All Chapters of Segitiga Penguasa - Sudut Pertama: Chapter 51 - Chapter 60
75 Chapters
51. Menggerakkan Bidak
Mendapati sosok tiga penunggang hewan berbulu di depan mata, sekejap nyali Wakaru menciut. Ekor matanya tak mungkin salah mengenali lelaki bertubuh gemuk bernama Mormo yang kini tengah memandangnya dengan seringai mengancam. Di samping Mormo, ada lelaki berbadan tegap bernama Muriel yang hanya menatapnya dengan mulut terkatup. Terus membisu di atas hewan tunggangan, air muka Muriel seolah tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sementara itu, berada hanya satu langkah di depan, seorang lelaki bertubuh kurus terus membelalak seram. Mengintimidasi, sekaligus mengancam. “Apa yang sudah kau lakukan? Berani sekali kau mengambil jatah makanan kami!” bentak  Behemoth di atas punggung hewan berbulu abu-abu. Air mukanya tampak sedang marah besar. Wakaru hanya tertunduk dengan bibir tertutup. Mau bagaimana pun, jelas ia tak kan mungkin menang jika berhadapan dengan Tiga Kanibal. Pertemuan tak terduga dengan Tiga Kanibal sama sekali tak masuk dalam rencana yang telah ia susun. N
Read more
52. Orang-orang Di Balik Kabut
Setelah menerima perintah dari Wakaru lekas-lekas Katan melakukan pergerakan. Perlahan, langkah kakinya terhitung satu demi satu. Kedua matanya begitu awas memperhatikan setiap gerakan yang mencurigakan. Seolah hendak menjerat hewan buruan. Jika tak ingin sasaran kabur karena suara berlebih, ia harus melakukan pergerakan setenang mungkin. Lembut. Pelan. Menyaru dengan suara alam. Baru beberapa langkah dari tempatnya semula, di ujung penglihatan, dari balik batang pohon, Katan menangkap sekelebat pergerakan. Sigap, senjata andalannya segera dipersiapkan, tergenggam erat menggunakan kedua tangan. Hati-hati, ia pun berjalan menuju ke salah satu pohon besar berdaun rindang. Dengan penuh kewaspadaan, Katan mengendap-ngendap, mendekat. Setelah jaraknya hanya tinggal terpaut satu langkah, dengan lincah ia melompat sambil mengayunkan pedangnya ke balik batang pohon. Celingak-celinguk, kedua bola mata Katan langsung memindai keberadaan seseorang. Kosong. Ternyata tak ada siap
Read more
53. Embusan Napas Terakhir
Sehelai kain kotor kembali dimasukkan ke dalam kuali kecil berisikan air. Kain polos yang sejatinya berwarna putih resik itu kini telah berubah warna. Menjadi merah. Pekat. Bercampur darah.Bersebelahan dengan kuali kecil berisikan beberapa helai kain kotor, tergeletak seonggok tubuh manusia berperawakan tinggi besar. Bibir manusia itu tampak membiru. Wajahnya pucat pasi. Pergerakan napasnya terlihat samar-samar.“Lelaki ini sudah tak mungkin lagi terselamatkan.” Seorang perempuan separuh baya bangkit berdiri. Di sebelahnya, seorang pria bertubuh bungkuk menghela napas. Begitu jelas, ada rona kesedihan terpancar dari air mukanya.“Kalau begitu, kita tunggu sampai dia mengembuskan napas terakhir,” ucap pria bertubuh bungkuk, lirih.Orang-orang yang berdiri di sekitar tubuh lelaki berperawakan tinggi besar itu memandang dengan penuh rasa iba. Walau bukan bagian dari mereka, namun menyaksikan proses kematian secara langsung selalu men
Read more
54. Kisah Agni dan Yama
