All Chapters of Putra Titisan Dewa: Chapter 11 - Chapter 20
25 Chapters
11. Diselamatkan Nini Kipas Pelangi
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah.     Jawaban dari teriakan sang pat
Read more
12. Sosok Misterius di Balik Air Terjun
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.
Read more
13. Prahara di Gunung Raya
Seratus tahun yang lalu, selepas pertarungan dahsyat melawan Badiran Wasesa yang membuat runtuh puncak Gunung Bakaraya, Sanatana yang sekarat dan tertimbun abu gunung masih mampu bertahan hidup. Jika bukan karena kesaktian ilmu yang dimilikinya, dengan kondisi semacam itu mestilah ia tak mampu selamat. Sanatana memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan dan menjadi pertapa Bakaraya yang kini hanya disebut Gunung Raya itu, tepatnya di dalam sebuah ceruk di balik air terjun jernih sebelah Barat Gunung Raya. Seratus tahun lamanya ia mencoba mengumpulkan kembali tenaganya, serta memurnikan lagi semua kemampuan beladiri dan kesaktiannya. Selama kurun itu, dunia persilatan perlahan-lahan melupakan nama sosok manusia setengah dewa pemilik Ajian Suci Darah Bulan, Sanatana. Namun tak dinyana hari ini di tengah pertapaannya, segerombolan manusia yang konon adalah utusan penguasa Nagri Jaya Dwipa, menyatroni tempatnya dan mengusik tapa geni yang sedang ia lakukan
Read more
14. Prahara di Gunung Raya II
Sanatana terhuyung tiga tindak ke samping. Di sana, Nyai Prameswari sudah menunggu dengan tongkatnya. “Mampuslah!” teriak si nenek sambil menggepruk tongkatnya menyasar kepala lawan. Sedikit saja Sanatana terlambat menyisi, pastilah kepalanya sudah remuk dimakan tongkat. Selamat dari tiga serangan beruntun itu, Sanatana berkelebat menjauh untuk sejenak memulihkan luka dalam, akibat bentrok tenaga dalam dengan Lopita Zora dan hantaman tinju Patih  Jayaprana. Lopita Zora tidak mau membuang kesempatan. Sambil menahan sakit, wanita muda yang sebenarnya sudah nenek-nenek peot itu, langsung menerjang ke depan dalam Jurus Tangan Lelembut Merogoh Jiwa. Gerakan tangan ini seolah tangan hantu, tak terlihat dan tahu-tahu sudah pun mencegkeram pangkal leher Sanatana. Sanatana tersentak kaget. Ekor matanya melihat jika Patih Jayaprana juga sedang merangsek menuju dirinya. Tidak mau mati konyol, si orang tua segera memukulkan tangan kanan pad
Read more
15. Prahara di Gunung Raya III
Angin kencang serupa badai segera menderu menuju Sanatana. Rerumputan tercerabut dari tanah dan makin banyak pepohonan yang bertumbangan. Sadar kalau serangan lawan bisa membinasakan dirinya, Sanatana melompat menjauh untuk menyelamatkan diri, sayang usahanya tidak berjalan mulus.“Mau cari selamat ke mana kau, Tua Bangka!”Wuutt!Nyai Prameswari segera mengayunkan tongkatnya, menghadang gerakan Sanatana yang tengah menghindar dari disapu angin topan.“Hari ini, biar aku mengadu jiwa dengan kalian!” teriak Sanatana sambil menyisi untuk menghindari serangan tongkat Nyai Prameswari.Sekejapan saja lagi sosoknya akan digulung dalam badai yang diciptakan Patih Jayaprana, Sanatana segera merapal Ajian Pedang Bulan yang seratus tahun lalu berhasil membelah hingga terkutung sosok Badiran Wasesa.Si kakek cepat-cepat mengayunkan kedua tangannya sekaligus, kiri dan kanan, dari bawah ke atas. Dua larik sinar putih leng
Read more
16. Tulang Belulang Badiran Wasesa
