All Chapters of MADU SATU MERTUA: Chapter 41 - Chapter 50
181 Chapters
Bagian 41
Danang tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Karena katanya kamu suka aku. Aku takut, kalau kamu menolak, nanti kamu nangis dan jadi ngambek gak mau sekolah,” ujarnya kemudian. “Mas Danang, iiiih ….” Firna berteriak khas seorang remaja yang kesal karena digoda. Wening dan Rianti yang kebetulan duduk di ruangan yang tidak jauh dengan mereka, saling melempar senyum bahagia. “Sudah mulai akrab sepertinya,” ujar Wening sembari berjingkat mengintip. “Iya, biarin aja, Mbak. Nanti kalau ketahuan jadi malu,” sahut Rianti. Hari-hari setelahnya, Danang kerap diminta menjemput Firna ke sekolah. Ingin rasanya menolak, tetapi ia selalu kasihan saat mengingat wajah polois Firna. “Dia itu pantasnya dijodohkan sama Adrian,” ujar Danang suatu malam, saat ia dan orang tuanya bersantai di ruang ke
Read more
Bagian 42 (POV FIRNA)
 POV FIRNA Aku menyukainya sejak pertama kali kami berjumpa. Meski kutahu, ia pemuda yang sudah dewasa, tapi entah kenapa, aku merasa jatuh hati. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Ia yang aku kagumi ternyata sosok yang akan dijodohkan denganku. “Jika kamu mau, orang tua Danang mau ke sini untuk ya, sekadar menjalin kesepakatan di depan kalian berdua.” Begitu kata Papa suatu malam saat kami selesai makan. Hati ini berbunga dan penuh kebahagiaan. Namun, aku menyembunyikannya di hadapan Mama dan Papa, serta adik semata wayangku yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima. Dia cowok yang jahil dan hobi menggoda. Ole karenanya, aku tidak ingin menunjukkan senyum malu-ku di depannya. Kjepala ini tertunduk seraya mengangguk. Saat mendongak, kulihat senyum Mama penuh godaan. “Mama tahu, kamu suka sama Danang,” ujarnya saat masuk ke kamarku, setelah acar
Read more
Bagian 43 (POV FIRNA)
Selepas SMA, aku memutuskan untuk kuliah. Hal ini tentu ditertawakan kawan-kawanku. Dan aku, hanya menanggapiu dengan senyum. Senyuman yang mengungkapkan kepedihan karena cintaku harus kandas. Pak Hartono tentu tidak setuju dengan keputusan anak sulungnya. Ia tetap memaksa, bahwa suatu hari, kami harus berdiri di pelaminan. “Jangan sedih, Sayang. Danang bilang ingin seorang wanita yang dewasa. Kamu harus menjadi dewasa dulu, Ibu yakin, dia pasti mau sama kamu,” ujar ibu Mas Danang yang sudah mengajariku memanggil sebutan ibu sejak dulu—mencoba memberikan wejangan. Hati berusaha menepis rasa itu. Tapi yang terjadi, aku semakin terluka. Sikapnya yang lemnut, tutur bahasa yang santun dan senyumannya, tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan ini. “Anak kecil itu harus belajar yang rajin, jangan malah pengin nikah,” kelakar yang sering kali ia ucapkan saat kami sering jalan
Read more
Bagian 44
“Kamu tidak pulang, Mas?” tanya Firna saat malam hari ia sudah bisa duduk di atas bed-nya. “Tidak. Aku akan menjagamu di sini,” jawab Danang. Ia masih mengenakan kaus dan celana jeans yang sama dengan yang ia pakai saat pagi. “Pulanglah, Mas! Aku bisa di sini sendirian,” ujar Firna lagi. “Mana ada orang sakit sendirian, Fir?” tanya Danang. Matanya masih menatap layar televisi yang menempel pada dinding. “Ada. Orang yang sakit hati,” kelakar Firna. Danang hanya melirik sekilas wanita yang sama-sama menonton tayangan televisi. “Firna, kenapa kamu menikah dengan aku?” tanyanya kemudian setelah beberapa menit saling diam. Giliran Firna yang menoleh pada Danang seraya berkata, “Siapa yang bisa menolak keinginan Ibu Wening, Mas?” tanya Firna balik. “Kamu p
Read more
Bagian 45
Rasti termenung seorang diri. Menatap jalanan depan rumah yang basah oleh air hujan. Ia duduk di teras, sembari menunggu sesuatu hal yang ia sudah yakin tidak akan datang. Malam telah larut, tapi ia memilih duduk di sana setelah kedua anaknya terlelap.   Ada banyak misteri yang harus ia pecahkan, dibalik lara hatinya mendapati kenyataan hidup dimadu. Maka mulai malam itu, perempuan dengan hidung mancung itu telah bertekad, untuk tetap kuat, demi mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh ayah mertuanya.   Rasti selama ini jarang memegang uang banyak. Ia berpikir kalau segala kebutuhan hidup telah ditanggung oleh Danang dan tidak pernah merasa sedikitpun kekurangan. Oleh karenanya, ia tidak pernah meminta uang untuk sekadar tabungan. Dan itu amat sangat ia sesali.   Diambilnya gawai yang ada di atas meja, dan mulai menekan nomer sahabatnya, Airini. Ia seolah lupa, bahwa waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan tem
