All Chapters of MADU SATU MERTUA: Chapter 11 - Chapter 20
181 Chapters
POV DANANG
POV DANANG Rasti, sesosok gadis lugu yang aku kenal karena Bapak membawanya ke rumah saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan. Kala itu, ia yang masih duduk di bangku kuliah, datang dengan wajah yang kosong. Aku paham akan hal itu. Karena tidak udah berada dalam posisinya yang harus menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Usiaku dan Rasti terpaut empat tahun. Pertemuan pertama dengannya menghadirkan rasa kasihan yang teramat dalam. Wajah Rasti yang manis dan lugu, membuat hati ini begitu terluka kala memandangnya. Kala itu, aku sudah bekerja di showroom mobil yang Bapak dirikan sejak beberapa bulan. Latar belakang pendidikanku yang mengambil jurusan ekonomi, dirasa Bapak cukup cocok untuk terjun dalam bisnis yang tengah digeluti. “Rasti, dia anak teman Bapak yang meninggal. Ia akan tinggal di sini bersama kita. Karena, Rasti sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Di
Read more
Bab 12
POV RASTI Mas Danang menatapku sayu. Aku tersenyum seraya mengangguk. Senyum yang aku paksakan. “Nang, nanti kalau Yasmin nangis, kamu antar ke sini, ya? Sekalian, Ibu pengin ditemani Firna sebentar saja.” Ucapan Ibu lagi-lagi ingin menegaskan, kalau aku tidak punya tempat di hatinya. Mengapa wanita itu berubah seketika? Dulu, meskipun lebih menyayangi Firna, sikap Ibu masih ramah terhadapku. “Iya, Nang. Bapak juga pengin ketemu sama Yasmin,” timpal Bapak mertua. Tidak ada nama anakku disebut di sana. Fix. Pernikahan yang bagi Mas Danang hanyalah sebuah formalitas belaka, nyatanya kedua orang tuanya menganggap itu sesuatu yang membahagiakan. Tiada yang lebih menyakitkan daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai seakan dianggap milik wanita lain. “Baik, Bu. Tapi, aku juga akan mengajak Nadine, Raline,
Read more
Bagian 13
Mas Danang berusaha mengikuti dan merangkul pundakku.   “Tinggalkan motor kamu di sini, kita pulang sama-sama,” kata Mas Danang saat kami telah berada di tempat parkir.   “Pulang ke rumah Ibu, Mas,” ujarku menolak.   Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Mas Danang mengalah. Aku menaiki mobilnya dan meluncur menuju rumah dimana Firna, maduku tinggal.   Menginjakkan kaki di teras rumah yang megah itu rasanya seperti kesemutan. Hati juga berdegup kencang. Andai pernikahan Mas Danang terjadi tanpa sepengetahuanku, tentulah aku akan segera masuk dan menjambak rambut wanita berkulit putih itu. Bukan tanpa sebab, hari ini aku memaksa ke rumah ini. Entahlah, seakan ada bisikan yang mendorong untuk aku melakukannya.   “Ayo, masuklah,” ajak Mas Danang seraya mengamit lenganku. Aku tersenyum dan mengangguk. Sebesar apapun rasa amarah dan benciku terhadap Firna saat ini, aku harus
Read more
Bagian 14
“Ras, sudah belum?” Teriakan dari Mas Danang membuat aku kaget. “Eh, iya, Mas. Aku lagi cari yang  pas,” jawabku seraya ikut berteriak. Tangan ini lalu berpindah ke bagian paling atas, dimana ada tumpukan kaus dan juga baju-baju Bapak. Aku tertarik mengambil yang paling bawah. Lalu menariknya. Dan di saat bersamaan, sebuah stofmap jatuh. Dengan tangan bergetar, aku mengambil benda berwarna biru yang sudah sangat usang. Benda itu sepertinya sudah lama. Warnanya sudah memudar. Tertera sebuah tulisan di bagian depan dengan huruf capital, sertifikat showroom. Dengan cepat, aku membukanya, dan dalam kertas itu tertera nama pemiliknya. Rusdi. Deg. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Nama itu nama bapakku yang telah tiada. Ekor mata ini mencari alamat dari tempat yang dimaksudkan. Dan lagi, jantungku seperti dihantam sebuah benda keras. Alamat yang terte
Read more
Bagian 15
“Eyang …,” teriak Yasmin kala melihat Pak Har berada di parkiran menyambut kedatangan kami. Aku begitu malas menyebutnya Bapak lagi. “Yahh, cucu Eyang Kung, gak ketemu baru sehari saja sudah kangen,” ucap lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih dengan gembira. Diraihnya tubuh kecil Yasmin dan mengangkat tinggi sekali. Sehingga anak itu menjerit-jerit kegirangan. “Eyang, Eyang Kung, aku takut,” ucapnya diiringi derai tawa yang membuatku iri. Kulirik kedua anakku tersenyum lebar, melihat kakek mereka memperlakukan adik sepupunya sedemikian rupa. “Ayo, salim sama Eyang Kung,” ucap Mas Danang pada mereka. Nadine dan raline maju beberapa langkah, menuju kakeknya berada. Keduanya kompak mengulurkan tangan. Namun, bapak dari ayah mereka tetap saja dengan posisi mengangkat tubuh Yasmin. Bahkan, kali ini seraya