“Dan namaku sendiri adalah Lesayu,” pria separuh baya bertubuh bungkuk itu memperkenalkan diri. Ia palingkan wajah, melihat ke arah perempuan muda di dekatnya. “Keluarlah dulu. Biar aku yang menjaganya.”“Baik, Ayah.” Eshal bangkit berdiri. “Oh, iya. Ayah,” langkahnya sesaat tertunda, ia telengkan kepala, “jangan lupa, manusia itu harus segera meminum ramuannya.”Lesayu mengangguk halus, lalu melirik ke arah pintu. Memberikan kode agar anaknya segera keluar dari ruangan.Setelah menyaksikan punggung Eshal menghilang di balik pintu kayu, lekas-lekas Lesayu mengalihkan perhatian ke arah Marca. “Tenangkan dulu dirimu. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Lukamu cukup parah.”“Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Di mana ini?”“Kami membawa kalian ke desa kami. Desa Sikmatu.” Lesayu beringsut mendekat ke arah Marca. “Ini. Minumlah,” ucapnya semb
Read more
55. Penelusuran
Ia sendiri tak pernah berencana untuk melakukan ini semua. Intuisinya yang menggiring langkah kakinya hingga sampai di rumah masa kecil yang sudah beberapa tahun tak pernah ia kunjungi lagi. Seharusnya juga tidak untuk saat ini.Di ujung malam menuju pagi, pintu kayu berserat kasar itu diketuk secara berendeng. Jelas sekarang bukan waktu yang tepat untuk datang bertamu, tetapi Rea tak peduli. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan. Pintu terbuka, dan seorang pria separuh baya yang muncul dari balik pintu seketika mencureng dengan kedua mata memerah.“Apa kebiasaan burukmu itu tidak dapat kau rubah sedikit saja?” tukas Bunaga. Melihat kedatangan anak semata wayangnya, ia tampak bersungut-sungut.“Apa yang telah Ayah rencanakan?”Sambil berkacak pinggang, Bunaga memandang lekat-lekat wajah Rea. “Sudah berapa kali aku memperingatkanmu untuk tidak mencampuri urusanku?”“Aku tidak akan pern
Read more
56. Pertemuam Empat Jenderal
Sang surya kini tengah menempati singgasana tertingginya di atas langit sana, namun entah mengapa, cahayanya bagai redup. Tertutup kepulan awan pekat. Tak ada rintik hujan. Hanya kilatan cahaya yang terus-terusan menyambar.Di tengah-tengah himpitan jajaran bangunan yang tinggi menjulang, sebuah bangunan besar yang tengah dikerubungi oleh banyak orang tampak temaram. Di dalamnya, suasana terasa begitu menegangkan. Mencekam. Mengerikan.Ketiga sosok pria separuh baya duduk bersama dengan wajah terlipat. Mereka tengah menantikan kehadiran seseorang. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali mereka berada di satu ruangan yang sama. Hampir dua puluh tahun lamanya.Meja besar berbentuk persegi menjadi pemisah antara satu dan yang lainnya. Mereka bertiga telah bersepakat untuk tetap duduk saling berjauhan. Dari dulu memang seperti itu. Tak ada satu pun dari mereka yang mau berdekatan, kecuali dengan satu tujuan.Seorang pria berusia separuh baya—berper
Read more
57. Mereka, yang Mengintai dan Menunggu
Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh ayahnya, Eshal telah menyiapkan beberapa gelas air bersih yang ia letakkan di dekat nampan. Air di dalam gelas-gelas itu akan digunakan untuk mengguyur wajah Marca yang sudah tak sadarkan diri sejak semalam.Semoga ini benar-benar berhasil, memegang satu gelas berisikan air, batin Eshal mulai meragu. Tepat ke arah wajah Marca, Eshal menyiramkan air dalam gelas itu. Sekejap, kelopak mata, beserta mulut Marca membuka. Tarikan napas panjang spontan dilakukan. Kedua paru-parunya seakan menagih jatah udara segar dalam jumlah besar.“Di mana aku?” terengah, Marca bertanya.“Kau masih di rumahku.”Dengan mata sembap, Marca berusaha menatap lamat-lamat perempuan muda di sampingnya. “Apa aku belum mati?” ia bertanya kembali.“Sayangnya belum. Kalau sudah kau pasti tidak akan bisa lagi berbincang denganku seperti ini.”Merasa tugasnya telah usai, Eshal