Read more
Bagian 46
  Sepanjang perjalanan menuju rumah mertuanya, Rasti memikirkan alasan apa dan dengan cara apa ia akan mengambil benda berharga yang ada dalam lemari Wening. Dan hingga motor terparkir di halaman rumah besar milik keluarga Hartono, alasan itu tak kunjung ia dapatkan.   Sambil terus berharap dalam hati, ia akan menemukan celah masuk ke ruang pribadi milik orang tua sang suami, Rasti melangkah, menuju pintu yang terlihat terbuka.   Hanya ada Yasmin yang tengah bermain di ruang tamu bersama boneka-boneka kesayangan, saat kaki Rasti menginjak pintu rumah megah itu. “Yasmin kenapa sendiri?” tanya Rasti pada anak Firna. Meskipun agak sedikit sungkan, tapi ia mencoba untuk bersikap ramah.   “Iya, Eyang ke rumah sakit. Ngantar bajunya Pak Dhe Ayah,” jawab Yasmin polos. Rasti merasa terganggu dengan panggilan yang diucapkan anak Firna.   “Yasmin kenapa memanggil Pak Dhe seperti itu? Apa tidak sul
Read more
Bagian 47
Dengan langkah berdebar, Rasti menuju ruang tamu. Tempat dimana Yasmin berada. Urusan Mbok Sum sudah beres, ia tinggal memastikan, Yasmin keluar dari rumah. Meskipun masih kecil, bukan tidak mungkin, anak dari Firna itu akan mengadu pada eyangnya, kalau dirinya masuk ke kamar dari pemiliki rumah megah itu.   “Yasmin mau jajan?” Rasti memancing dengan pertanyaan itu.   “Mau. Tapi, Eyang gak kasih uang tadi,” jawab Yasmin jujur.   “Baiklah, ini Bu Dhe kasih uang buat jajan, ya? Kamu jajan sesuka hati kamu. Di warung depan saja, ya? Nyebrangnya hati-hati,” ujar Rasti seraya mengulurkan uang dua puluh ribuan. Anak kecil itu bersorak girang. Dan langsung berlari meninggalkan kamar.   Degup jantung Rasti terasa semakin kencang, manakala ia mulai melangkah menuju kamar yang berhadapan dengan ruang keluarga. Pintu kamar yang tinggi tertutup rapat. Dalam hati berharap, kamarnya tidak terkunci. Namun, harapann
Read more
Bagian 48
  “Jika aku ke sana, apa bapak kamu mau berbicara semuanya sama aku?” tanya Rasti setelah sekian lama terdiam.   “Mungkin saja, Mbak, coba saja,” jawab Huda acuh.   “Aku tahu, aku memang telah bersalah dengan percaya begitu saja orang-orang yang tiba-tiba datang. Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan aku, sudah memegang sesuatu yang sangat penting,” kata Rasti mencoba membuat Huda tak lagi menyalahkannya.   “Apa itu, Mbak?” tanya Huda penasaran. Kalimatnya sudah tidak seacuh yang tadi.   “Kamu tidak perlu tahu sekarang. Yang jelas, bila kamu memang kasihan sama mendiang bapakku, maka bantulah aku untuk menemui Pak Rano,”   “Tempat kerja Bapak itu jauh, Mbak. Harus naik pesawat, setelah itu, masih harus menempuh perjalanan berjam-jam,”   “Tidak masalah. Aku akan melakukannya,” tegas Rasti.  
Read more
Bagian 49
Firna yang masih duduk di atas bed dengan infus terpasang di lengan, hanya bisa mengikuti gerak-gerik lelaki yang sangat dicintainya itu melalui tatapan matanya. Sekalipun raga dan hati Danang tak bisa ia miliki, dirinya sudah cukup bahagia dengan hanya melihat senyum terukir di bibir kakak iparnya itu.   “Mas, suatu ketika nanti, saat aku sudah siap, aku akan mengatakan itu pada kamu,” ucap Firna dengan suara sedih.   “Apa maksdunya?” Danang yang sedang memasukkan baju ke dalam tas mendongak dan bertanya.   “Talak. Kau boleh mengucapkannya saat aku sudah benar-benar siap. Untuk saat ini, biarkanlah aku menjadi istri sirimu, istri rahasiamu, yang hanya bahagia melihat kamu tersenyum untukku.”   Danang bangkit dari posisi berjongkok, berdiri di samping Firna lalu berkata, “aku akan doakan kamu bertemu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya. Yang mencintai kamu dan kamu pun mencintainya.  
Read more
Bagian 50
“Kalian di sini ternyata. Papa panggil tidak ada yang menyahut,” ucap Danang saat menemukan yang dicari berada di dalam kamar. “Papa kenapa baru pulang?” si Kecil Raline bertanya. “Maaf, Papa habis—“ Danang berhenti memberikan penjelasan. Karena ia tahu, jika ditersukan akan menyakiti hati Rasti. “Kalian sedang apa di sini?” sambungnya lagi. “sedang bermain, Papa,” jawab Raline yang belum paham apa yang terjadi. “Kakak kenapa diam? Tidak kangen sama Papa?” tanya Danang pada Nadine. Anak sulungnya itu menggeleng lemah. “Mama?” Tatapan danang kini beralih pada istri pertamanya. “Mandilah! Jika belum makan, masih ada makanan di meja” Rasti menjawab dingin. Danang sadar dan memahami, bila ia diperlakukan sedemikian cuek oleh ketiga orang yang
Read more
PREV
1
...
34567
...
19
DMCA.com Protection Status