All Chapters of FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Chapter 91 - Chapter 100
132 Chapters
99. Dipenjara Sepi
Malam tiba. Sunyi kembali memenjarakan Pramono pada kerinduan tak berujung. Ada panas di hati setiap kali ingatan tentang wanita itu muncul di benak. Begitu panas sampai rasanya api itu sanggup membakar segalanya, bahkan dirinya sendiri. Pramono menyambar rokok di meja. Mengambil sebatang dan menyulutnya. Lalu bayangan Nadya yang mengomel melihatnya merokok memenuhi pandangan. Pramono menarik sebelah bibir untuk menertawakan kepayahan dirinya. Adakalanya benda itu menjadi pilihan terbaik untuk menemaninya saat sepi. Setelah itu dia akan terjaga sepanjang malam sampai kantuk menyerang. Dan terlelap di mana pun dia menjatuhkan diri. Lalu kembali terbangun saat Tasya terjaga dan memanggil-manggilnya. Sesekali bocah itu menangis histeris tanpa jelas apa yang diminta, dan kembali tertidur setelah digendong cukup lama. Pramono meraup wajah lelah. ‘Haruskah Tasya yang menanggung semua ini?’ Dia bertanya-tanya seiring sudut mata yang mulai menggenang akibat nyeri yang kembali menyiksa relun
Read more
100. Kebetulankah?
Seperti bocah yang baru dilepas sang ibu, Nadya tak berhenti mengedar pandang melihat hal-hal baru di sekelilingnya. Pejalan kaki, pepohonan, pedagang keliling, angkot yang cukup sering melintas.Hal paling menarik dari kota Bandung bagi Nadya adalah orang-orangnya yang ramah. Bahasanya yang lembut dan santun yang bahkan bisa dia dengar dari pemuda yang identik dengan hal-hal gaul. Nadya mengulum senyum.Sementara seperti baru mendapat mainan baru, Edwin justru sibuk memperhatikan wanita di sampingnya. Ada kepuasan ketika ekspresi di wajah itu tampak tersenyum entah oleh apa yang dilihatnya di luar sana.Sulit bagi Edwin untuk berhenti memperhatikan setiap gerak gerik wanita itu. Dia bahkan sampai harus memperlambat laju mobil demi mengulur waktu bersamanya.Ya. Edwin mengakui, dia telah jatuh cinta. Cinta tak pada tempatnya.Edwin kemudian berpaling karena dia nyaris tertangkap basah telah diam-diam mencuri pandang.“Apa kau baru pertama kali ke Bandung?” tanya Edwin saat dia dengan
Read more
101. Annisa?
“Selamat datang,” sapa seorang wanita. “Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa kami bantu?” Nadya menoleh pada seseorang yang bertanya di belakangnya. Lalu tersenyum ketika menyadari dia adalah pegawai toko itu. “Oh. Pagi. Saya datang atas undangan Ibu Hana.” “Oh, Ibu Hana sedang izin tidak masuk hari ini, Kak.” “Ya. Dan saya diarahkan untuk menemui ibu Annisa.” “Baik. Ibu Annisa ada. Mari saya antar.” Perempuan yang Nadya perkirakan usianya sekitar dua puluh lima itu melangkah mendahuluinya melewati lorong bernuansa coklat. Nadya sempat menoleh kembali untuk memastikan judul buku yang dilihatnya sebelum pandangannya terhalang dinding. Diam-diam dia berniat memastikan sendiri siapa penulis buku itu, sekeluarnya dari sana. Langkah Nadya kemudian berhenti saat wanita yang menuntunnya berhenti di depan pintu. Di sana tertera nama “Annisa El Lathifa” di bawah kalimat, “Direktur Pelaksana NAF Publisher”. ‘Kebetulan sekali,’ desis Nadya dalam hati. Nadya merasa, nama itu mirip milik seseor
Read more
102. Lari dari Kenyataan
