Lahat ng Kabanata ng FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Kabanata 61 - Kabanata 70
132 Kabanata
Terbuai
Ali meneguk air yang diberikan Annisa, lalu memandang gadis yang menunduk itu lekat. “Tak perlu memikirkan aku. Aku baik-baik saja,” ucapnya saat memberikan kembali gelas itu kepada Annisa. Annisa menerimanya. Lalu berpaling untuk menyembunyikan rasa panas di wajah, diam-diam menghapusnya. Sejauh ingatannya, orang yang mengatakan aku baik-baik saja adalah orang yang sedang berupaya untuk baik-baik saja. Bukan benar-benar dalam keadaan baik. Perlahan sudut mata Annisa mengembun lalu luruh dalam derai yang menganak sungai, walau coba dia tahan kuat-kuat. Membayangkan bagaimana Ali kesepian di rumah itu, membuat Annisa merasa berat untuk meninggalkan meski dia sangat tahu, dirinya tak berarti apa-apa. “Apa ini ada hubungannya dengan permintaan terakhir ibu?” Annisa mengusap pipinya dan menggeleng samar. “Ya, tapi tidak seluruhnya. Aku hanya berat meninggalkan Mas, karena berpikir jika itu aku ... ... pasti akan sangat kesepian.” **** Tamu-tamu silih berganti menjenguk Ali, dan k
Magbasa pa
Bergolak
Tangis Annisa pampat seketika bersamaan dengan tangan kiri yang memegangi pipi. Dia menatap lekat laki-laki yang sekian detik lalu mendaratkan kecupannya di sana. Bahkan sebelum itu, bibir mereka nyaris saling menyentuh.Annisa mengusap sisa air mata dengan punggung tangan dan bertanya-tanya, apa arti semua ini?“Aku tidak pantas dapat semua kebaikanmu itu.” Ali menjauhkan wajah dari Annisa. “Kau terlalu baik, Nisa.”Annisa menatap nanar laki-laki di itu. Tidak pantas? Terlalu baik? Lalu apa arti kecupan itu?Antara kesal dan gugup gadis itu melangkah ke arah baskom di ujung bed. Menyelupkan lagi handuk ke dalam air lalu kembali mendekat pada Ali.“Apa denda untuk mencium tanpa izin?”Ali menoleh cepat. “Apa?”“Denda untuk mencium tanpa izin.” Annisa meraih tangan Ali yang lain, dan mulai mengelapnya.Laki-laki di hadapan Annisa tampak berpikir. Dia sadar telah terbawa suasana. Melihat wajah sendu Annisa, memancing rasa untuk merengkuh. Jauh dalam lubuk hati Ali, dia menyesal membuatn
Magbasa pa
Last Part Season 1. Kedatangan Nadya
Ali melepaskan tangannya. “Keluarlah. Aku butuh istirahat,” ucapnya lalu membaringkan diri membelakangi Annisa. Alih-alih menuruti perintah Ali, Annisa justru memperbaiki posisi duduknya di samping laki-laki itu. Meraih selimut yang semula hanya sebatas kaki, hingga ke atas tubuhnya. Memastikan dengan itu Ali merasa nyaman dan hangat. “Ingatlah. Akan ada saat mas rindu perhatian kecil semacam ini. Jadi syukuri saja ... ... selagi ada.” Annisa berbalik dan melangkah meninggalkan laki-laki itu di kamarnya. Klak. Pintu kamar tertutup. Tapi bukan melanjutkan langkah yang Annisa lakukan, dia justru berhenti di depan kamar demi memperbaiki ritme jantungnya. Sekejap merasa berdebar dengan sikap tak terduga laki-laki itu, lalu terhempas karena sadar Ali mungkin hanya terbuai dan menjadikan dirinya sebatas pelampiasan. Annisa tersenyum sumir saat menyadari kemungkinan ke dua lebih masuk akal. **** “Makanlah, mas harus minum obat.” Annisa meletakkan nampan berisi makanan itu di hadapa
Magbasa pa
64. Awal Mula
