Semua Bab Jiwa Yang Tertukar: Bab 31 - Bab 40
57 Bab
Rahasia Apa Lagi?
Meskipun aku memintanya untuk bercerita, ia tetap bungkam seribu bahasa. Tak mungkin juga aku memaksa.  Entah apa yang membuat Mas Abraham berubah. "Sudahlah, jangan pedulikan aku. Kita jalani saja takdir masing-masing." Akhirnya Mas Abraham mau buka mulut. Sayangnya, apa yang barusan dikatakan seperti mengubah segalanya. Ia bicara seperlunya, melakukan aktifitas juga tanpa protes dan bicara. Benar-benar jadi sosok yang serius. Kami jadi tidak bisa saling mengolok atau juga saling berdebat. Aku bosan menghadapi situasi seperti ini. Hambar sekali rasanya. Seperti serumah dengan orang lain saja.  Kalau dulu rasanya nyesek, orang yang diharapkan jadi tumpuan hidup tidak memperhatikan istri. Kini perasaan itu tidak muncul. Mungkin karena ragaku laki-laki punya otoritas yang membuatku bisa mencari pengalihan kemana saja sehingga membuatku tidak tertekan. 
Baca selengkapnya
Gempa Kecil
"Merasakan apa?" tanya Mas Abraham bingung. Dia memang tidak peka sama sekali. "Itu, lihat!" kataku sambil menunjuk lampu yang bergerak-gerak. "Dengarkan ini!" Telunjukku mengarah ke kaca jendela. Tiba-tiba wajah Mas Abraham memucat seolah ketakutan. Hal itu membuatku makin panik. "Sepertinya perpindahan harus dimajukan lebih cepat lagi," ucap Mas Abraham. Aku tahu bencana sedang mengintai dan akan segera datang tapi, tolong jangan sekarang kami belum siap. Beberapa menit kemudian, getaran rumah ini sudah hilang. "Mungkin karena ada gunung merapi meletus di daerah lain," kataku menduga-duga. Kuharap gempa karena lapisan tanah daerah ini hanya dugaan salah semata. Sebab aku takut jika benar terjadi sedang kami belum pindah. Bayangan tanah merekah sehinga menimbulkan lubang panj
Baca selengkapnya
Mulai Pindah
"Itu nomor asing, tidak penting." "Dari mana engkau tahu kalau tidak penting? Bukankah lebih baik didengarkan dulu. Siapa tahu penting." "Sudahlah! Jangan mendebatku terus. Jika ada nomor tanpa nama jangan pernah mengangkatnya paham!" Mas Abraham tiba-tiba menjadi tegas. Aura lelakinya kembali muncul. Akan tetapi, mengapa aku jadi curiga. Sandainya tadi dia tak mengungkit rahasia yang disembunyikannya dariku mungkin aku tak akan menduga hal yang negatif. Aku benar-benar bingung atas tingkah lakunya.  Malam itu menyisakan sebuah tanda tanya besar yang entah kapan kudapatkan jawabannya. Rupanya nomor yang tadi masuk dihapus riwayat panggilannya dan mungkin juga bahkan diblokir. Kalau saja ada yang tahu cara mengembalikan riwayat panggilan pasti aku sudah minta tolong untuk mendapatkannya. Kemudian akan kucoba mencari tahu siapa dibalik nomor itu. Sayang sekali aku bukan ahli I
Baca selengkapnya
Perpisahan Sementara
Teeet! Teeet! Suara klakson mobil Pak Lurah kok gitu amat, ya. Kayak bel sekolah saja.  "Dek, ayo keluar!" teriakku. Di depan pagar rumah kami sudah terparkir mobil Apanja warna hitam mengkilat milik Pak Lurah.  Ngeeeng! Suara motor berhenti tepat di belakang mobil hitam. Eh, ternyata Pak Lurah mengantar sampai sini pakai motor. Sementara itu Koper dan barang-barang penting sudah kubawa keluar. Jadi Mas Abraham hanya membawa tas di pundaknya. Ia segera masuk ke dalam mobil saat aku sedang memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Isi mobil kuhitung ada  tujuh orang. Mataku melotot melihat istriku sudah ada di mobil. "Mengapa Maryam ditinggal lagi?!"  tanyaku sambil berteriak. Walau tak terlalu keras. "Eh, ya, Allah. Lupa lagi aku, Mas!" I
Baca selengkapnya
Makan Siang Bersama Muzakka
"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku sopan lewat ponsel yang kugenggam. "Jangan berlagak tak kenal!" hardik suara di ujung telepon. Saking kerasnya suara, aku sampai menjauhkan HP dari telinga. Galak bener dia. Sebenarnya Mas Abraham punya hubungan apa dengan mereka. "Aku mengalami kecelakaan hingga menyebabkan beberapa ingatan jangka pendekku hilang. Yang tersisa hanyalah ingatan masa lalu. Jadi wajar jika aku bertanya kamu siapa." "Kau pikir aku percaya setelah kemarin kau riject dan blokir nomorku." "Sudahlah beritahu padaku apa hubunganmu denganku.  Aku malas berdebat denganmu." Aku berkata untuk mempersingkat pembicaraan. "Kutunggu besok di kedai tambang kalau mau tahu apa yang kau lupa!" "Jam berapa?" "Jam empat sore." "Baiklah." "Jangan bawa siapa pun! Apalagi polisi!"
