All Chapters of The Bastard CEO: CEO-ku yang Dingin: Chapter 31 - Chapter 40
62 Chapters
31. Kecupan Selamat Pagi
“Apa kau suka masakanku?” tanya Saga sesaat setelah dia ikut bergabung bersama Angelina di meja yang sama. Angelina yang masih mengunyah suapan terakhirnya pun langsung mengangguk dengan sorot mata antusias pada Saga. Selera makannya memang kelewat besar sejak dua hari terakhir—tiga atau empat porsi salad sanggup dia habiskan tanpa sisa—membuatnya terlatih untuk menandaskan semua makanan dalam waktu singkat. “Sungguh, kau berbakat. Kau juga cocok menjadi seorang koki,” komentar Angelina lagi di sela-sela kunyahannya. “Benarkah? Aku hanya akan menjadi koki pribadimu,” sahut Saga sambil tersenyum menggoda. “Aku penasaran. Bagaimana dengan resep lain? Apa kau juga m
Read more
32. Akhir Sebuah Awal
“Ide bodohmu gagal, Roland!” pekik Kate yang langsung menerobos masuk ke dalam kamar mereka. “Berengsek! Kau membuatku terkejut,” sahut Roland yang kemudian mengunci tatapan pada ekspresi wajah Kate. “Kau membuatku malu!” “Apa maksudmu?” Kate menyipitkan matanya yang sembap karena sisa tangis yang masih bertahan di sana, lantas menggertakkan gigi dan kembali membentak, “Adam mendampratku habis-habisan di depan umum! Gagasan yang kau anggap brilian itu justru menyeretku ke dalam petaka!” “Mengapa kau menyalahkanku?” “Jika
Read more
33. Tendangan Pertama
“Kate? Apa itu benar?” sahut Adam yang sedang menerima panggilan—di kursi putarnya—dengan raut wajah pias. Percakapan itu pun terhenti setelahnya sebab Adam langsung memutuskan sambungan dan bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Dia menyambar kunci mobil dan jas miliknya—menyampirkan benda itu di salah satu lengan, lantas meminta Samuel ikut  bersamanya. Pria yang baru saja selesai mengecek jadwal bosnya itu seketika menjadi kelabakan. “Apa Anda ingin saya mengatur ulang pertemuan kita dengan Nyonya Delores di hari lain, Tuan Ford?” Adam sontak menjeda langkahnya dan menoleh pada Samuel, kemudian meminta sang asisten untuk segera mengekorinya. Tanpa berani bertanya lagi, pria itu pun menuruti perintah Adam. Mereka beranjak m
Read more
34. (Belum) Usai
“Mom! Mom! Lihatlah, Mom! Aku dapat nilai seratus,” seru seorang bocah dengan sepasang gigi seri atasnya yang baru saja tanggal kemarin sore. Angelina seketika menoleh pada Arthur Wilson—putranya—yang sedang berlari penuh semangat menuju ke arahnya. Benda yang dia pegang adalah selembar kertas—yang mengombak dikibarkan oleh angin—hasil latihan dari salah satu pelajarannya di sekolah. Senyum lebar wanita itu pun spontan terbit sebagai reaksi. “Lihatlah, Mom!” pinta suara cadel Arthur
Read more
35. Jejak Hasrat
Pertanyaan dari Arthur itu spontan menciptakan sejenis cambuk yang terasa melecut habis dada Angelina. Dia hanya mampu mengulas senyum—samar dan sarat oleh kepedihan tiada berujung—yang menggantung separuh di sudut bibirnya. Tatapan murungnya masih bertahan hingga sang putra kini tertidur pulas di kamarnya sendiri. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Saga yang menyela lamunan Angelina di dekat jendela jungkit—tingkap dengan engsel model ayun—tanpa tirai itu. “Ti-tidak ada.” “Aku tahu kau merasa sedih tentang ucapan Arthur.” “Sedikit.” “Sedikit saja? Benarkah? Mengapa yang katamu
Read more
36. Tawaran
