Semua Bab Dendam dan Rahasia Tuan Muda: Bab 11 - Bab 20
205 Bab
Aliansi Lima Pilar
Jam istirahat tak terasa tiba. Seluruh murid tumpah ruah ke luar. Kuswan langsung menghampiri Adhira dan mengajaknya makan ke kantin sekolah mereka. “Kamu pasti penasaran kan dengan makanan di sini,” tawar Kuswan. “Ayo, kubawa ke tempat mi langgananku.” Adhira menutup buku yang diberikan Bu Tamara dan mendapati buku biologi Ervan masih ada di mejanya. Dia melirik ke kursi Ervan yang sudah kosong. Adhira pun menyimpannya kembali ke dalam tas. Lebih baik tidak mengembalikannya dulu. Ervan tidak akan kekurangan buku untuk dibaca. Suasana kantin sekolah ini begitu lengang. Bahkan pelayan yang melayani para murid menggunakan seragam khusus. Adhira jadi merasa seperti berada di sebuah restoran bintang lima. Lagi-lagi dia melihat lempengan papan peraturan di beberapa sudut kantin. Isinya tak terlepas dari aturan memesan makanan, kebersihan, penggunaan peralatan makan, dan etika-etika aneh lainnya. “Bagaimana sih kalian bisa bertahan di sini?” keluh Adhira.
Baca selengkapnya
Rujak Buah
Keesokan harinya, Adhira kembali datang terlambat. Rambutnya kacau balau seperti korban angin topan. Dia berlari cepat memasuki kelas yang hening itu. Pak Heno yang ketika itu sedang menerangkan kalimat prosa langsung mengernyit garang. “Adhira Limawan!” Suara Pak Heno bergema dan menggetarkan seisi kelas yang senyap tadi. Kuswan yang duduk di bangku belakang separuh menutup wajahnya dengan buku. Dia begitu enggan memandangi wajah Pak Heno kalau sedang marah itu. “Mm, maaf Pak. Jet lag,” desah Adhira sambil mengusap matanya yang penuh dengan kotoran mata. “Tidak usah banyak alasan kamu. Sudah dua kali kamu terlambat masuk ke sekolah. Sekarang kamu berdiri sepanjang kelas.” “Yah, Pak… Kasih saya keringanan sedikit Pak.” “Keringanan, kamu pikir bayar tunggakan?” “Saya kan baru dua kali. Saya bersumpah tidak akan mengulanginya lagi besok.” “Banyak alasan kamu. Sekarang, angkat satu kaki!” perintah sang guru. “Taha
Baca selengkapnya
Ruang Literal
Ervan berjalan cepat ke arah perpustakaan. Sekolah ini punya perpustakaan sampai tiga lantai. Hanya lantai paling bawah tidak dibuka untuk umum. Harus mendapat izin dari penanggung jawab perpustakaan dulu. Adhira paling jarang menjamah tempat seperti ini. Namun karena rasa penasarannya, dia pun ikut masuk. Rak-rak buku memenuhi seluruh dinding tempat ini. Perpustakaannya berbentuk melingkar dengan tangga yang mengelilingi hingga lantai kedua. Untuk menuju ke lantai paling dasar, ada jalur khusus lagi. Tempat ini begitu hening. Segelintir anak-anak duduk di pojok perpustakaan. Sebagian besar mereka menggunakan komputer sekolah. Ervan berjalan ke salah satu rak buku dan meraih buku tersebut. Lagi-lagi buku tentang biologi. Kecintaannya pada pelajaran itu juga yang mungkin membuat Ervan tak pernah tertidur saat pelajaran Pak Okra, guru biologi mereka yang garang itu. Adhira ikut meraih satu buku dan duduk di hadapan Ervan. Penyertaan Adhira membuat Ervan makin t
Baca selengkapnya
Mi Bayam