Baca selengkapnya
Orang Asing
"Saya juga tak tahu. Nomornya tidak tersimpan di ponsel," jawabku. "Kalau begitu nanti saya ikut." Muzakka dengan percaya diri mangajukan diri untuk menyertaiku. Hmm! Apa tidak mengapa mengajak Muzakka ke sana? Sementara penelepon asing memintaku untung datang sendiri. "Dia memintaku datang sendiri," ucapku padanya.  Aku tak ingin ia merasa ditolak. Sebab entah mengapa setelah menerima makan siang di rumahnya membuatku tak ingin mengecewakannya. "Oh, begitu, ya," ucapnya sedih. "Baiklah aku permisi!" pamitku. "Tunggu, saya sekalian ke masjid lagi saja. Toh, sebentar lagi akan azan Asar!" Ia berteriak lalu masuk ke rumah mengambil kunci motor. Mengapa Muzakka mau mengekoriku terus, sih. Aneh, rasanya. Apa dia tahu aku adalah Ulfa? Hah! Manalah mungkin? Atau memang sudah menjadi takdir jiwaku selalu menarik perhati
Baca selengkapnya
Dirawat Muzakka
Kuhempaskan rasa takut sejenak untuk menghimpun kekuatan sekedar bersuara. "Kalian mau apa!" teriakku lantang walau setelahnya gemetar hebat. Jantungku berpacu begitu cepat. "Kami mau memberikan pelajaran untuk orang serakah sepertimu!" Aku mundur beberapa langkah takut tentunya karena Ayah dulu tak pernah membekaliku ilmu bela diri. Dengan apa aku melawan? Apa harus lari? Percuma karena aku sedang dikepung. Tiba-tiba sebuah tendangan melesak ke arah dada. Aku terhuyung ke belakang dengan refleks memegangi bagian depanku, rasanya mau jebol. Selemah ini, aku. Untung ini fisik Mas Abraham sehingga tidak serapuh perempuan. Tendangan itu hanya permulaan sebab dari arah belakang sebuah pukulan telak mendarat tepat di bagian punggungku. Duh, Rabby, Al Qowiy wal Matin depan, belakang tubuhku kena hatam. Kalau bukan Engkau yang menciptakan aku, mungkin sudah remuk tubuh ini. 
Baca selengkapnya
Benarkah Pak Lurah Tahu
"Pak Lurah sudah saya telepon, beliau sedang menuju kemari!" Abi Muzakka tiba-tiba muncul di pintu memberitahu kepada kami. Seketika aku dan Muzakka menoleh, hampir saja kepala kami berbenturan.Lalu kami saling berpandangan dan saling tersenyum karena tadi tak sengaja. Melihat senyumnya seketika otakku mengalami error 404. Blank! "Pak! ..., Pak Carik! Apa ada yang dipikirkan?" tanya Abi Muzakka yang mengibaskan telapak tangannya tepat di depan mukaku. Dengan reflek aku mengerjapkan mata dan menutup mulut yang tak kusadari tadi menganga karena takjub  dengan senyuman Muzakka tadi. "Ya, Ada apa, ya?" "Pak Carik tadi kenapa? Tiba-tiba seperti patung mangap." Muzakka bertanya seolah menegurku. "Ah, tidak ada apa-apa. Kaget saja abimu tahu-tahu muncul," jawabku sekenanya. "Masak karena saya?" tanya Abi Muzakka dengan kerlingan mat
Baca selengkapnya
Bermalam di Rumah Mantan
Pukul delapan malam aku bangkit dari tempat tidur, berniat hendak pamitan kepada keluarga Muzakka. Aku yakin mereka tak meyuruhku pulang karena segan. Jadi sudah semestinya, akulah yang harus punya inisiatif sendiri untuk pergi dari sini.Terdengar suara mereka sedang bercakap-cakap di ruang tengah di mana letak televisi rumah ini berada.Semakin dekat langkahku semakin terdengar percakapan mereka."Memangnya Arina yang minta maskawin itu, Zak?""Bukan dia, Mi. Tapi, inisiatif dariku sendiri." Suara Muzakka menjawab pertanyaan Uminya."Kamu tidak bertanya apa yang dia inginkan?" tanya uminya lagi."Tidak. Dia juga tidak memberitahu barang yang dia inginkan sebagai maskawin, Mi.""Coba tanya dulu. Jangan-jangan dia menginginkan sesuatu, tapi tak mau memberatkanmu.""Iya, Mi. Besok Insyaallah."Karena percakapan mereka terdengar sudah selesai, maka aku memberanikan diri muncul di hadapan mereka."Pak Ca
Baca selengkapnya
Kado Masa Lalu
"Maksudnya, Mas?" Muzakka mengernyitkan dahi. Kubiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Biar dia menebak. "Kalau ngomong yang tuntas. Jangan biarkan saya menebak-nebak kenapa?" Ia bertanya lagi karena tadi aku enggan menjawab. Baiklah, karena ia tak suka main tebak-tebakan maka terpaksa kujelaskan padanya. "Maksudku, kau benar, memang sisa masa lalu harus segera disingkirkan agar tak melukai pasangan," jelasku padanya. Lelaki itu tersenyum.  "Mas Abraham apa tidak pernah cemburu kalau dulu Mbak Ulfa sempat punya rasa dengan saya?" Syaaah! Dia jujur sekale. Aku ini Ulfa, woy! Masak dia ngajak aku ghibahin diriku sendiri! Ah, sudahlah percuma teriak-teriak kalau cuma dalam hati. "Saya sebenarnya justru merasa bersalah padamu sudah menikungmu. Tapi, dulu murni karena saya tak tahu bahwa kalian berd
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status