All Chapters of GAIRAH ISTRI LIAR : Chapter 11 - Chapter 20
88 Chapters
Part 11
Mataku menatap sinis kepadanya. "Kau bicara apa?" tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari."Kau sudah mendengar pertanyaanku.""Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?""Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?""Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.""Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.""Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.""Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?""Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.""Oke! Ini sudah sangat cepat.""Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?""Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.""Terserah kau saja.".Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawak
Read more
Part 12
 Aku kembali ke rumah setelah selesai mengambil video. Dengan perut kekenyangan, karena harus menghabiskan semua makanan. Damn! Rasanya ingin memuntahkan semua yang ada. Membayangkannya saja membuatku ingin berhenti makan dalam waktu seminggu. Aku baru saja turun dari mobil, saat melihat Sifa baru saja melepas sepatunya di teras rumah. Masih dengan seragam sekolah yang dipakainya pagi tadi. "Kau baru pulang?" Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam lima."Iya, tadi jenguk Ara di rumah sakit.""Ara?"."Seperti biasanya aku mengentakkan bokongku ke kursi bambunya. Pasiennya baru saja pergi. Kurasa dia kedatangan banyak pelanggan hari ini, melihat banyaknya sisa potongan rambut di tempat sampah. Dia mengambil posisi di sebelahku. Mengapit rokok di sela bibirnya, kemudian menyulutnya dengan api. Mataku berkedip-kedip memandangnya."Apa?" sinisnya. "Aku mau.""Kau tida
Read more
Part 13
 Ada masalah apa?" tanyanya lagi. "Cepatlah. Aku tunggu di mobil."Tak butuh waktu lama untuk ia membereskan kiosnya. Hanya menyusun beberapa barang, dan meletakkan kantong sampah di luar. Esok hari, akan ada yang memungutnya. Sebentar saja, dia langsung masuk ke bangku kemudi. Lalu diam, dan membiarkan aku sedikit menenangkan diri.Aku memejamkan mata sambil bersandar. Kupikir setelah menikah dan menghilang dari rumah itu, tak ada satu pun lagi masalah yang mengganggu. Namun kenyataannya, Mama membenci Kahfi dan keluarganya. Itu sangat menyakitkan. Aku benar-benar tak rela, suami pilihanku diperlakukan seperti itu. "Erik menghubungimu?”"No.""Papa?""No.""Apa yang mengganggu pikiranmu?""Entahlah. Jalan saja. Aku benar-benar butuh minuman."Mobil kembali melaju membelah malam. Jalanan masih terlihat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang, meski tak sepadat saat siang. Kali ini dia
Read more
Part 14
 Kami kembali berjalan melewati jalan yang kulalui tadi. Cukup jauh, dan dia kini berbalik arah sambil membawaku sebagai bebannya. "Kau pasti lelah, selalu saja melakukan ini kepadaku. Aku selalu saja merepotkanmu, kan?" Aku berbicara tepat di telinganya. "Ini belum seberapa. Saat mabuk, perjalananmu bisa semakin jauh.""Dan kau masih kuat menggendongku seperti ini?""Kenapa? Kau ingin aku menghubungi Erik saja, dan menjemputmu pulang?""Cisis... hentikan itu.""Ada apa lagi? Kenapa kau menangis?"Aku kembali terisak. Kali ini dengan menyandarkan kepalaku ke punggungnya. "Mama meneleponku tadi.""Lalu?""Aku membencinya. Aku menyesal bicara padanya." Aku terus merengek. "Dia memarahimu karena kau menikahiku?""Kau sudah tahu?" Dia malah tertawa. "Semua orang tahu Mamamu tidak menyukai keluargaku. Kenapa mempermasalahkannya?""Kau tidak marah?"
Read more
Part 15
Apa yang kau katakan? Kita sudah pernah membahasnya," ucapnya dalam kegelapan. "Jujurlah. Apa yang tidak kutahu. Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" Aku masih tetap dalam posisi semula. Tak berani bergerak, atau berbalik memandangnya, meski kamar dalam keadaan remang dan minim cahaya. Aku takut dia melihatku menangis kali ini. Entah kenapa. "Sudah kubilang tak ada apa pun. Kenapa kau tiba-tiba bertanya?""Benarkah? Apa kau takut aku akan marah, jika mengetahui sesuatu di antara kalian?"Kurasa kini suaraku tampak berbeda. Oh, shit. Aku tak dapat lagi menahannya. Aku benci terlihat cengeng, hanya karena masalah ini. Dia bangkit dan menghidupkan lampu, lalu kembali mendekatiku. "Astaga, Key. Kau menangis lagi. Apa yang terjadi?" Dia menarikku untuk bangkit dan duduk menghadapnya. Mataku kini telah sembab oleh air mata. Dan aku tak tahu kenapa. Ada rasa sakit yang berbeda. Yang belum pernah
Read more
Part 16
