"Maksudnya, Mas?" Muzakka mengernyitkan dahi.
Kubiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Biar dia menebak.
"Kalau ngomong yang tuntas. Jangan biarkan saya menebak-nebak kenapa?" Ia bertanya lagi karena tadi aku enggan menjawab.
Baiklah, karena ia tak suka main tebak-tebakan maka terpaksa kujelaskan padanya.
"Maksudku, kau benar, memang sisa masa lalu harus segera disingkirkan agar tak melukai pasangan," jelasku padanya.
Lelaki itu tersenyum.
"Mas Abraham apa tidak pernah cemburu kalau dulu Mbak Ulfa sempat punya rasa dengan saya?"
Syaaah! Dia jujur sekale. Aku ini Ulfa, woy! Masak dia ngajak aku ghibahin diriku sendiri!
Ah, sudahlah percuma teriak-teriak kalau cuma dalam hati.
"Saya sebenarnya justru merasa bersalah padamu sudah menikungmu. Tapi, dulu murni karena saya tak tahu bahwa kalian berd
Ketukan pintu itu berbunyi tiga kali. Tanpa salam, apalagi menyebut nama. Mungkin si Pengetuk bukan orang Islam jadi tidak tahu adab bertamu di rumah orang."Siapa?" teriakku saking kerasnya sampai suaraku berubah parau.Tak ada jawaban. Ah, siapalah yang menjahiliku. Mana badanku masih sedikit ngilu untuk digerakkan.Apa harus kubuka pintunya? Atau dibiarkan saja?Kuhela napas berat dan tak lupa melafalkan basmalah, barulah pintu dibuka.Tak ada seorangpun tapi ada sebuah kertas yang sengaja diselipkan di bawah pintu. Di sana terdapat tulisan ancaman.Kau masih hidup rupanya. Umurmu memang panjang. Tenang urusan kita belum selesai.Tak ada nama. Namun aku tahu siapa pelakunya. Karena kalimatnya mudah ditebak. Siapa lagi kalau bukan si Bos misterius itu. Pakai menerorku segala, belum puas apa membuatku babak belur.Aku yakin ada yang memata-matai rumah ini. Sehingga begitu aku sampai rumah mereka bisa langsung tahu.Sekarang terasa ada yang mengintai, entah ia mengawasi di sebelah m
Gelap, aku bahkan tak bisa mengingat aku ini apa. Sampai kudengar suara-suara di sekeliling."Ibu." Sebuah panggilan disertai rengekan yang kukenal. Itu suara Maryam. Aku merindukannya sampai bermimpi mendengarnya memanggil dan menangisiku."Cup ... cup ... cup, ibumu tidak apa-apa. Kata Bu bidan ibumu sehat. Udah jangan nangis lagi." Mbok Darsih? Iya itu suara Mbok Darsih. Apa aku tidak sedang bermimpi? Bukankah dia sudah tidak berada di Walang Sangit.Perlahan mataku terbuka. Kucubit pahaku, sakit. Ini bukan mimpi sepertinya juga bukan halusinasi. Tempat ini sama sekali tak pernah kudatangi sebelumnya. Apa yang terjadi pada kami? Terakhir yang kuingat kepalaku pusing dan ponselku terjatuh sebelum semua menjadi gelap. Kalau benar dugaanku Mas Abraham juga kembali ke raganya. Di rumah kami Walang Sangit sana.Mataku mencari sosok Mbok Darsih. Ia di sana dekat pintu bersama Maryam yang menangis sambil terduduk."Mbok," panggilku lirih.Wanita setengah tua itu menghampir ranjang pa
"Mungkin ruh saya jalan-jalan dulu selama tujuh belas jam, Bu, makanya lama." Aku menjawab bernada kelakar.Padahal sebenarnya yang kukatakan serius. Bayangkan ruhku ada di Walang Sangit terbang kemari untuk menghuni ragaku yang sedang ditinggal oleh Mas Abraham. Bukankah itu hal yang tidak mustahil jika Allah berkehendak?Bidan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Ia pikir aku beneran sekedar bercanda."Ya, sudah jika tak mau memeriksakan lebih lanjut. Nanti sore boleh pulang. Soalnya tekanan darah normal dan detak jantung janin juga normal. Jika Bu Ulfa ingin memastikan dampak pingsan, nanti saya beri surat rujukan untuk ke rumah sakit yang lebih besar agar bisa ct scan.""Untuk sekarang tidak dulu, Bu. Tapi jika saya ada apa-apa, saya akan datang kemari."Usai berbincang-bincang sedikit, bidan itu hendak pergi tapi kutahan."Bu, boleh saya pulang lebih dulu untuk membawa uang kemari?""Tidak usah, Bu Ulfa. Tak banyak yang kami lakukan. Nanti kalau Bu Ulfa mau pulang bisa kok langsu
Teriakan Mas Abraham terdengar sayup-sayup, "Jangan pedulikan dia! Jangan pernah ke Walang Sangit lagi!"Tak berapa lama panggilan putus tepat setelah terdengar suara pukulan. Aku termangu. Itu tadi apa? Apakah Mas Abraham mau dihabisi? Bagaimana kalau dia mati? Kalau benar begitu, keinginannya mengorbankan nyawa terkabulkan. Walau aku sangat ingin dia mati, kenyataanya tetap saja hal ini menyakitkan. Seperti belum rela, jika ia meninggal sekarang.Entah siapa yang dipukul dan siapa yang memukul, sebab setelah itu tak ada lagi yang menelepon.Ternyata, selama aku menerima panggilan tadi, Mbok Darsih terdiam memperhatikanku."Bu Ulfa, ada apa?" tanya beliau."Mbok, saya sarankan ganti nomor hari ini juga. Pokoknya lepas nomor ini. Jangan sampai orang asing yang merampas hape Mas Abraham melacak kita. Ini sementara saya matikan sampai Mbok Darsih punya nomor baru, ya.""Iya, iya. Nanti saya ganti." Selesai makan, aku ingin melihat keadaan rumah baru kami ini. Sekaligus ingin tahu, si
