Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Dari teras belakang, tepat setelah selesai bicara dengan Ratna, Pramono melangkah panjang menuju ruang kerja sang ayah. Dia tahu benar sang ayah masih di sana. Hampir separuh hidupnya dia habiskan hanya di ruang kerja. Bahkan dia yakin, waktunya untuk sang istri tak lebih banyak daripada waktu untuk pekerjaan. Brak! Suara keras pintu terbuka terdengar ketika Pramono mendorong kasar pintu ruang kerja tuan Aji hingga daun pintunya membentur dinding. Pandangannya mengedar lalu berhenti tepat di depan jendela. Di sana sang ayah duduk termangu di atas kursi roda, menatap keluar jendela. Seolah telah memprediksi apa yang akan terjadi, Tuan Aji sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Pramono. Dia masih memandang ke luar jendela seakan ada hal lebih menarik yang enggan dia lewatkan. “Ayah tahu apa yang Nadya lakukan, kenapa diam saja? Sejak kapan ayah tahu?” Tuan Aji menoleh ke arah Pramono. “Maksudmu perselingkuhan istrimu?” Tak ingin memperjel
“Mas Pram?” Lalu suara itu muncul kembali. Suara yang begitu merdu dan terasa bagai candu namun berubah menjadi begitu menyakitkan, kini, berdengung dan bersahut-sahutan di tempurung kepalanya. Pramono mengabaikannya, dan kembali mengisap rokok itu entah untuk ke berapa kalinya. “Mas Pram ...?” panggil suara itu lagi. Lalu bayangan wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah mengikutinya di belakang, muncul bagai slide film lama. Wanita itu menatap curiga sesampainya di hadapan Pramono. “Mas, kok bau rokok? Mas merokok?” Nadya bertanya lagi. “Oya?” Laki-laki itu menjatuhkan diri di sofa. “Iya.” “Coba tebak?” Pramono mendekatkan wajah agar sang istri bisa memastikannya. Setengahnya untuk mencuri aroma harum yang sudah tersaji dari wanita yang selalu menaati perintahnya: tampil ayu saat menyambut suami pulang kerja. Nadya menatap curiga wajah itu sesaat, seakan tahu niat dalam hati suaminya. Dia mendekatkan penciuman ke wajah suaminya, mengendus. Tapi bukan Pramono namanya j
“Telepon dari siapa?” Nadya bertanya tepat setelah Ali menurunkan ponsel dari samping telinga, separuhnya karena melihat raut di wajah itu berubah masam.“Pramono,” jawab laki-laki itu, masih memandang ke arah Nadya seakan ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar nama laki-laki itu disebut.Sebaliknya, Nadya tersenyum samar, menampakkan kesan tak peduli di hadapan Ali. “Lalu kenapa wajah Mas berubah?”Ali memandang wanita itu beberapa detik sebelum menjawab, seolah tengah memperkirakan bagaimana reaksinya andai Nadya tahu apa yang terjadi pada putrinya. “Tasya sakit. Dia dirawat sekarang.”Ali tahu, tidak ada ibu yang benar-benar tega pada putrinya, sebejat apa perbuatannya. Mendengar kabar dari Ali, wajah Nadya berubah pias. Dia sempat tertegun sebelum menunduk, menyembunyikannya dari Ali.“O—oh ... “Terlihat dari bagaimana wanita itu mengepalkan tangan yang gemetar. Ali tahu Nadya tidak baik-baik saja, dan sedang berusaha menguatkan hatinya.Nadya bangkit. “Sebaiknya ki—kit
“Saya terima nikahnya Nadya Arfianti dengan mas kawin seperangkat alat salat, tiga puluh gram emas, buku, dan satu unit rumah beserta isinya, dibayar tunai.” “Sah?” “Sah.” Dengan tubuh gemetar Pramono menengadahkan tangan mengamini setiap doa yang dilantunkan penghulu. Ucapan “Aamiin” bersahut-sahutan terdengar dari para tamu. Bagai isi dunia tergenggam di tangan, ada bahagia yang nyaris meledak di dada Pramono hingga membobol pertahanan diri dengan tetes demi tetes air mata di pipi. Dia mengusap cepat lalu diam-diam melirik gadis di sebelah kirinya yang juga terisak-isak. Pramono menenggelamkan wajah di lengan sofa tempatnya terbaring, karena detik ini dia menyadari tangisan Nadya itu bukan wujud dari air mata bahagia, melainkan sebuah keterpaksaan. *** Malamnya, di hari yang sama saat mereka menikah. Di rumah orang tua Pramono yang megah, Nadya duduk menepi di sudut ruangan dengan kedua kaki terlipat. Menatap keluar jendela seakan ada hal menarik di luar sana yang membuat gad
