Lahat ng Kabanata ng FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Kabanata 81 - Kabanata 90
132 Kabanata
81. Di Persimpangan Hati
Annisa belum menjawab dan justru memalingkan muka. Ali memindai wanita di depan pintu dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa tidak menjawab? Katamu mau memberi hadiah perpisahan?” “Apa arti kecupan kemarin?” Alih-alih menjawab, Annisa justru bertanya. Kedua mata itu menatap tajam laki-laki di depannya. Seiring degup jantung yang kian kencang. Dia merasa jarak antara kehilangan harga diri hanya sepanjang jawaban yang akan diucapkan Ali atas pertanyaannya. “Apa?” Tampak kerutan di dahi Ali. “Mas memandangku lekat, dan nyaris mengecup bibirku. Apa arti semua itu kalau akhirnya Mas tetap kembali ke dia?” Ali memalingkan muka, dan menunduk. Dia pun sebenarnya tidak tahu kenapa. Melihat Nadya di depan rumah dengan wajah berseri dan senyum ayunya, juga koper di sampingnya, Ali merasa impian untuk memilikinya semakin dekat. Impian untuk memeluk wanita yang dicintai ke dalam hidup. “Pelarian?” tebak Annisa dengan air mata yang mulai menggenang. “Persinggahan? Pelampiasan? Atau apa?” Ali ke
Magbasa pa
82 & 83. Meluap
Beberapa jam sebelumnya, di hari yang sama di rumah tuan Aji. Sesuai janji, Pramono membawa Tasya ke rumah sang Ayah. Namun keputusan itu harus disesalinya karena akhirnya dia harus memberi jawaban atas permintaan sang ayah untuk menikahi Ratna. Pramono menoleh ke arah wanita yang kini sibuk bermain dengan sang putri, tak jauh dari tempatnya duduk berbincang dengan sang ayah. “Pram tidak mencintai dia, ayah. Adilkah bagi Ratna dinikahi dan digauli tanpa rasa cinta?” ucap Pramono berharap sang ayah mempertimbangkan poin itu, meski sebenarnya itu wujud keengganannya menuruti keinginan sang ayah. Sayangnya Tuan Aji selalu punya cara untuk menyanggah pendapat sang putra. Dia tertawa sarkastik seolah pendapat itu terlalu klise. “Laki-laki bahkan tidak tahu apa itu cinta, Pram. Kenapa harus mempermasalahkan itu?” Tidak demikian bagi Pramono. Jika dia hanya tahu nafsu tanpa mengerti apa itu mencintai, kenapa dikhianati terasa begitu menyakitkan? Bahkan rasanya bagai sesuatu tengah mengir
Magbasa pa
84 & 85. Kilas Balik
Dalam foto itu, wanita bergaun pastel tengah menatap sendu laki-laki di depannya. Di belakangnya Ratna melihat bangunan rumah sakit berlantai dua.Pada foto di sampingnya, sebuah mobil terparkir di halaman rumah Pramono. Dari pelat nomornya, dan sepertinya si pengambil gambar memang fokus ke identitas mobil itu—Ratna tahu itu bukan milik sang kakak. Lagi pula Pramono tidak di rumah selama sebulan terakhir.Di foto berikutnya, seorang lelaki berdiri di depan rumah dengan bersandar pada pintu mobil menatap ke balkon rumah Pramono dengan satu tangan terangkat seperti memegangi ponsel di telinga.Foto di bawahnya masih menampilkan gambar yang sama, bedanya kali ini lebih jauh. Di kiri atas foto itu, Nadya tengah berdiri dengan posisi tangan yang sama. Ratna menerka mereka saling bicara dengan telepon, dan gambar itu diambil dari dalam mobil—atau kamera mobil.Foto terakhir, lebih memuakkan. Dan Ratna akhirnya tahu, sang ayah adalah seseorang dengan kuasa melebihi siapa pun melihat dari ba
Magbasa pa
86 & 87. Tamparan
