Semua Bab Segitiga Penguasa - Sudut Pertama: Bab 31 - Bab 40
75 Bab
31. Jembatan Pertemuan
Dari ekor matanya, dua tiang menara raksasa berdiri kokoh, menjulang tinggi menyentuh langit. Di kiri dan kanan, ada dua tali baja seukuran satu batang pohon besar, yang masing-masing membentang menuju ke satu ujung menara.Pandangan Buda lalu menyapu ke arah bawah. Lantai jembatan itu tampak masih bisa dilalui. Walau terlihat jelas, di beberapa titik ada bagian-bagian berkarat yang mestinya sudah harus diganti.Sekilas kemudian, Buda mengangkat kepala. Mengamati latar hitam yang menaungi Jembatan Pertemuan. Langit gelap dengan hanya sedikit penghias sudah cukup meremangkan bulu kuduknya. Sedari tadi, ia tak henti-hentinya mengedip-ngedipkan bola mata. Menelan ludah. Apa yang ia lihat ternyata tak berubah.Sangsi pun bertumbuh. Berjalan semakin dekat ke arah jembatan, degup jantung Buda semakin tak karuan.“Jangan terlalu banyak berpikir. Inilah konsekuensi yang harus kau ambil.” Berada tepat di belakang Buda, Marca berbisik sinis. “Cepa
Baca selengkapnya
32. Para Penjemput
Kedua mata Marca tetap awas menerawang. Tak begitu sulit menemukan ranting kering di lebatnya semak belukar ketika cahaya bulan menyorot tepat di tempatnya berdiri. Tangannya lalu terjulur, satu lagi ranting kering berhasil ia kumpulkan.“Terima kasih kau telah menolongku,” Buda berkata kepada Marca. Di saat yang sama, ia juga tengah berburu ranting-ranting kering. Di tempat itu, hanya ada mereka berdua.Marca terdiam. Begitu saja, ia melangkah pergi.“Kau harus memberi tahuku bagaimana semuanya bisa terjadi? Bagaimana kau bisa tahu mengenai semua hal itu? Bagaimana kau tahu, kalau dengan mandi di sungai, kita bisa melihat wujud Jembatan Pertemuan?”Langkah Marca tertunda. Ia telengkan kepala. “Kurasa tak akan ada satu pun dari pertanyaanmu yang akan kujawab,” ujarnya, dingin. “Lebih baik kau mempercepat gerakkanmu. Ini sudah larut malam. Kita harus segera beristirahat.” Dengan pandangan lurus, Marca melanju
Baca selengkapnya
33. Misi Rahasia
Satu per satu bulir keringat berjatuhan. Sambil mengepalkan kedua tangan, Kuja bangkit berdiri. “Siapa berikutnya?” ia edarkan pandangan. Melihat sekeliling.Puluhan lelaki sontak berdiri gemetaran. Perempuan muda yang kini tengah mereka hadapi sangat jauh dari kesan anggun dan menawan—seperti yang sempat dibayangkan di awal. Waktu pertama kali Kuja hadir pun, ada aura yang amat jauh berbeda dari perempuan kebanyakan.Dua hari lalu, Luca membawa Kuja ke sebuah tempat rahasia. Sebuah tempat yang sangat tersembunyi dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Namun sebelum sampai ke tempat yang dijanjikan itu, mereka berdua terlebih dahulu berdiri di pinggiran tebing curam. Memandangi riak air laut yang bergerak tak menentu.“Kita akan turun ke bawah sana?” Kuja melongok, mengamati tebing terjal yang dihempas berkali-kali oleh ombak-ombak besar.Luca mengangguk. “Ikuti aku.” Ia lalu berjalan ke sebuah rumah usang yang
Baca selengkapnya
34. Pertempuran Berikutnya