Pada sarapan esok paginya Ratna menyiapkan sendiri makanan untuk Pramono sebagai bentuk pelayanan kepada sang suami. Dari bagaimana sikapnya, Tuan Aji tahu putrinya sedang bahagia. “Sore nanti, Pram akan berangkat ke Bandung, Yah.” Pramono memulai pembicaraan setelah mendapatkan piring nasinya. Kalimat itu sontak membuat sang ayah dan Ratna menoleh bersamaan. “Bukankah sudah ada Annisa?” Tuan Aji bertanya. “Ya, Pram butuh melihat sendiri bagaimana perkembangan di sana, sebelum Grand opening.” “Kalau begitu untuk apa memperkerjakan Annisa?” Ratna menyela. Dia menatap kesal ke arah Pramono. Dibalas dengan tatapan dingin oleh laki-laki itu. Ratna bungkam karena teringat perbincangan malam itu, tentang tidak berhaknya dia menuntut, bahkan sekadar nafkah yang layak. Dia berpaling untuk menyembunyikan rasa kecewanya. “Kau mau ikut, Ratna?” Tuan Aji menawarkan. Mendengar tawaran menyenangkan itu, seketika Ratna menoleh ke arah sang ayah. Dia baru akan menjawab dengan anggukan, saat Pra
“Pram berangkat, Yah.” Tuan Aji mengangguk. Pramono memandang wanita yang berdiri di belakang sang ayah, dan menyadari hangat menyelusup ke sudut hatinya. “Aku berangkat. Tolong jaga ayah untukku.” Ratna mengangguk. Sedikit kecewa karena bahkan laki-laki itu belum bisa memanggil namanya dengan nyaman. “Hati-hati di jalan, jaga diri.” “Tentu.” “Kau yakin tak ingin mengajak dia?” tanya Tuan Aji, membuat wanita di belakangnya seketika memandang Pramono penuh harap. Pram tercenung sesaat lalu menatap wanita yang menggigit bibir itu lagi. Dan dia sadar, belum siap untuk itu. “Tidak, Yah. Pram usahakan pulang secepatnya.” Tentu saja, Ratna harus kecewa sekali lagi jika berharap Pramono akan berubah pikiran setelah apa yang mereka lalui beberapa jam yang lalu. Di depan sang ayah, meski sorot mata itu tak setajam sebelumnya, Pramono masih enggan tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Ratna menunduk saat menyadari usahanya seperti belum menghasilkan apa-apa kecu
“Tinggallah di sini untuk sementara waktu,” ucap Edwin saat mobil yang dia kemudikan berhenti di depan sebuah rumah. “Rumah ini milik ibuku. Masih terawat walau sedikit tua. Kau boleh pergi setelah menemukan tempat tinggal baru.” Nadya belum menanggapi. Pandangannya masih memindai rumah bergaya lama yang masih tampak begitu kokoh dan terawat. Di halamannya yang cukup luas, Nadya melihat beberapa tanaman hias tumbuh cantik dan dia yakin, melihat bagaimana seorang Edwin, tanaman itu memiliki ahlinya sendiri. Wanita itu kemudian berpaling saat mengingat percakapan terakhir mereka di telepon waktu itu. Tentang pengakuan Edwin mengenai perasaannya. “Edwin ...” Belum sampai Nadya melanjutkan, Edwin memotong. “Tak perlu merasa berhutang budi. Aku paham posisimu. Ini hanya ... Ayolah, kamu pasti tahu terlalu bahaya bagi perempuan di kota besar sendirian.” Nadya menunduk. Edwin benar. Masih segar dalam ingatan Nadya bagaimana sopir taksi yang dia sewa sempat akan mencelakai Nadya di jalan
Malam tiba. Sunyi kembali memenjarakan Pramono pada kerinduan tak berujung. Ada panas di hati setiap kali ingatan tentang wanita itu muncul di benak. Begitu panas sampai rasanya api itu sanggup membakar segalanya, bahkan dirinya sendiri. Pramono menyambar rokok di meja. Mengambil sebatang dan menyulutnya. Lalu bayangan Nadya yang mengomel melihatnya merokok memenuhi pandangan. Pramono menarik sebelah bibir untuk menertawakan kepayahan dirinya. Adakalanya benda itu menjadi pilihan terbaik untuk menemaninya saat sepi. Setelah itu dia akan terjaga sepanjang malam sampai kantuk menyerang. Dan terlelap di mana pun dia menjatuhkan diri. Lalu kembali terbangun saat Tasya terjaga dan memanggil-manggilnya. Sesekali bocah itu menangis histeris tanpa jelas apa yang diminta, dan kembali tertidur setelah digendong cukup lama. Pramono meraup wajah lelah. ‘Haruskah Tasya yang menanggung semua ini?’ Dia bertanya-tanya seiring sudut mata yang mulai menggenang akibat nyeri yang kembali menyiksa relun