Semua Bab Jiwa Yang Tertukar: Bab 1 - Bab 10
57 Bab
Do'a Istri yang Tersakiti
  "Aku ingin memberi tahumu bahwa bulan depan akan menikahi Arina anak almarhum Kahunan, mantan lurah," ucap Mas Abraham, suamiku. Tanganku yang sedang menyuapi si Sulung seketika berhenti di udara. Lelaki itu sama sekali tak sadar bahwa apa yang baru saja dikatakannya bisa menghancurkan duniaku. Yang dia tahu, istrinya ini sangat mengerti bahwa poligami diperbolehkan. Ya, benar memang boleh, tapi ia tak akan tahu semenyakitkan apa bagiku. Mungkin ia tak ingin disalahkan jika menikahi Arina secara sirri. Ia takut dibilang tak berakhlak lantaran melakukannya sesuatu yang dihalalkan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Abraham memberi tahu sebelum terlaksana ijab qabul.  Aku sangat mengerti betul watak suamiku yang selalu menjaga harga diri dan wibawanya di masyarakat umum. Semua orang mengenalnya lelaki paling baik di kelurahan Walang Sangit ini.&n
Baca selengkapnya
Berawal dari Hujan Deras
Sambil meringis pura-pura kesakitan kulirik raut wajahnya yang memerah menahan kejengkelan. Akan tetapi, ia tak bisa melampiaskan kemarahanya. Tentu saja karena kondisi yang kualami. "Makanya, hati-hati," ucapnya lalu mengulurkan tangan agar aku berdiri. "Perutku, Mas! Aku takut keguguran," rintihku mencoba mencuri belas kasihannya. "Sakit? Nanti pergilah ke bidan. Mau diantar atau pergi sendiri?" tanya lelaki mirip Roy Sortin, bintang film tahun sembilan puluhan. Tolong jangan dibantah penialianku, jangan pula salahkan namanya kalau agak meleset.  "Mana bisa nyetir motor kalau perutku seperti ini," kataku pura-pura lemah  Lelaki di depanku berdecak kesal. "Aku ganti baju dulu. Nanti kuantar. Jalan hati-hati lantai masih basah. Awas jatuh!" Inilah kebaikan yang dimilikinya. Ia masih mau mengantar jika melihatku kondisi darurat.
Baca selengkapnya
Sadar dari Koma
Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.  Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur.  "Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit. Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?  Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan? "Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan. "Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada. Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget. "Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki. 
Baca selengkapnya
PIN ATM
Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala. Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang? Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.  Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku. Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku. Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan. D
Baca selengkapnya
Amankan Uang Suami
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek. Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren,  mudah pula. "Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya." "Silakan." Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta. Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru. "Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak." Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya. Keluar
Baca selengkapnya
Suami Siuman
Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata. Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu. Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?',  'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h
Baca selengkapnya
Tak Bisa Menerima
Aku kembali mendekati ranjangnya. "Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan. Ia menggeram kesal. "Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi  kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya. Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini. "Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
Baca selengkapnya
Suami yang Hamil
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar. Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik. "Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus. Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja. Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang. Sesampai di depan WC ia segera beraksi. "Hueeek ..., hueeek!" Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
Baca selengkapnya
Memeriksa Detak Jantung Janin
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.  Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku. Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi? "Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga. "Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya. "Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya. "Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk. Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku. "Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Baca selengkapnya
Abraham si IRT
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ. Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku. Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya. "Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya. "Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin. "Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status