Lopita Zora tersentak bangun saat petir menggelegar di luar. Wanita itu terduduk tanpa busana di sebelah sosok Rajendra Sanjaya yang mendengkur pulas. Di luar sepertinya sedang turun hujan.Ada yang mengganjal pikiran Lopita Zora. Saat dirinya tertidur pulas tadi, setelah bercinta dengan sang raja, mimpi aneh muncul dalam tidurnya. Lopita Zora melihat bendera sewarna merah darah bergambar tengkorak hitam di tengah-tengahnya, berkibar mengerikan di atas tumpukan mayat entah siapa.Tak lama setelah itu, di dalam mimpinya Lopita Zora juga melihat sesosok lelaki tinggi besar yang wajahnya tak terlihat, memanggil-manggilnya untuk mendekat. Saat ia mendekat, mendadak sosok tinggi besar tanpa wajah itu menarik tangannya keras-keras.Sosok misterius dalam mimpinya itu meneriakkan dua kalimat. “Temukan aku!” dan “Bangkitkan aku!”Lopita Zora tahu kalau mimpinya bukan bunga tidur. Segera ia berpakaian lengkap dan duduk di l
Read more
17. Persekutuan Dengan Iblis
Rajendra Sanjaya menunggu dengan gelisah. Sudah larut malam namun sosok Lopita Zora belum juga terlihat. “Apa dia menemui kesulitan?” lirih Rajendra Sanjaya sendirian. “Mungkin sebaiknya aku pergi mencari.” Baru saja ia memutuskan untuk menyusul Lopita Zora menuju lereng Utara Gunung Raya, orang yang dicari muncul di sana. Lopita Zora berkelebat dan menjejakkan kaki di depan sang raja. “Kau berhasil menemukannya?” tanya Lopita Zora sambil menurunkan buntalan kainnya dari bahu. “Tulang belulangnya sudah di dalam,” menjawab Rajendra Sanjaya. “Mengapa kau lama sekali, Lopita Zora?” “Kau tahu sendiri, Paduka, lereng Utara lebih curam dan hutannya lebih lebat. Perjalananku tidak mudah.” Tidak berkata apa-apa lagi, kedua orang itu masuk ke ceruk gua yang sudah setengah hancur dan segera menyusun tulang belulang yang mereka bawa. “Kau yakin ini akan berhasil, Lopita Zora?” tanya Rajendra Sanjaya. “Percayalah padaku,” jawab Lop
Read more
18. Gadis Jelita
Lembah Akhirat, delapan tahun setelah peristiwa tragis yang menimpa Panca dan Utari di Dukuh Telagasari.***Buumm!Sebuah ledakan dahsyat membahana di dasar lembah yang tertutup hutan lebat. Satu pohon besar berderak tumbang setelah terhantam pukulan. Satu sosok ramping berpakaian ungu berkelebat dengan cepat. Kakinya berpijak dari satu pucuk semak ke semak berikutnya. Siapa pun ia, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat bagus.Berlari laksana terbang, sekali lagi ia menghantam dengan cara mendorong tangan kanannya. Selarik sinar ungu pudar membubut ke depan, kali ini menyasar sebongkah batu besar yang berjarak belasan tombak dari posisinya menyerang.Buumm!Seketika bongkahan batu besar itu hancur berkeping-keping. Sosok ramping berpakaian sutra ungu itu membuat gerakan jumpalitan di udara. Bak kapas, tubuhnya tampak mengambang saat turun menjejak rerumputan.Saat sudah menjejak tanah, jelas lah terlihat jika ia ada
Read more
19. Bidadari Kipas Pelangi
Si nenek kini sudah berdiri di depan Pujaratih, wajahnya tampak puas. Senyum mengembang dari raut wajahnya yang telah tampak renta, melihat perkembangan cucu angkat sekaligus muridnya itu.Pujaratih segera membungkuk hormat di hadapan Nini Kipas Pelangi. “Apa ini artinya saya sudah boleh meninggalkan Lembah Akhirat, Nek?” bertanya Pujaratih.Nini Kipas Pelangi lalu tersenyum penuh arti. Diusapnya kepala Pujaratih yang masih membungkuk di depannya. “Ayo kita beristirahat di gubuk.”Setelah mengeluarkan beberapa ajian dan kesaktian di ajang latihan itu, keduanya cukup merasa letih. Nini Kipas Pelangi sudah cukup puas dengan apa yang telah dicapai maupun dikuasai oleh Pujaratih. Rasa letih itu yang membawa mereka untuk beristirahat sejenak.Di dalam gubuk yang berupa balai-balai berdinding bilah bambu, kedua orang itu duduk berhadap-hadapan. Wajah mereka terlihat serius.“Pujaratih ....” Si nenek membuka suara. &ldq
Read more
20. Bocah Sakti
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status