Kantin sekolah tampak lebih sunyi siang ini. Desas desusnya koki yang bertugas meramu bumbu makanan di dapur kantin ketahuan menggunakan kecap yang sudah kadaluwarsa. Secara tidak langsung, Kuswan tidak lagi bisa makan mi kesukaannya itu. Dan Adhira tahu kalau Kuswan tidak akan sudi makan yang lain selain mi buatan ibu kantin itu. “Sepertinya kamu tidak akan bisa makan mi di sini lagi,” ucap Adhira. Kuswan duduk dengan muram. “Buat apa sih mereka sampai pecat ibu kantin. Toh aku tidak keracunan. Kemarin juga habis setengah botol kecap masih baik-baik saja.” Saat menggerutu tentang ketiadaan makanan tersebut, Adhira melihat segerombolan murid mengelilingi seorang murid laki-laki. “Itu bukannya Genever?” Kuswan berdesah. Adhira hanya bisa melihat bagaimana anak yang disebut culun itu tengah diolok oleh sekelompok anak kelas 12. Genever adalah teman sekelas mereka yang ternyata adalah putra dari ibu kantin yang baru saja dipecat itu. Matanya yang
Baca selengkapnya
PR Matematika
Kelas matematika mulai seusai jam makan siang. Ibu Tamara masuk dengan buku yang berbeda hari ini. Buku pertama sudah habis dilahap Adhira dalam waktu dua hari. Dia langsung menyerahkannya pada Bu Tamara. Bu Tamara sedikit takjub buku itu sudah penuh hanya dalam waktu yang singkat. “Tidak ada yang lebih susah?” ujar Adhira angkuh. Ekspresi kagum tadi berubah jadi masam. Bu Tamara mulai melingkari jawaban yang masih salah. “Jawaban geometri ruangmu masih salah.” “Haha…” Adhira hanya bisa nyengir. “Oh itu, aku memang sengaja bikin salah. Rupanya ibu ketemu juga.” Bu Tamara langsung merengut sebal. “Alah, bilang saja kalau kamu memang salah,” tukas Bu Tamara. Dia mengeluarkan buku yang kedua dan menyodorkannya pada Adhira. Seperti mendapatkan tugas baru yang menyenangkan, Adhira segera menerima buku tadi dengan gembira. Hanya hal itu yang bisa membuat Adhira duduk tenang di bangkunya tanpa membuat keonaran. “Ervan, kamu k
Baca selengkapnya
Kecoa
Siang yang terik itu harus dihabiskan Adhira dengan membersihkan lantai, mengelap jendela, memotong rumput, dan menyemir sepatu. Tentu saja bukan sepatunya. Itu milik Willian Osman, suami dari Tante Durga. Tante Durga sendiri saudara perempuan ibu kandung Adhira. Pada ledakan listrik dua belas tahun lalu, kedua orang tuanya mati tersambar listrik. Peristiwa mengenaskan tersebut membuat Adhira resmi menjadi anak yatim piatu.Sejak usia tiga tahun Adhira tinggal bersama keluarga Tantenya. Hampir seluruh pekerjaan rumah dihibahkan pada Adhira. Sesekali Kiara ikut membantu. Tapi Tante Durga tidak pernah senang kalau anak sematawayangnya itu menolong Adhira. Bagi mereka, hutang Adhira tak pernah bisa terbayarkan melalui pekerjaan kasar tersebut.“Setelah nyemir, nanti kamu tolong potong rumput di depan sana ya.” Tante Durga mulai memerintah dengan suara nyaring. Dia baru saja selesai membuat kue tart untuk ulang tahun Kiara besok.“Bukannya ada Pak
Baca selengkapnya
Naskah Pidato
Bermalam di bawah pohon merupakan salah satu hal mengenaskan yang sering diterima Adhira semasa tinggal bersama keluarga Osman. Tiupan angin menusuk hingga ke tulang dan lapisan ototnya, membuatnya menggigil sepanjang malam. Adhira terbangun ketika bebek yang dipelihara Kiara mematuki perutnya yang kejatuhan biji kenari. Sadar akan keterlambatannya, Adhira segera bangkit dari semak dan melangkah menuju ke sekolahnya lagi. Sudah cukup angin fajar ini menghajar tubuhnya semalaman, dia tidak mau hukuman di Equator makin memperpendek usianya lagi. Kiara diantar oleh Willian pagi itu. Pamannya sengaja melakukan itu untuk menghukum Adhira secara tidak langsung. Biasanya berjalan sejauh tiga kilometer menuju sekolah bukan hal yang berat baginya. Namun untuk kali ini, tungkainya seperti menolak untuk bergerak. Sementara dia harus lebih cepat mencapai Equator karena dia bangun setengah jam lebih lama dari seharusnya, dan dia juga berniat mandi di sekolah bila memungkinkan.