“Kau sudah mau pergi?” tanya Ali saat melihat Annisa membereskan kamar dan mengemasi barang-barangnya. “Ya,” jawab Annisa tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengeluarkan tas dari kamar, dan bersikap seolah tak peduli pada tawaran Ali. “Mau kuantar?” tanya laki-laki itu lagi. Dia tak benar-benar ingin mengantar kecuali melihat bagaimana wajah sembab Annisa yang sedikit pucat. Sejak menerima telepon di kamarnya dia bahkan belum memakan apa pun. Ali tak menampik dia mengkhawatirkan Annisa. Alih-alih menjawab, Annisa justru memandang wanita yang masih duduk di meja makan dengan kopi di tangannya, seakan berita yang baru saja dia dengar bukan sesuatu yang serius. Ada kejengkelan yang menggumpal di hatinya untuk wanita itu. Sayangnya, jangankan mengumpat, memulai untuk bicara pun dia tak punya nyali. Annisa yang sempat terpaku di depan pintu, lalu melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Tubuhnya membungkuk meraih tas dari lantai dan menggendongnya. “Tidak perlu. Aku sudah pesan taksi.” Ga
Read more
103. Tak Bisa Memilih
Seperti menunaikan apa yang pernah menjadi impiannya, Ali begitu cekatan menuruti kemauan Nadya. Begitu pun ketika Nadya meminta menginap di tempat itu.Tak butuh waktu lama untuk keduanya sampai di sana. Sebuah penginapan seukuran kamar dengan dinding kayu berpernis yang dibangun di antara pohon pinus. Di dalamnya dobel bed berada tepat di tepi jendela kaca besar yang memenuhi hampir seluruh dinding. Kamar mandi air hangat dan dapur. Suatu tempat yang lebih tepat untuk pasangan bulan madu.Tentu, bulan madu, sebutan untuk mereka yang menikmati hari-hari indah setelah pernikahan.Lalu apa sebutan untuk mereka berdua? Pasangan yang berbahagia setelah menghancurkan hati orang lain?Nadya menjatuhkan diri di ranjang. Berharap dengan begitu luruh pula beban hati. Sayangnya bayangan pucat wajah Tasya dan tangisannya yang menyayat terngiang-ngiang jelas di kepala. Nadya memejamkan mata demi mengusir bayangan itu.Gusar, wanita itu bangkit. Menyambar handuk sebelum akhirnya melangkah ke kama
Read more
104. Nadya?
“Kenapa malah melamun?” Pertanyaan Edwin seketika menarik kembali kesadaran wanita yang tercenung di depannya. Dia menoleh pada laki-laki itu. Hanya sekejap, karena setelahnya dia kembali memandang ke arah jalan. “Hanya memikirkan sesuatu,” jawab Nadya. “Seseorang yang kau bilang di rumah?” Nadya kembali menoleh dan memindai lelaki yang juga tengah memandangnya lekat. Edwin yang semula berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja, lalu menarik kursi di dekatnya dan duduk. Tak ada jawaban. Nadya memilih mengabaikannya. Hal paling menakutkan bagi wanita manja sepertinya adalah tergoda untuk menerima kebaikan. Dan, ayolah siapa yang tak akan tertarik pada laki-laki seperti dia, jika terus-terusan diperhatikan begitu? “Benar rupanya.” Edwin menebak yakin. Nadya menarik napas dalam. “Kau bilang bukan pengangguran, kenapa di sini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengaduk isi gelas di depannya. Lalu kembali mengangkat wajah saat terdengar langkah kaki mendekat dengan beber
Read more
105. Pertanyaan
“Mbak Nisa ...” Meski setengah berbisik, panggilan dari seberang meja membuat Annisa mengangkat wajah dari layar komputer. Di depannya Hana sudah memandang dengan wajah penuh tanya. “Dia kenapa, sih?” tanya wanita itu. Pandangan Annisa beralih ke arah pintu. Dia menghela napas jengah lalu menggeleng di antara senyuman, isyarat dia tak punya wewenang untuk menceritakan apa pun masalah sang bos kepada orang lain, walau sangat ingin. Hana bangkit setelah sebuah helaan napas pasrah. Dia lupa, bertanya pada Annisa tak akan membuatnya mendapat jawaban. Gadis itu terlalu baik untuk bisa menggunjing orang lain. Namun, dia mulai mencurigai sesuatu, dan akan mencari tahunya sendiri setelah ini. Wanita itu hampir melangkah sebelum kembali menoleh pada direktur barunya. “Oya, siapa nama istri Pak Pram?” Dahi Annisa berkerut. Dia memandang Hana dengan tatapan ragu sebelum menunduk memandangi kedua tangannya yang saling menggenggam di meja. Nadya. Dia perempuan cantik yang beruntung memiliki
