All Chapters of Keris Bunga Bangkai: Chapter 51 - Chapter 60
197 Chapters
51 - Apa Yang Kau Inginkan
Malam itu juga, Panglima Abimana mengumumkan pada prajuritnya tetang bergabungnya sisa-sisa dari Panji Keris Bertuah ke dalam pasukannya. Mereka menyambut berita itu dengan suka cita bersamaan dengan keberhasilan mereka merebut kembali Benteng Watukalis.   Kemudian Panglima Abimana menghampiri keenam pendekar tangguh itu, menyampaikan ucapan selamatnya secara pribadi.     “Tapi sugguh sangat disayangkan, teman kalian yang bernama Yasa itu menolak tawaranku,” ujar Abimana di tengah-tengah suka cita mereka.     Hal itu langsung membuat mereka tersekat, bahkan ada yang tersedak ketika sedang minum. Abimana sama sekali tidak tahu bahwa Yasa membuat keputusan itu tanpa memberi tahu yang lainnya. Dia pun pergi meninggalkan enam orang pendekar itu tanpa menyadari hal itu.   Lindo Aji langsung menaruh kembali kendi minumannya, tak bisa lagi menikmati pesta tersebut. Tanpa berkata ap
Read more
52 - Impian Mergo
Sudah beberapa hari dia belum makan apa-apa, ataupun minum. Sejauh ini dia bertahan tergerak oleh hasratnya untuk bertahan hidup. Sekarang dengan tubuh yang begitu lemah, Mergo masih saja memaksakan diri untuk mendaki gunung tersebut. Sementara itu, sosok misterius itu selalu mengikuti, dengan wajah polosnya terus saja menanyakan hal yang sama padanya.  “Apa yang kau inginkan?” “Apa yang menggerakkanmu?” “Mengapa kau bersikeras mendaki gunung ini?” “Tidak kah kau lapar ataupun haus?”  Namun Mergo diam saja. Dia sudah yakin sosok itu tahu apa yang sedang dia lakukan, dan dia juga tahu sosok itu hanya mencoba mengalihkan perhatiannya.  “Kau lihat anjing-anjing hutan itu? Mereka masih mengikutimu. Kenapa tidak kau kuliti saja mereka dan memakan dagin
Read more
53 - Pertempuran Yang Tak Berujung
Keinginan dan hasrat manusia memang tak pernah ada habisnya. Ada yang berusaha memenuhinya dengan cara yang menurutnya mulia. Ada juga yang harus merenggut impian orang lain untuk memenuhi ambisi pribadinya, dan itu pun sering kali dinilainya masih mulia, menurutnya.   Sudah ratusan tahun, tak terhitung jumlah nyawa yang sudah dikorbankan. Perang dan pembantaian silih berganti memakan ribuan nyawa.   Ada yang berkorban demi kehormatan. Ada yang berkorban, mengambil resiko demi mengangkat harkat dan martabat keluarga. Ada yang gugur demi memastikan kebahagian dari orang-orang yang berarti untuknya.   Namun satu hal yang berlaku sama untuk mereka semua, semuanya mati dalam satu misi pemenuhan ambisi seorang raja.     “Pertahankan barisan kalian. Jangan gentar!”     “Musuh tak akan mengasihani kalian meski kalian memohon.”    
Read more
54 - Menjadi Lebih Kuat
Setelah perperangan yang terjadi di siang hari, tempat itu kembali digenangi oleh darah dan potongan-potongan tubuh para dedemit. Memang jumlah mereka tak sebanyak yang sebelumnya dia temui di rumah Waradana, dan Rangkahasa pun menggunakan itu sebagai objek latihannya. Rangkahasa tahu bahwa dia tak bisa sepenuhnya menghindar dari kondisi seperti itu. Mau tak mau, dia harus membiasakan diri dan berusaha menjadi lebih kuat. Dia senantiasa bergerak, namun selalu berusaha untuk mengurangi gerak-gerakan yang tak berguna. Setiap kali pedang itu diayunkannya, potongan lengan para dedemit berterbangan di mana-mana. Karena tahu jumlah mereka tak terlalu ramai, Rangkahasa tidak langsung membunuh mereka.  “Cepatlah berdiri,” bukankah aku yang kalian inginkan?” serunya lirih menunggu para dedemit itu kembali bangkit.  Karena terlalu sibuk bermain dengan para dedemit it
Read more
55 - Hanya Bocah Gelandangan
Rangkahasa hanya bisa menatapnya, tak berani mengintimidasi ataupun mengusirnya. Dia berjalan pelan ke arah kanan mencoba menghindar, dan harimau itu masih diam saja menatap ke mana dia berjalan. Begitu sampai di bawah pohon itu, dia menuruni tanah yang sedikit miring dan tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan tersandar pada batang pohon. Ada sedikit lubang yang menjorok ke dalam di bagian pangkal pohon tersebut. Rangkahasa pun merangkak ke sana dan kemudian tertidur di dalamnya. Tanpa disadarinya, harimau itu datang menghampiri. Harimau itu berdiri di depannya, hanya diam saja. Sesaat kemudian, harimau itu mendekat dan menggulung tubuhnya di dalam lubang tersebut dan ikut tidur di sebelah Rangkahasa. Esok paginya, prajurit dari kerajaan Telunggung keluar dari benteng mereka dan mulai sibuk membereskan mayat dari rekan mereka yang gugur.  “Apa-apaan ini?” tanya salah seorang dari m