"Kenapa kau menatapku?" bentak Elena kepada kakaknya. "Apa hanya dia saja yang berhak mendapat perhatian? Kau juga Erik. Kau begitu memujanya. Selalu saja membela dan terus memperhatikannya. Aku ini adikmu. Seharusnya kau lebih peduli padaku. Dia sering bertindak gila hanya ingin mencari perhatian saja. Lalu bagaimana dengan perasaanku?" Dia menangis menutup wajahnya. Menjijikkan. "Ell..." Mamanya mencoba mendekati untuk menyentuh bahunya. Namun kulihat dia menepisnya dengan kasar. "Mama sama saja. Tak pernah mengerti perasaanku. Yang Mama tahu hanya berusaha mengambil hati Key saja. Mama melupakan bahwa putri kandung Mama juga butuh perhatian." Dia semakin histeris.    Kisah apa ini? Siapa yang sekarang sedang menjadi korban?"Sudah selesai kalian semua?" Suara itu kini membuat kami semua menoleh. Di ambang pintu, Papa berdiri dengan wibawa yang selalu membuat lawan bicaranya menjadi segan dan begitu menghormatinya. Kecuali aku, te
Read more
Part 17
Aku langsung memandang wajahnya. Ingin melihat bagaimana ekspresinya saat mengucapkan kata-kata itu. Tak pernah selama ini dia melarangku berhubungan dengan lelaki mana pun. Tapi sekarang? Apa perasaan yang kualami saat ini juga mulai dirasakan olehnya?Oh, Tuhan. Apa kami sedang merasakan cemburu? Beginikah efek dari suatu ikatan pernikahan? Hal-hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan membuat kami bersikap gila. Itu sebabnya dia terlihat ketus, dan terkesan marah sejak menyusulku tadi. Kurasa hatiku mulai melunak. Bukan hanya aku yang sakit, rupanya. Dia juga sama. Seperti bagaimana aku mencurigainya dengan Elena, begitu juga dia menilaiku dengan Erik. Hanya mungkin, dia bisa bersikap sedikit lebih tenang. Aku menghela napas, mencoba meredam emosi yang nantinya bisa melebar kemana-mana. Aku terduduk di ranjang kecil itu, sambil mengalihkan pandangan darinya. Aku sungguh malu. "Kenapa diam? Apa yang akan kalia
Read more
Part 18
"Mama pergi, Fi. Dia sama sekali tak menyayangiku. Papa bahkan tak tahu saat anak-anak lain mengejekku. Mama memang jahat. Dia memang seperti yang orang-orang katakan. Aku benci Mama," rengekku saat itu, dengan linangan air mata. "Nanti juga kembali," sahutnya lembut. Saat itu dia masih memakai seragam SMA yang baru beberapa bulan dipakainya. "Kata Papa, Mama tidak akan kembali. Kalaupun kembali, mereka selalu saja bertengkar. Aku bosan. Mereka berdua selalu berucap kata-kata kasar. Mereka sama sekali tidak peduli, meski aku berteriak.""Tidak usah dipedulikan. Harusnya kau berada di dalam kamar saja. Kau bisa membaca buku atau belajar. Kalau nilaimu membaik, mungkin mereka akan lebih memperhatikanmu.""Papa bahkan tidak tahu, kalau hari ini aku menerima rapor. Bertanya pun tidak. Perhatian apanya?""Sudah, tidak apa-apa. Bukankah Ayahku sudah mengambilkan rapor untukmu?""Hm." Aku mengangguk. "Aku ingin menjadi anak Ayahmu saja.
Read more
Part 19
 Siang ini aku datang ke kios Kahfi membawakan makan siang. Memberikan senyuman kepada seorang wanita paruh baya yang sedang menunggui anak laki-lakinya memotong rambut. Aku meletakkan rantang yang sudah disiapkan Ibu mertua di atas meja kecil, di samping kursi bambu. Hari ini, dengan senang hati aku membantunya memasak. Meski hanya mengupas bawang dan memetik sayuran. Karena hal itu, aku jadi menuai banyak pujian dari para netizen, tentu saja karena aku melakukannya sambil melakukan live di akunku. Keren bukan? "Ayo makan!" Aku memeluk pinggang Kahfi dari belakang. "Haish...." Dia begitu terkejut hingga sisir yang dipegangnya terjatuh. "Apa yang kau lakukan?" Dia menggeram, dengan setengah berbisik. Aku melirik wanita itu dari pantulan cermin, matanya melotot sebentar, lalu berkedap-kedip melihat adegan kami. Bibirnya dimiringkan ke sana kemari. Aku tersenyum, dan memutar tubuh tanpa melepaskan suamiku. "
Read more
Part 20
"Di sini saja. Tak apa. Nanti pun Abang akan ceritakan juga padanya."Aku mengulas senyum. Not bad. Kahfi akhirnya bisa menghargai perasaanku.Gadis berkulit kuning langsat itu, melangkah dengan ragu. Lalu masuk sambil menyodorkan boneka itu. "Apa ini?" Suara khas Kahfi bertanya dengan nada heran. "Ara mau mengembalikan ini." Kulirik mata Kahfi yang sedikit terpejam. So, boneka itu dia yang berikan? Sialan. Sudah sejauh apa rupanya hubungan mereka?"Buat Ara saja. Kenapa dikembalikan?" "Tidak mau. Ara tidak mau lagi menyimpannya.""Tidak apa-apa. Sudah Abang berikan. Tak baik mengembalikan barang yang sudah diberi. Kalau tidak suka, Ara bisa berikan pada orang lain.""Tidak mau. Abang jahat. Ara benci sama Abang." Dia meletakkan boneka itu di pangkuan Kahfi, lalu berlari pergi. Sambil menangis tentunya. Hanya itu saja senjatanya. Coba saja kejar dia, Fi. Biar kupatahkan kakimu itu. Bitchi! 
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status