Read more
58. Kakek dan Cucunya
Di mata Kuja, Bunaga, kakeknya, adalah sosok paling misterius yang tak mungkin Kuja selami jalan pikirannya. Selama ini, meski berstatus sebagai seorang cucu, Kuja tak pernah mengenal Bunaga layaknya seorang cucu mengenal kakeknya. Hubungan mereka berdua tak lebih dari seorang Tetua dan penduduk desa.Bunaga sendiri adalah seorang Tetua Desa yang dikenal memiliki kepribadian tertutup. Ia akan bicara seperlunya. Bertindak seminimal mungkin. Ia tidak akan ikut berdebat dalam pengambilan keputusan jikalau hal yang didebatkan itu bukanlah urusan penting. Dan acap kali, keputusan yang diambil oleh Bunaga justru menjadi satu-satunya keputusan yang paling jitu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap terlampau rumit bagi banyak orang. Dan lagi, teruntuk sebagian besar penduduk desa, Bunaga sering dianggap sebagai pemimpin yang sebenarnya.Sambil menimang-nimang keputusan yang telah ia ambil, Kuja berjalan pelan meninggalkan rumah. Hatinya kecut. Sebenarnya, Kuja tak yak
Read more
59. Pertolongan Berikutnya
Denging suara hewan-hewan kecil menggiring langkah mereka untuk semakin jauh memasuki daerah hutan desa Neras. Dengan penuh kewaspadaan, Wakaru memutar bola matanya. Perangkap bisa ada di mana saja. Ia dan rombongan harus tetap berhati-hati jika tak ingin terperosok ke salah satu jebakan yang kemungkinan besar ada di depan.Dalam sekejap, sekelumit pergerakan kecil menarik perhatian semua orang.“Siapa itu?” tanya Sanna, setengah berseru.Berjalan di posisi paling depan, Wakaru menoleh ke belakang. “Bodoh! Kecilkan suaramu!” desisnya.“Ba—baik, Wakaru.”“Kita harus tetap waspada. Jangan terlalu banyak bicara. Musuh kita kali ini bisa saja mengintai dari sudut yang tak kan pernah kita duga.”Beberapa Penjaga desa Podom di balik punggung Wakaru sontak menganggukkan kepala. Segera, mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan pandangan mata tetap awas mengamati sekitar.Sementara itu,
Read more
60. Perjanjian Kerja Sama
Jika saja Eshal sempat menemukan alasan yang pas untuk menolak perintah ayahnya, pastinya tanpa berpikir panjang alasan itu sudah langsung terlontar keluar dari mulutnya. Sejak awal kedatangan rombongan tamu yang datang tanpa diundang, Eshal sudah sependapat dengan sepupunya—Axelle—ia tak akan sudi menerima orang-orang asing untuk masuk ke desa mereka. Kembali.“Ke mana kita akan pergi?” memecah kesunyian, berjalan tepat di belakang Eshal, Buda mengajukan pertanyaan.Eshal yang bertugas memimpin barisan tak memberikan respons apa pun. Baginya, pertanyaan itu sama sekali tak butuh jawaban.“Eshal!” dari kejauhan, seorang lelaki berteriak memanggil.Eshal mengerling. Suara itu terlalu familier untuk diabaikan. Di ujung penglihatannya, ada seorang lelaki bertubuh tinggi dengan dada bidang yang terlihat tengah berlari secara tergesa. Axelle?“Ada apa?” tanya Eshal.“Apa yang kau laku
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status