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Dari teras belakang, tepat setelah selesai bicara dengan Ratna, Pramono melangkah panjang menuju ruang kerja sang ayah. Dia tahu benar sang ayah masih di sana. Hampir separuh hidupnya dia habiskan hanya di ruang kerja. Bahkan dia yakin, waktunya untuk sang istri tak lebih banyak daripada waktu untuk pekerjaan. Brak! Suara keras pintu terbuka terdengar ketika Pramono mendorong kasar pintu ruang kerja tuan Aji hingga daun pintunya membentur dinding. Pandangannya mengedar lalu berhenti tepat di depan jendela. Di sana sang ayah duduk termangu di atas kursi roda, menatap keluar jendela. Seolah telah memprediksi apa yang akan terjadi, Tuan Aji sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Pramono. Dia masih memandang ke luar jendela seakan ada hal lebih menarik yang enggan dia lewatkan. “Ayah tahu apa yang Nadya lakukan, kenapa diam saja? Sejak kapan ayah tahu?” Tuan Aji menoleh ke arah Pramono. “Maksudmu perselingkuhan istrimu?” Tak ingin memperjel
Magbasa pa
88 & 89. Dipermainkan Takdir
“Mas Pram?” Lalu suara itu muncul kembali. Suara yang begitu merdu dan terasa bagai candu namun berubah menjadi begitu menyakitkan, kini, berdengung dan bersahut-sahutan di tempurung kepalanya. Pramono mengabaikannya, dan kembali mengisap rokok itu entah untuk ke berapa kalinya. “Mas Pram ...?” panggil suara itu lagi. Lalu bayangan wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah mengikutinya di belakang, muncul bagai slide film lama. Wanita itu menatap curiga sesampainya di hadapan Pramono. “Mas, kok bau rokok? Mas merokok?” Nadya bertanya lagi. “Oya?” Laki-laki itu menjatuhkan diri di sofa. “Iya.” “Coba tebak?” Pramono mendekatkan wajah agar sang istri bisa memastikannya. Setengahnya untuk mencuri aroma harum yang sudah tersaji dari wanita yang selalu menaati perintahnya: tampil ayu saat menyambut suami pulang kerja. Nadya menatap curiga wajah itu sesaat, seakan tahu niat dalam hati suaminya. Dia mendekatkan penciuman ke wajah suaminya, mengendus. Tapi bukan Pramono namanya j
Magbasa pa
90 & 91. Menerima Kenyataan
“Telepon dari siapa?” Nadya bertanya tepat setelah Ali menurunkan ponsel dari samping telinga, separuhnya karena melihat raut di wajah itu berubah masam.“Pramono,” jawab laki-laki itu, masih memandang ke arah Nadya seakan ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar nama laki-laki itu disebut.Sebaliknya, Nadya tersenyum samar, menampakkan kesan tak peduli di hadapan Ali. “Lalu kenapa wajah Mas berubah?”Ali memandang wanita itu beberapa detik sebelum menjawab, seolah tengah memperkirakan bagaimana reaksinya andai Nadya tahu apa yang terjadi pada putrinya. “Tasya sakit. Dia dirawat sekarang.”Ali tahu, tidak ada ibu yang benar-benar tega pada putrinya, sebejat apa perbuatannya. Mendengar kabar dari Ali, wajah Nadya berubah pias. Dia sempat tertegun sebelum menunduk, menyembunyikannya dari Ali.“O—oh ... “Terlihat dari bagaimana wanita itu mengepalkan tangan yang gemetar. Ali tahu Nadya tidak baik-baik saja, dan sedang berusaha menguatkan hatinya.Nadya bangkit. “Sebaiknya ki—kit
Magbasa pa
92 & 93. Membagi Hati
“Saya terima nikahnya Nadya Arfianti dengan mas kawin seperangkat alat salat, tiga puluh gram emas, buku, dan satu unit rumah beserta isinya, dibayar tunai.” “Sah?” “Sah.” Dengan tubuh gemetar Pramono menengadahkan tangan mengamini setiap doa yang dilantunkan penghulu. Ucapan “Aamiin” bersahut-sahutan terdengar dari para tamu. Bagai isi dunia tergenggam di tangan, ada bahagia yang nyaris meledak di dada Pramono hingga membobol pertahanan diri dengan tetes demi tetes air mata di pipi. Dia mengusap cepat lalu diam-diam melirik gadis di sebelah kirinya yang juga terisak-isak. Pramono menenggelamkan wajah di lengan sofa tempatnya terbaring, karena detik ini dia menyadari tangisan Nadya itu bukan wujud dari air mata bahagia, melainkan sebuah keterpaksaan. *** Malamnya, di hari yang sama saat mereka menikah. Di rumah orang tua Pramono yang megah, Nadya duduk menepi di sudut ruangan dengan kedua kaki terlipat. Menatap keluar jendela seakan ada hal menarik di luar sana yang membuat gad