Beberapa hari lalu. “Dek? Lama banget. Dah sore nih.” Pramono membuka pintu kamar dan melangkah setelah menutupnya kembali, bersamaan dengan terdengarnya suara pintu tertutup. Itu jelas pintu kamar mandi karena Pramono mendengar suara air. Laki-laki itu kemudian duduk di tepi ranjang. Pandangannya tertuju pada jam tangan di atas nakas yang seketika mengingatkan dia belum memakainya. Pramono meraih jam itu, dan dengan gerakan terlatih memakainya dalam sekali tekan. Pandangannya kemudian teralih oleh suara getar dari meja, dari ponsel Nadya. Mas Ali? Ali? Pramono mengernyit. Untuk apa dia menelepon Nadya? Pramono nyaris menggeser tombol hijau sebelum dia sadar, tak terdengar lagi suara gemercik air. Dia memilih meletakkan lagi ponsel itu sebelum Nadya melihatnya. Pintu kamar mandi terbuka. “Astaga, Mas Pram?” ucap Nadya terkejut, “sejak kapan Mas di situ?” Meski bagi Pramono pertanyaan itu terdengar aneh—karena tidak seharusnya istri terkejut, lalu menanyakan itu, atas keberadaan
Magbasa pa
65. Nostalgia Bag. 1
“Bagaimana kabarmu, Nduk?” tanya Tuan Aji saat melihat Nadya sedang memandangi potret lama di rumah besar itu. Rumah itu sebenarnya terlalu besar untuk hanya dihuni oleh seorang laki-laki lumpuh, seorang perawat yang sudah seperti anak sendiri, pembantu dan satpam. Nadya berbalik. “Sehat, Yah. Ayah juga sehat, ‘kan?” Tuan Aji hanya tersenyum. “Kapan kamu akan tinggal di sini? Rumah ini terlalu besar untuk ayah tempati sendiri.” Nadya tercenung karena tak punya jawaban untuk itu. Orang tua mana pun pasti ingin hidup berdampingan dengan sang anak. Tapi yang terjadi pada Pramono, berbeda. Sejak kecil laki-laki itu terdidik mandiri. Bahkan dengan penghasilannya mampu memiliki rumah di usianya yang ke dua lima, dan dia terbiasa tinggal di rumah miliknya alih-alih hidup bersama kedua orang tuanya. “Nad akan coba bicara sama Mas Pram ya, Yah.” Tuan Aji hanya mengangguk. “Rumah ini sangat sepi setelah ibumu meninggal, Nduk. Mungkin itu juga alasan Pram enggan berlama-lama di sini.” Tuan
Magbasa pa
66. Nostalgia Bag. 2
“Makanlah bersama kami, Ratna,” ucap Pramono saat melihat perempuan yang sudah seperti adiknya itu hendak melangkah pergi setelah melayani sang ayah. Ragu-ragu Ratna melirik Nadya lalu sang ayah, dan berakhir pada Pramono. “Makasih, Mas, mau bareng Bik Endang aja. Silakan.” Ratna melangkah meninggalkan mereka. Nadya menatap kepergian gadis itu dan baru menoleh saat dia menghilang di balik dinding. ‘Sombong!’ “Apa biasanya dia memang makan di belakang, Yah?” Awalnya Nadya tak berniat menanyakan itu, tapi melihat sikap Ratna yang dalam pandangannya adalah kesombongan, Nadya kesal. Di telinga Tuan Aji, pertanyaan itu terdengar seperti mereka adalah keluarga kejam yang membedakan antara anak kandung dan anak angkatnya, sehingga laki-laki sepuh itu memilih menjawab jujur. “Tidak. Biasanya di sini, bareng ayah.” Nadya manggut-manggut. Sejujurnya dia tak suka jawaban itu, namun memilih menutupinya dengan senyum samar. “Berarti gara-gara Nad di sini, mungkin.” “Nad ....” Pramono menye
Magbasa pa
67. Rencana
“Sejak tadi, aku lihat kau sibuk. Sudah makan?” tanya Pramono pada gadis di depan wastafel yang masih sibuk dengan gelas di tangannya. “Kenapa kau mengelap gelas, bukankah itu pekerjaan Bik Endang?” tanya Pramono lagi. Ratna meletakkan gelas yang baru dia keringkan, begitu pun kain lap putih di tangannya. “Kami saling membantu, Mas. Tidak ada pekerjaan siapa dan siapa.” Pramono menangguk. Dia meletakkan cangkir kopi di wastafel dan bermaksud mencucinya. Namun, Ratna terlebih dulu meraihnya hingga tangan mereka bertumbuk. Hati-hati Ratna melepas jemari laki-laki itu dari cangkir, membilasnya dengan air yang mengucur dari kran, sebelum melepaskannya. “Makasih.” Pramono menarik tangannya dan mengeringkan. Ratna hanya menekan bibirnya dan menoleh ke wastafel. Dia tak sanggup melihat wajah matang laki-laki yang sudah seperti kakaknya itu, yang entah kenapa rasa itu berubah justru setelah Pramono menikah. “Maafkan sikap Nadya tadi, ya.” Ratna menggeleng. “Tak apa, itu salahku,” jawa