Baca selengkapnya
Air Keras
“Kamu sudah siap baca pidato?” “Saya… belum selesai Pak,” jawab Adhira salah tingkah. Jelas-jelas dia belum mengerjakan tugasnya sama sekali. “Sudah sejam lebih saya kasih waktu untuk kerjain tugas ini. Kamu sudah tulis sampai mana? Baca saja sampai batas yang sudah kamu kerjakan.” Pak Heno duduk di meja guru menantikan Adhira ke depan kelas. Adhira mengamati meja belajarnya yang hanya ada buku kosong dengan potongan kertas koran yang tadi dijadikannya selimut itu. Dengan perlahan dia melangkah ke depan. Ervan masih duduk tenang mengerjakan pidatonya. Adhira yang tengah melintasi tempat duduk Ervan dengan cepat merebut bukunya dari Ervan. Usahanya tak berhasil karena Ervan dengan erat memegang bukunya. Kertas yang tadi diperebutkan malah robek. Terlepas dari kemarahan Heno, sekarang Ervan ikut kesal dengannya. Adhira tak punya pilihan selain maju dan mengarang naskah pidato yang ada di kepalanya. Sebuah tugas yang akan sangat berat dilakukan b
Baca selengkapnya
Undangan
Seusai membereskan tabung kimia yang berserakan di meja praktikum, Adhira pun kembali ke kelasnya. Rasa terbakar baru terasa ketika dia hendak meraih buku yang ada di laci mejanya. Jemarinya terhenti permukaan kulit yang terpercik air keras tadi bergesekan langsung dengan permukaan bawah meja yang tak berpelitur. Namun bukan itu saja yang membuat Adhira tertegun.Sepucuk surat beramplop cokelat tergeletak di atas tumpukan buku tersebut. Adhira tidak bisa menebak dari mana surat itu berasal karena tidak ada tulisan apa-apa di luarnya selain gambar lima roda gerigi. Sebuah kertas tebal yang menyerupai kartu terbungkus di dalamnya. UNDANGAN RAPAT ALIANSI LIMA PILARKepada: Adhira LimawanTempat: Aula Utama Paviliun CenturionWaktu: Minggu, 20 April 2003 19.00 WIB Terdapat barcode hitam putih tercetak di bagian bawah tulisan tersebut. Mungkin itu kode yang bisa dipakai untuk ikut dalam rapatnya. Hanya itu saj
Baca selengkapnya
Prinsip Keadilan
Sosok Alan Sadana yang disebut-sebut perintis Aliansi Lima Pilar itu tiba beberapa menit setelah bel istirahat kedua berdering. Adhira pernah melihat rupa sang guru besar itu saat upacara bendera. Rambutnya sudah sepenuhnya berwarna putih. Keriput merambat di sekeliling  matanya. Walau begitu, kilatan terang dari kedua bola matanya tampak begitu dalam dan tajam.Berhubung kelas pelajaran kewarganegaraan sedang kosong, Profesor Alan Sadana yang merupakan ketua yayasan SMA Equator itu pun mengisinya dengan materi penguatan moral.Adhira memandang pria tua tadi melangkah perlahan menuju ke tengah kelas. Ada satu orang pendamping yang selalu mengekor di belakang Profesor Alan. Kata Kuswan itu adalah keponakannya yang paling muda. Namanya Renal Sadana. Sekarang sedang menempuh ujian masuk universitas di Jerman. Dia almamater SMA Equator juga. Perawakannya tinggi dan dia memiliki kulit bersih. Seperti juga keluarga Sadana yang lain, Renal terlihat patuh dan disiplin. Me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
21
DMCA.com Protection Status