Read more
Bagian 16
Aku bangkit, mencari Nadine dan Raline, mengajak mereka untuk mkembali ke tempat dimana kami dan ayahnya berpisah. Dalam jarak beberapa meter, kulihat Mas danang dan Firna sudah menunggu di sana. Dan pemandangan tidak enak, terpampang di hadapan. Firna tengah mengambil sesuatu di rambut suamiku. “Mas!” seruku membuat mereka kaget. “Eh, Rasti. Dari mana saja, aku menunggumu di sini?” tanya Mas Danang gugup. “Kenapa tidak mencariku? Kamu tahu bukan, tempat dimana aku biasa menunggu kamu saat kita berkunjung ke rumah sakit?” tanyaku ketus. “Taman?” Mas Danang bertanya balik. “Itu tahu. Atau sengaja?” tanyaku menuduh. “Mbak, maaf, Tadi ada semut di rambut Mas Danang.” Firna ikut menyahut. Terdengar langkah kaki berlari. “Bun
Read more
Bagian 17
“Rasti. Namaku Rasti,” tegasku.   “Oh, maaf, Rasti. Aku hanya ….”   “Hanya memikirkan Firna,” tukasku. Kupindahkan badan ini, duduk di samaping pria yang telah memberiku dua orang anak itu.   Mas Danang merubah raut mukanya. Kali ini tidak sedingin tadi.   “Apa yang Ibu minta?” Kuulang pertanyaanku. “Kamu harus meniduri Firna?”   “Rasti!”   “Oh, syukurlah, namaku tidak berganti menjadi Firna. Apa lagi selain itu, Mas? Inti dari sebuah pernikahan adalah melakukan hubungan. Kamu menidurinya?”   “Rasti! Kamu keterlaluan. Itu pertanyaan yang terlalu fulgar.”   “Baiklah, aku bertanya hal lain saja. Apakah Mas mengenal orang tuaku sebelum meninggal? Atau, Pak Har, maksud aku, Bapak, mengenal bapakku dulu?”   “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?” Kulihat ekspresi kaget di wajah Mas Danang.
Read more
Bagian 18
Kulajukan kendaraan roda dua matic menyusuri jalan yang penuh kenangan. Hingga tak kuat menahan sebuah sesak yang aku rasa, motor kutepikan. Aku kembali menelungkupkan kepala di atas kemudi. Ada sebuah sesal, mengapa aku dulu begitu mudahnya pergi, mengikuti seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya serta asal usulnya. Setiap jengkal tanah yang aku lewati selalu terlihat kenangan semasa aku masih menjadi sosok yang sangat beruntung. Beberapa pohon yang berdiri di sepanjang jalan mengingatkanku pada saat aku masih berjalan bersama beberapa teman ketika berangkat ataupun pulang sekolah. Iya, jalan kaki. Karena sekolah kami terletak di jalan besar sebelum masuk jalan gang menuju komplek rumah tempat aku tinggal. Dulu, saat bulan puasa, kami sering berteduh di bawahnya. Bukan karena lelah, hanya mengulur waktu sampai di rumah. Teman? Kemana mereka semua? Aku suda
Read more
Bagian 19
Maryam berlari ke dalam dan memberitahukan akan kedatanganku dengan suara yang sangat keras. Bik Sum sontak kaget, dan berlari tergopoh. Wanita yang aku perkirakan umurnya telah melewati enam puluh tahun itu menangis seketika saat melihatku berada di depannya. “Ya Allah, rasti. Rasti, ini benarkah kamu? Rasti kamu kemana saja? Kenapa menghilang?” tanya Bik Sum bertubi-tubi setelah memelukku erat sekali. Untuk sejenak, aku menikmati rasa damai ini. Telah lama aku tidak merasakan pelukan hangat dari seorang keluarga. Karena setahuku, keluargaku hanyalah Bapak dan Ibu yang telah lama tiada. Kedua tanganku ikut mendekap tubuh Bik sum yang gempal. Bau bumbu dapur yang menguar dari tubuhnya sama sekali tidak aku hiraukan. Tak terasa, air mataku kembali tumpah. Meski taka da ikatan darah, mereka adalah orang dekat keluargaku yang aku miliki. “Ayo, masuk. Bik Sum bau, ya? Maaf, ya? Bik Sum sangat bahagia meliha
Read more
Bagian 20
“Kamu yakin, Mar?” tanyaku memastikan. “Iya, Mbak. Aku selalu mengawasi rumah Mbak Rasti setelah Mbak pergi. Aku selalu berharap, orang yang datang, itu adalah Mbak Rasti. Meskipun kita tidak akrab, tapi aku sangat menyayangi ibu Mbak Rasti yang sudah baik banget sama aku. Sering kok, Mbak, orang itu sama istrinya datang,” jelas Maryam membuatku sangat sedih. Sedih karena penjelasan Maryam dan juga kenyataan lain, mertua yang aku kira sebagai penolong, ternyatadia telah membohongi aku sesuatu hal. “Rumah kamu sudah disita pihak bank. Jadi, tinggallah di sini.” Ucapan Pak Har kala itu kembali terngiang di telinga ini. Aku memang bodoh. Mengapa tidak mencari tahu perihal kematian mereka? Tentang apa saja yang mereka tinggalkan untukku? Rasa sedih akan kenangan indah dulu, serta trauma dengan orang-orang yang menyebut mereka rentenir, membuatku en
Read more
PREV
123456
...
19
DMCA.com Protection Status