. Matanya menatap kesekeliling ruang tamu yang begitu sepi. Lampu-lampu yang dibiarkan padam, kursi-kursi yang tertutup debu, bahkan lantai yang tak lagi terinjak, kini hanya menyisakan perasaan hampa yang menyesakkan.  
Baca selengkapnya
BAB 60 - Serenade
“Kakak seharusnya nggak di sini.” Bianca menyentuh luka Indra yang sudah ia balut dengan kasa bersih seadanya. Meski berkali-kali ia mengatakan hal yang sama, tapi ia tetap tidak bisa melepaskan dekapannya pada pria itu.Indra mengecup kening Bianca dengan lembut. “Aku nggak akan ke mana-mana, Bianca,” bisik Indra. Jemarinya menelusuri jejak luka Bianca di pelipis, lalu menuruni tulang pipinya, dan menyentuh bibir bawah wanita itu. Sekali lagi, ia menundukkan kepala untuk mencium Bianca.Bianca tak lagi memberontak, ia justru membalas ciuman Indra dengan kelembutan yang sama.“Bi….” Indra menyeka air mata Bianca yang kembali menetes. “Aku nggak apa-apa. Kita akan baik-baik aja. Kita akan cari jalan keluarnya sama-sama.” Indra mempererat dekapannya. Menghapus sisa jarak di antara tubuh mereka berdua di bawah selimut.Bianca sama sekali tidak menjawab. Dadanya nyeri dan bahagia dalam waktu yang bersamaa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status