All Chapters of Jiwa Yang Tertukar: Chapter 51 - Chapter 57
57 Chapters
Ada yang Berjuang Hidup tapi Mati
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Read more
Kami Bertemu Keluarga
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Read more
Pengakuan Mas Abraham
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
Read more
Belum Terpecahkan
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Read more
Ingin SC
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Read more
Detik-detik Melahirkan
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
Read more
Kunci Utama
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status