Ia tak mungkin mencoba untuk bunuh diri setelah babak belur dihajar oleh mantan teman kuliahnya, bukan? Tapi bisa jadi ia memang dilempar ke sungai. Mungkin dikira sudah mati jadi jasad Mas Abraham dibuang untuk menghilangkan jejak. Hubungan pertemanan mereka sangat mengerikan.Pertama yang dilakukan, aku harus menepi dulu, dengan tertatih kaki melangkah ke pinggir sungai dan duduk di atas rerumputan di bawah pohon jati. Aliran sungai ini tak begitu deras, tapi cukup bisa membuat tubuh hanyut. Itu sebabnya aku bisa tersangkut. Untung juga tidak sedang hujan deras karena jika itu terjadi mungkin raga ini akan terbawa arus hingga ke kota besar dan bertemu dengan sungai besar yang menampung air dari sungai-sungai hulu beraliran kecil. Dengan volume air yang lebih tinggi di sungai besar, maka Mas Abraham bisa saja mati.Pikiranku mulai melayang untuk menganalisa awal mula kejadian. Pertama, jika pertukaran ini berulang, artinya ada yang belum selesai.Kedua, kami bertukar tatkala ada yan
Entah berapa lama aku berjalan menyusuri jalan setapak. Tiap kali jalan ini menjauh dari aliran sungai, pasti aku tinggalkan dan kembali berjalan di pinggirnya meski terhalang onak dan bebatuan. Mengapa seperti itu? Sebab, tujuanku memang mencari jejak pertama kali Mas Abrahan terlempar ke sungai.Sampai kutemukan asal cabang dari sungai ini menjadi tiga. Di sini aku mulai bingung untuk menentukan mana yang akan kutelusuri. Ah, ya. Aku bisa melakukan salat istiqarah untuk meminta petunjuk dalam memilih hulu sungai yang benar. Jika kalian mengira salat istiqarah hanya untuk memilih jodoh maka kalian keliru. Salat tersebut bisa dilakukan saat kita dihadapkan untuk memilih salah satu dari dua pilihan atau lebih.Aku benar-benar melakukan dua rekaat salat tersebut lalu memohon kepada agar apa yang kupilih baik untukku dan akheratku. Setelah itu aku merenung untuk menganalisa. Sampai akhirnya kuputuskan hulu sungai yang memiliki aliran paling deras, sebab aku yakin tubuh Mas Abraham tak
"Perkelahian seperti apa, Bu? Di mana tempatnya?" tanyaku penasaran."Sebenarnya di sana ada tiga orang. Tapi, satu lelaki sembunyi di balik pohon agak jauh sari situ. Saya hanya lihat pundaknya yang sebelah saja. Sedangkan dua orang lelaki saling berkelahi ada yang bawa pisau. Ih, ngeri! Saya cepat-cepat menyingkir. Takut ada yang tahu kalau saya melihat mereka."Ia masih belum menjawab tempat kejadiannya."Di mana?" Terpaksa kuulangi pertanyaanku."Sebelah timur, ayo! Saya tunjukin jalannya," ajak wanita paruh baya itu.Langkah wanita itu kuikuti. Ia berjalan ke samping rumah. Ada jarak satu meter antara rumahnya dan tanah yang agak tinggi. Untuk sampai ke atas, sudah ada lekukan tanah yang mirip tangga."Naik gampeng ini. Nanti ada jalan setapak. Ikuti saja sampai tiba di pinggiran sungai. Mungkin jaraknya sekitar lima ratus meter dari sini."Telunjuk wanita itu mengarah ke atas undakan tanah yang lebih tinggi."Kalau begitu saya permisi, Bu. Terima kasih banyak makan siangnya," ka
"Ham, ngomong-ngomong, dapat dari mana baju partai? Ini masih 2022 belum musim kampanye, kok, sudah pakai baju seperti itu?" tanya Pak Lurah keheranan."Eh, kaos ini? Sebagian besar baju saya dibawa istri ke sana. Makanya tadi main sambar kaos saja buat ganti dan kebetulan dapat ini, ya, saya pakai tanpa pikir panjang, Pak." Aku berkata sekenanya. Mustahil bukan kalau kuceritakan bahwa kaos ini hasil ngemis.Rasanya kurang sopan membiarkan Pak Lurah tanpa suguhan apa pun. Jadi demi sopan santun, aku ke dapur sekedar menyiapkan minum air putih. Yang betul putih atau jernih, sih?"Pak, diminum. Di rumah cuma ada ini. Maklum jomlo, jadi tidak punya stok makanan."Mendengar kata jomlo, Pak Lurah tertawa terbahak-bahak. Ia pasti juga merasa tersindir. Wong kami berdua sama."Kamu betul. Kita jadi jomlo sementara. Makan, makan sendiri. Tidur, tidur sendiri, ha ... ha ... ha."Aku senyam-senyum, dengar perkataan Pak Lurah, sudah mirip lirik lagu. Emang sengenes itukah jadi jomlo? Kok, menur