Terdengar bunyi tulang bergemeretak. Buda melompat terpaksa dari satu batang pohon. Ia mengernyit. Sudah sejak semalam, seluruh persendiannya terasa begitu nyeri. “Lain kali kita lebih baik tidur di atas batu daripada di atas pohon seperti ini,” keluh Wrahaspati, “Kalau begini caranya, aku bisa mati lebih cepat.”“Waspada!” sekonyong-konyong, Darangga berseru. Senjata di tangannya seketika teracung.Dari balik semak belukar dan jajaran batang pohon, beberapa orang pria berpakaian lusuh tiba-tiba datang mendekat. Dalam sekejap, mereka semua mengepung para Penjaga desa Jamahitpa.“Siapa kalian?” tanya Gunawan.Salah seorang pria berbadan kekar dengan satu bekas luka sayatan di wajahnya tertawa. “Lucu sekali. Harusnya aku yang bertanya, siapa kalian ini? Berani-beraninya memasuki daerah kekuasaanku.”“Kami adalah para Penjaga dari desa Jamahitpa,” jawab Wrahaspati. &l
Baca selengkapnya
35. Tiga Kanibal
Seonggok tubuh tanpa kepala tergeletak di hadapan tiga orang laki-laki. Masing-masing dari mereka menunggangi hewan berkaki dua, berbulu lebat, bertaring tajam. Muriel, Behemoth, dan Mormo. Mereka bertiga adalah orang-orang yang paling ditakuti di daerah bebas. Mereka dijuluki “Tiga Kanibal”. Tiga Kanibal tak pernah segan-segan menghabisi nyawa orang-orang yang mereka temui. Mereka akan membunuh siapa saja, dan kemudian memakannya.Tepat di dekat tubuh tanpa kepala, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh. Wajahnya terbungkus rapat oleh darah merah. Seluruh bagian tubuhnya terasa kaku. Sedari tadi, kedua mata Gunawan tak lepas membelalak ke arah tiga lelaki yang kini berada tepat di depannya.Masih tergambar jelas di ingatan, pria berbadan kekar yang ia kejar sempat melancarkan serangan ke arah tiga lelaki penunggang hewan bertaring tajam. Akan tetapi, hanya dengan sekali tebas, kepala lelaki berbadan kekar itu terpisah dari tubuhnya, darah segar me
Baca selengkapnya
36. Kesepakatan
Dua orang laki-laki mengintip dari celah pintu baja berukuran mungil. Saking mungilnya, pintu itu hanya dapat dilewati oleh satu orang dengan posisi setengah berjongkok. Pintu itu pun telah di desain khusus agar dapat menyaru dengan berbatuan sekitar. Dari luar, siapa pun tak akan pernah menyangka, di sela-sela rimbunan semak belukar yang membelit kuat berbatuan besar, terdapat sebuah pintu mungil yang menjadi akses utama menuju ke sebuah lorong rahasia. “Bagaimana? Katan? Sakda?” seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari pintu bertanya. “Mereka masih berada di dekat pintu,” jawab Katan. “Sanna, gawat! Mereka menuju kemari,” Katan menahan pekik. Spontan, ia segera menutup celah kecil di bagian pintu. “Cepat. Taburkan serbuk ini,” Sanna memberikan perintah sembari menyerahkan satu bungkus kain berisikan serbuk pasir berwarna abu-abu. Secepatnya, serbuk di dalam kain itu dihamburkan ke arah pintu. Sekejap, butir-butir pasir memenuhi udara. Semua
Baca selengkapnya
37. Desa Podom
Setitik cahaya dari celah pintu baja kini berubah menjadi terang yang menyilaukan. Memenuhi setiap sudut penglihatan. Perlahan-lahan, satu per satu Penjaga dari kedua desa keluar dari pengapnya lorong rahasia. Marca menjadi manusia terakhir yang terbebas dari impitan lorong gelap. Kedua matanya menyipit, menghalau sengatan matahari yang tiba-tiba menghunjam nyalang. Pendar cahaya dari atas langit seakan menyebar langsung ke segala penjuru, menampakkan segala hal. Barisan awan menyerupai kapas menggantung di langit biru. Deretan bangunan berukuran besar terhampar di tanah lapang dengan atap berbentuk kerucut. Di depan, kerumunan manusia terlihat tengah mengadang jalan, tersenyum manis, menyambut kedatangan. Berada di posisi paling belakang, Wrahaspati mengembangkan cuping hidungnya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dengan tatapan sinis, ia mengerling ke arah samping. “Kau sungguh keterlaluan, Budak!” tukasnya. “Maaf, Tuan. Tapi mereka tak mengizinkanku untu