Read more
56 - Mata-mata Dari Marajaya
Prajurit yang lainnya pun histeris karena orang yang mereka anggap hanya bocah gelandangan biasa tiba-tiba saja memotong tangan temannya. “Wisnu!” teriak salah seorang dari mereka datang menghampiri. Satu prajurit itu masih menjerit menangis memegangi tangannya yang terpotong, terduduk bersandar pada temannya yang baru saja datang menyambutnya. Sementara itu, empat prajurit lainnya terlihat murka. Mereka sama sekali tidak melihat dengan jelas apa yang baru saja dilakukan Rangkahasa. Namun kucuran darah di lengan teman mereka itu, sudah cukup menyulut kemarahan mereka. “Apa yang telah kau lakukan, bangsat?!” “Dasar, bocah setan!” Mereka langsung datang sembari mengangkat golok mereka. Namun tiba-tiba nyali mereka ciut karena merasakan hawa membunuh yang begitu kuat mengintimidasi keluar dari remaja tersebut. Meski begitu, Rangkahasa terlihat seperti belum sepenuhnya sadar. Belum lama dia terlelap sesaat sebelum tumpukan mayat itu membangunkannya. Sekarang tubuhnya sedikit berayun
Read more
57 - Tanisha Ardhana
Setelah beberapa lama Rangkahasa tertidur di tempat yang teduh, tiba-tiba satu berkas cahaya dari pintu yang baru terbuka menerpa matanya. Dia pun terbangun, dengan kepala sedikit pusing mencoba mengamati kondisi di sekelilingnya.   Ketika dia hendak mengocek bola matanya, tahu-tahu kedua tangannya terikat. Begitu juga dengan kedua kakinya. Rangkahasa kaget dan bingung, mencoba bangkit dan mendapati dirinya berada dalam sebuah penjara berjeruji besi.     “Di mana? Bagiamana aku bisa sampai di sini?” gumamnya.     Dia mencoba menarik-narik rantai yang mengikat tangannya. Ketika sadar rantai itu tak mungkin bisa diputusnya, baru kemudian dia berteriak.     “Hoi, siapa yang membawaku ke sini? Segera lepaskan aku!” bentaknya.     Bam!!!     Tiba-tiba sesuatu menghantam jeruji penjara tersebut.
Read more
58 - Gembala Yang Tersesat
Rangkahasa menjauhkan wajahnya, kemudian melirik ke sekeliling mencari pedang hitam Damaskus miliknya. Putri tersebut mulai sibuk mengikuti lirikan Rangkahasa ke sana ke mari. Hingga tiba-tiba perut Rangkahasa berbunyi karena belum makan seharian.   Putri itu menutup mulutnya sembari tertawa.     “Apa kau ingin makan?” tanyanya kembali mendekatkan wajahnya begitu dekat ke arah Rangkahasa.     Rangkahasa mendorongnya menjauh, dan langsung beranjak dari dipan tersebut.     “Di mana kalian sembunyikan pedangku?” tanyanya.     Putri itu kembali memasang wajah polosnya, memperlihatkan gelagat kalau dia sama sekali tak tahu soal itu. Hal itu membuat Rangkahasa semakin jengkel, namun tak tahu juga harus berbuat apa.   Putri itu berdiri, dan kembali mendekatkan dirinya. Lagi-lagi Rangkahasa menjauhkan wajahnya, mera
Read more
59 - Obsesi Aneh Putri Tanisha
Namun Rangkahasa sama sekali tak begitu tertarik untuk berurusan dengan orang-orang yang berada di dalam tenda tersebut. Dia hanya memikirkan pedang hitam Damaskus miliknya.  “Apa kau yang bernama Bhadra?” tanya Rangkasa pada laki-laki tersebut.  Laki-laki itu mengernyitkan dahinya, sedikit terkejut melihat lantangnya cara Rangkahasa berbicara padanya.  “Bukan. Aku adalah Senopati Bayantika. Aku dan Bhadra yang membawamu ke tempat ini. Tapi Bhadra saat ini sedang tidak ada di perkemahan. Ada apa kau mencari dia?” balas Senopati tersebut bertanya.  “Aku hanya ingin mencari pedangku,” balas Rangkahasa.  Namun sesaat kemudian, dia menemukan pedang hitam damaskusnya tersandar tak jauh dari tempat laki-laki itu duduk. Rangkahasa langsung bergegas mengambilnya. Seiring berjalan menghamp
Read more
60 - Kembali Menjadi Prajurit Bayaran
Ganendra hanya mengusap-usap kepalanya mengikuti Panglima Danadyaksa dari belakang, sama sekali tak bisa membantah hal tersebut.  “Pada hal aku tidak begitu keras menendangnya, tapi anak itu sama sekali tak bisa mengelak, tak juga kuat menahan tendanganku,” jelas Senopati Ganendra.  Namun Senopati Bayantika tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, seakan dia mengatakan bahwa Ganendra telah salah memahami sesuatu.  “Apa kau tak sadar, dia sengaja menerima tendanganmu sembari melompat ke arah luar tenda,” sanggahnya.  “Maksud Kangmas bagaimana? Apa dia bermaksud meremehkanku dan menganggap tendanganku bukan apa-apa?” tanya Ganendra bingung.  Senopati Bayantika terus saja tersenyum hingga dia kembali duduk di dekat hamparan peta di dalam tenda tersebut. “
Read more
PREV
1
...
45678
...
20
DMCA.com Protection Status