Read more
106 & 107. Kedatangan Ratna
“Kita mau ke mana?” Nadya mengedar pandang keluar jendela mobil dengan gelisah. “Nanti kau akan lihat.” “T—tidak, sebaiknya kita pulang.” Perempuan itu menarik tasnya ke pangkuan. Sesekali tangan kiri mengepal seperti orang ketakutan. Edwin menangkap gelagat itu dan tersenyum di antara gelengan. Tidakkah sikap takut itu sedikit terlambat? “Percayalah, Nadya, kau aman,” ucapnya seiring senyum yang kembali tersungging di bibir. “Jika aku berniat jahat, aku sudah melakukannya di kali pertama kita bertemu, ingat? Dengan keadaanmu waktu itu, aku bisa dengan mudah melakukannya,” ucap Edwin tanpa berpaling dari jalan. Sesuatu yang hangat terasa menyiram sudut hati Nadya. Mendadak dia malu pada pikirannya sendiri. Edwin orang baik-baik. Dia percaya itu. Yang membuat Nadya tak nyaman di dekat laki-laki itu adalah, perasaannya sendiri. Rasa kuatir mengecewakan orang lain setelah apa yang mereka berikan, membuat Nadya takut menerima kebaikan yang bertubi-tubi. Ditambah di tengah keadaan sul
Read more
108. Perpisahan
“Pak, ini laporan penjualan untuk bulan ini,” ucap Hendri sesaat setelah terdengar pintu ruangan Ali terbuka. “Terima kasih. Tolong letakkan di meja,” jawab laki-laki itu tanpa menoleh. Pandangannya masih tertuju pada sepasang gadis di bawah sana, yang entah bagaimana satu di antaranya mirip Annisa. “Ada yang bapak butuhkan lagi?” “Tidak. Terima kasih. Kamu boleh pulang.” Laki-laki dengan kemeja bermotif kotak-kotak itu mengangguk lalu melangkah keluar. Sudah seminggu sejak Nadya meninggalkannya di penginapan, Ali belum tahu bagaimana kabar wanita itu, kecuali dari pembaruan “story” di aplikasi hijaunya. Setelah hampir terjaga sepanjang malam, pagi itu, Ali bukan tidak tahu apa yang Nadya lakukan di kamar mereka. Suara gaduh itu menggambarkan betapa buru-buru wanita itu mengemasi barang di antara isak yang sesekali terdengar. Dan semua kegaduhan di kamar berakhir setelah terdengar suara pintu tertutup. Kecupan di dahi dan bibir, setitik air yang sempat menetes di pelipisnya sebe
Read more
109. Dendam yang Terbalaskan
Dinar akhirnya mengerti alasan terkuat Pramono membawa Tasya ke Bandung, alih-alih menitipkan gadis kecil itu kepada sang nenek, adalah untuk menutupi aib keluarga dari penilaian masyarakat—yang pasti akan tidak baik.Sudah menjadi rahasia umum bagaimana buruknya dampak dari komentar negatif bagi psikis anak-anak. Bagaimana perasaan tertolak akan menghadirkan kebencian dalam hati seorang anak kepada sang ibu, dan menodai rasa kasih di hatinya di kemudian hari.Bagaimana pun buruknya perbuatan Nadya, Pramono tak ingin putrinya sampai membenci sang ibu—lebih tepatnya—membenci putrinya sendiri, dewasa nanti. Dinar paham itu. Dan mulai menerima alasan menantunya. Itulah kenapa dia kini begitu rindu sang cucu. Dan andai tak cukup tahu diri, dia pun ingin Tasya tetap di rumah bersama sang ayah yang terlanjur dianggap seperti anak sendiri.Pramono, pemuda gagah yang datang dengan kerendahan hati menawarkan diri untuk menjadi suami dari sang putri. Oh ... andai waktu bisa diputar kembali, Di
Read more
PREV
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status