Kebersamaan panas mereka membuat Angelina menjadi terbiasa didominasi oleh Saga. Dia menatap lurus ke depan—gemetar sekaligus malu—untuk memuaskan dirinya sendiri. Jemari wanita itu merayap turun ke pangkal paha kirinya dengan gerakan lamban, sementara deru napasnya memburu seperti arus yang siap menyeret mereka tergulung ke dalam pusaran gairah. “Sa-Saga,” racau Angelina yang kepalanya langsung menjengit sesaat setelah kecupan singkat itu hadir di ceruk lehernya. “Lakukanlah, Angelina. Sentuh dirimu sekarang atau apa kau ingin aku yang melakukannya untukmu?” bisik Saga dengan sorot mata yang dijejali hasrat. Itu tawaran yang menggiurkan, pikir Angelina. Dia akan dengan senang hati menerimanya dan membiarkan semua akal sehatnya mati bersam
Read more
37. Kabar Buruk
“Apa yang kau katakan, Arthur?” tegur Angelina yang muncul dari arah belakang. “Aku hanya ingin punya seseorang yang bisa kupanggil Dad seperti teman-temanku di sekolah,” jawab Arthur dengan sorot mata polosnya. “Apa Mom tidak cukup baik untukmu?” “Kau Mom terbaikku, tetapi aku juga ingin Dad. Aku ingin keluarga yang lengkap. Ada aku, ada Mom
Read more
38. Masa Lalu
Ada alasan untuk pulang ke San Francisco merupakan satu-satunya hal yang selalu ingin Angelina hindari. Dia lebih suka melupakan kota kelahirannya daripada harus kembali, tetapi kala itu situasi telah berubah menjadi gempar oleh isak tangis Bibi Sandra di akhir panggilan.  Sulit untuk menangisi Rupert. Ingatan tentang perlakuan sang ayah masih membekas jelas di dalam kepalanya, seolah-olah insiden itu baru saja terulang dan berlangsung lagi kemarin sore. Namun, darah memang lebih kental daripada air. Demi melakukan penghormatan terakhir, Angelina pun terpaksa menginjakkan kakinya di kota terpadat keempat sewilayah California itu. Dia akan menghadiri pemakaman Rupert sekaligus mengenalkan Arthur pada kakeknya. Pertemuan yang terlambat, tetapi apa boleh buat? Rupert menya
Read more
39. Garis Nasib
“Siapa namamu?” tanya suara bariton Adam sambil memandangi wanita berambut pirang yang sedang meliuk manja di hadapannya. “Mia,” desisnya dengan nada sesensual mungkin. “Mia? Baiklah, Mia. Jadi, apa keahlian yang kau punya?” Tatapan sayu Mia menyoroti wajah Adam yang masih tetap datar di kursi kebanggaannya. Dia mengumpat dalam hati, lantas mengubah taktik agar pria dingin itu terlihat tertarik atau setidaknya menunjukkan sedikit minat pada tubuh seksinya. ‘Dasar sialan!’ batin wanita itu. “Cukup banyak, Adam.” Satu alis Adam menukik dengan segera dan dia mencemooh, “Kau harus tahu posisimu,
Read more
40. Elegi Nostalgia
“Dah, Arthur! Ingat ucapan Mom dan turuti pesan-pesan Dad,” pamit Angelina yang melambai pada putranya yang sedang duduk nyaman di samping Saga.“Dah, Mom!” balas Arthur dari balik taksi yang akan segera mengantar mereka menuju ke Hotel Lordé.Saga mengerling pada Angelina yang memberinya senyum perpisahan. Dia sempat mengangguk tanpa antusias sebelum kendaraan roda empat itu membawanya menjauhi lokasi. Ada rasa gelisah yang menaungi dadanya sejak tadi, seolah-olah akan muncul tragedi buruk yang mengintai kekasihnya.Saga bukan tipikal orang yang percaya dengan takhayul, tetapi untuk pertama kalinya dia merasa khawatir tanpa sebab pada Angelina. Sama sekali bukan Saga Wayne yang biasanya. Pria itu pun hanya mampu berharap segalanya akan baik-baik saja dalam perjalanan singkat yang membawa mereka ke sebuah penginapan terdekat dari kawasan flat.Setelah kepergian mereka, Angelina kembali masuk—meniti anak tangga dengan l
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status