Baca selengkapnya
38. Persiapan Sebelum Keberangkatan
Seonggok kayu kering perlahan-lahan dilahap oleh kobaran api. Nyala api itu menjadi penerang sekaligus penghangat untuk udara malam. Langit berbintang menjadi latar yang menawan. Menaungi beberapa sosok lelaki yang tengah duduk menghampar mengitari api unggun.“Apa persiapan kalian sudah selesai?” Saloth bertanya kepada beberapa lelaki di sekitarnya. Ke arah api unggun, kedua tangannya terjulur dengan telapak membuka.Wakaru mengangguk. “Semua senjata, obat-obatan, dan beberapa makanan sudah kami persiapkan.”Sejenak, Saloth mengangkat kepala. Memandang lamat-lamat langit berbintang. Menarik napas dalam-dalam. “Perjalanan kalian nantinya akan sangat panjang. Lawan kalian juga tidak akan mudah. Dengan bergabungnya para Penjaga dari desa Jamahitpa, semoga kalian dan mereka, benar-benar bisa sampai ke Istana Kerajaan dengan selamat.”“Wakaru,” Katan setengah berseru. “Ada yang menguping.”Wak
Baca selengkapnya
39. Cerita Masa Lalu
Kedua mata indah itu tak lepas mengamati langit berbintang. Suara debur ombak yang sama. Kesiur angin yang sama sekali tak jauh beda. Suasana itu tak berubah sedikit pun, namun tetap terasa kurang. Ada sosok penting yang tiba-tiba hilang.Sebulir air mata jatuh. Buru-buru Kuja menghapus dengan tangan. Tak ia biarkan siapa pun tahu tentang kesedihannya. Cukup ia, dan malam yang terlampau datang lebih awal.Tanpa diminta dan diduga, Seorang lelaki bertubuh gempal datang mendekat. “Apa kau sudah menemui ibumu?” tanya Luca sembari berdiri. Pandangan matanya seketika menyapu ke langit malam.Kuja bergeming. Beberapa hari bersama lelaki itu, tak perlu lagi ia menoleh untuk melihat sosoknya, mendengar suara langkah kakinya saja, ia tahu, Kepala Suku akan mengganggu keheningan malam yang mulai nyaman ia rasakan.“Sudah,” jawab Kuja, datar. Sungguh, ia sedang tak ingin diganggu.Luca berkacak pinggang. “Kau seharusnya tahu, ibu
Baca selengkapnya
40. Kehangatan Sebuah Desa
Kepulan asap membubung naik. Riak air itu kini tak lagi bergerak tenang. Bergetar. Berguncang. Beberapa letupan kecil semakin bertambah seiring dengan waktu yang terus berjalan. Tak lama, air di dalam belanga itu pun akhirnya mendidih sempurna. Bergegas, dua orang perempuan langsung memasukkan beberapa jenis sayuran sekaligus. “Ini adalah tempat yang biasa kami gunakan untuk memasak,” kata Wakaru, menjelaskan. Ia dan rombongan baru saja tiba di sebuah bangunan yang tingginya hampir menyentuh langit. Di dalam bangunan itu, beberapa orang perempuan tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Sebagian besar perempuan di desa ini sehari-sehari memang bertugas untuk membuat berbagai macam makanan.” “Kapan jamuan besarnya akan dimulai?” tak sabar, Wrahaspati langsung menginterupsi. “Tunggu sebentar, Kawan. Kau bisa lihat sendiri, kan, semua perempuan yang ada di sini masih sibuk memasak.” Wrahaspati mengerucutkan bibirnya. Ada kesal yang begitu kentara. “O
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status