Magbasa pa
68. Kenyataan Pahit Bag. 1
“Benarkah? Apa buktinya?” “CCTV yang terpasang di tikungan tak jauh dari rumahmu.” Pram lupa ada CCTV di tempat itu. “Bagaimana dengan saksi?” “Aku sudah dengar sendiri, dan kupastikan mereka jujur.” “Kau sudah pastikan mereka bisa menjaga rahasia?” “Kujamin. Kuancam mereka dengan pencemaran nama baik, jika sampai membocorkan rahasia ini.” Jemari Pramono mengepal kuat yang sebenarnya hanya upaya untuk menguatkan hatinya yang mendadak kacau. “Buat pertemuan antara aku dan mereka,” ucap Pramono akhirnya. “Kapan?” “Besok aku pulang.” “Baiklah.” Hening sesaat. “Setelah membuktikan ini, apa rencanamu?” Pramono tercenung. Itu juga pertanyaan yang muncul di benaknya. “Aku belum tahu. Akan kupikirkan besok.” Tidak ada orang yang baik-baik saja setelah mendengar kabar buruk. Begitu juga dengan Pramono. Dengan tangan gemetar dia mematikan sambungan telepon, memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana, dan kembali melangkah ke dalam. “Siapa, Pram?” tanya Dinar setiba dia di rua
Magbasa pa
69. Kenyataan Pahit Bag. 2
Sejak malam, Pramono belum sekali pun menyapa Nadya. Bahkan setelah menyeruput kopi yang disajikan sang istri, laki-laki itu hanya diam dan bicara saat ada orang tuanya—demi menutupi apa yang terjadi di antara mereka. Tak ada orang tua yang ingin melihat pertengkaran putra-putrinya, bukan? Apalagi ancaman hancurnya rumah tangga karena adanya orang ke tiga. Pramono masih cukup waras untuk sekedar menjaga perasaan mereka. “Ayah sudah tahu?” tanya Pram setelah sekali lagi menyesap kopi pekat pada cangkir di atas meja. Meja yang sama yang digunakan Nadya untuk meracik sarapan mereka. Ikhsan mengernyit. “Tahu apa?” Pramono melirik sang istri yang tengah menyimak sambil memotong wortel. Jika tak salah melihat, dia sempat menangkap raut kecemasan di wajah itu. “Ibu Roro, ibunda Ali, meninggal malam tadi.” Lalu berpaling setelah menangkap ekspresi Nadya yang terkejut hingga nyaris memotong ujung jarinya. **** Hening meliputi sepanjang perjalanan ke rumah Ali. Bukan benar-benar hening tan
Magbasa pa
70. Kenyataan Pahit Bag. 3
“Apa Mas gila?”“Mas suruh laki-laki asing datang ke rumah, sementara di rumah nggak ada orang lain!Mas mikir apa, sih?”“Astaga, dek, tenang. Dia cuma Ali. Bukan penjahat.”“Cuma, Mas bilang?”“Ya. Ali, Om kamu, ‘kan?”“Tapi, Mas, Ali itu—“ Kalimat Nadya terjeda, dan setelahnya Pram tak pernah bertanya apa kelanjutannya dan kenapa Nadya semarah itu. (Bab 12. Kemarahan Nadya)Pramono memejamkan mata ketika terngiang kembali percakapannya dengan Nadya siang itu. Bagaimana marahnya perempuan itu ketika tahu kedatangan Ali adalah atas suruhannya, yang sebenarnya adalah bentuk perhatian Pramono untuk istrinya yang sedang sakit.Pramono bukan tak berusaha menghubungi sang ibu. Siang itu Dinar mengatakan belum bisa datang karena sang ayah pun sedang sakit, hingga pada tahap ekstrem Pram memilih meminta tolong pada Ali, orang yang dia anggap saudara sendiri.Maju ke berapa tahun yang lalu, Pramono pun akhirnya tahu apa arti huruf ‘A' yang dia lihat tergantung di dompet Nadya pada kali perta
Magbasa pa
PREV
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status