Magbasa pa
94 & 95. Pengobat Luka
Pada sarapan esok paginya Ratna menyiapkan sendiri makanan untuk Pramono sebagai bentuk pelayanan kepada sang suami. Dari bagaimana sikapnya, Tuan Aji tahu putrinya sedang bahagia. “Sore nanti, Pram akan berangkat ke Bandung, Yah.” Pramono memulai pembicaraan setelah mendapatkan piring nasinya. Kalimat itu sontak membuat sang ayah dan Ratna menoleh bersamaan. “Bukankah sudah ada Annisa?” Tuan Aji bertanya. “Ya, Pram butuh melihat sendiri bagaimana perkembangan di sana, sebelum Grand opening.” “Kalau begitu untuk apa memperkerjakan Annisa?” Ratna menyela. Dia menatap kesal ke arah Pramono. Dibalas dengan tatapan dingin oleh laki-laki itu. Ratna bungkam karena teringat perbincangan malam itu, tentang tidak berhaknya dia menuntut, bahkan sekadar nafkah yang layak. Dia berpaling untuk menyembunyikan rasa kecewanya. “Kau mau ikut, Ratna?” Tuan Aji menawarkan. Mendengar tawaran menyenangkan itu, seketika Ratna menoleh ke arah sang ayah. Dia baru akan menjawab dengan anggukan, saat Pra
Magbasa pa
96. Babak Baru
“Pram berangkat, Yah.” Tuan Aji mengangguk. Pramono memandang wanita yang berdiri di belakang sang ayah, dan menyadari hangat menyelusup ke sudut hatinya. “Aku berangkat. Tolong jaga ayah untukku.” Ratna mengangguk. Sedikit kecewa karena bahkan laki-laki itu belum bisa memanggil namanya dengan nyaman. “Hati-hati di jalan, jaga diri.” “Tentu.” “Kau yakin tak ingin mengajak dia?” tanya Tuan Aji, membuat wanita di belakangnya seketika memandang Pramono penuh harap. Pram tercenung sesaat lalu menatap wanita yang menggigit bibir itu lagi. Dan dia sadar, belum siap untuk itu. “Tidak, Yah. Pram usahakan pulang secepatnya.” Tentu saja, Ratna harus kecewa sekali lagi jika berharap Pramono akan berubah pikiran setelah apa yang mereka lalui beberapa jam yang lalu. Di depan sang ayah, meski sorot mata itu tak setajam sebelumnya, Pramono masih enggan tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Ratna menunduk saat menyadari usahanya seperti belum menghasilkan apa-apa kecu
Magbasa pa
97 & 98. (Bukan) Kebetulan yang Manis
“Tinggallah di sini untuk sementara waktu,” ucap Edwin saat mobil yang dia kemudikan berhenti di depan sebuah rumah. “Rumah ini milik ibuku. Masih terawat walau sedikit tua. Kau boleh pergi setelah menemukan tempat tinggal baru.” Nadya belum menanggapi. Pandangannya masih memindai rumah bergaya lama yang masih tampak begitu kokoh dan terawat. Di halamannya yang cukup luas, Nadya melihat beberapa tanaman hias tumbuh cantik dan dia yakin, melihat bagaimana seorang Edwin, tanaman itu memiliki ahlinya sendiri. Wanita itu kemudian berpaling saat mengingat percakapan terakhir mereka di telepon waktu itu. Tentang pengakuan Edwin mengenai perasaannya. “Edwin ...” Belum sampai Nadya melanjutkan, Edwin memotong. “Tak perlu merasa berhutang budi. Aku paham posisimu. Ini hanya ... Ayolah, kamu pasti tahu terlalu bahaya bagi perempuan di kota besar sendirian.” Nadya menunduk. Edwin benar. Masih segar dalam ingatan Nadya bagaimana sopir taksi yang dia sewa sempat akan mencelakai Nadya di jalan
Magbasa pa
PREV
1
...
7891011
...
14
DMCA.com Protection Status