"Saya juga tak tahu. Nomornya tidak tersimpan di ponsel," jawabku.
"Kalau begitu nanti saya ikut." Muzakka dengan percaya diri mangajukan diri untuk menyertaiku.
Hmm! Apa tidak mengapa mengajak Muzakka ke sana? Sementara penelepon asing memintaku untung datang sendiri.
"Dia memintaku datang sendiri," ucapku padanya.
Aku tak ingin ia merasa ditolak. Sebab entah mengapa setelah menerima makan siang di rumahnya membuatku tak ingin mengecewakannya.
"Oh, begitu, ya," ucapnya sedih.
"Baiklah aku permisi!" pamitku.
"Tunggu, saya sekalian ke masjid lagi saja. Toh, sebentar lagi akan azan Asar!" Ia berteriak lalu masuk ke rumah mengambil kunci motor.
Mengapa Muzakka mau mengekoriku terus, sih. Aneh, rasanya. Apa dia tahu aku adalah Ulfa? Hah! Manalah mungkin? Atau memang sudah menjadi takdir jiwaku selalu menarik perhati
Kuhempaskan rasa takut sejenak untuk menghimpun kekuatan sekedar bersuara."Kalian mau apa!" teriakku lantang walau setelahnya gemetar hebat. Jantungku berpacu begitu cepat."Kami mau memberikan pelajaran untuk orang serakah sepertimu!"Aku mundur beberapa langkah takut tentunya karena Ayah dulu tak pernah membekaliku ilmu bela diri. Dengan apa aku melawan? Apa harus lari? Percuma karena aku sedang dikepung.Tiba-tiba sebuah tendangan melesak ke arah dada. Aku terhuyung ke belakang dengan refleks memegangi bagian depanku, rasanya mau jebol. Selemah ini, aku. Untung ini fisik Mas Abraham sehingga tidak serapuh perempuan.Tendangan itu hanya permulaan sebab dari arah belakang sebuah pukulan telak mendarat tepat di bagian punggungku. Duh, Rabby, Al Qowiy wal Matin depan, belakang tubuhku kena hatam. Kalau bukan Engkau yang menciptakan aku, mungkin sudah remuk tubuh ini. 
"Pak Lurah sudah saya telepon, beliau sedang menuju kemari!" Abi Muzakka tiba-tiba muncul di pintu memberitahu kepada kami.Seketika aku dan Muzakka menoleh, hampir saja kepala kami berbenturan.Lalu kami saling berpandangan dan saling tersenyum karena tadi tak sengaja. Melihat senyumnya seketika otakku mengalami error 404. Blank!"Pak! ..., Pak Carik! Apa ada yang dipikirkan?" tanya Abi Muzakka yang mengibaskan telapak tangannya tepat di depan mukaku.Dengan reflek aku mengerjapkan mata dan menutup mulut yang tak kusadari tadi menganga karena takjub dengan senyuman Muzakka tadi."Ya, Ada apa, ya?""Pak Carik tadi kenapa? Tiba-tiba seperti patung mangap." Muzakka bertanya seolah menegurku."Ah, tidak ada apa-apa. Kaget saja abimu tahu-tahu muncul," jawabku sekenanya."Masak karena saya?" tanya Abi Muzakka dengan kerlingan mat
Pukul delapan malam aku bangkit dari tempat tidur, berniat hendak pamitan kepada keluarga Muzakka.Aku yakin mereka tak meyuruhku pulang karena segan. Jadi sudah semestinya, akulah yang harus punya inisiatif sendiri untuk pergi dari sini.Terdengar suara mereka sedang bercakap-cakap di ruang tengah di mana letak televisi rumah ini berada.Semakin dekat langkahku semakin terdengar percakapan mereka."Memangnya Arina yang minta maskawin itu, Zak?""Bukan dia, Mi. Tapi, inisiatif dariku sendiri." Suara Muzakka menjawab pertanyaan Uminya."Kamu tidak bertanya apa yang dia inginkan?" tanya uminya lagi."Tidak. Dia juga tidak memberitahu barang yang dia inginkan sebagai maskawin, Mi.""Coba tanya dulu. Jangan-jangan dia menginginkan sesuatu, tapi tak mau memberatkanmu.""Iya, Mi. Besok Insyaallah."Karena percakapan mereka terdengar sudah selesai, maka aku memberanikan diri muncul di hadapan mereka."Pak Ca
"Maksudnya, Mas?" Muzakka mengernyitkan dahi.Kubiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Biar dia menebak."Kalau ngomong yang tuntas. Jangan biarkan saya menebak-nebak kenapa?" Ia bertanya lagi karena tadi aku enggan menjawab.Baiklah, karena ia tak suka main tebak-tebakan maka terpaksa kujelaskan padanya."Maksudku, kau benar, memang sisa masa lalu harus segera disingkirkan agar tak melukai pasangan," jelasku padanya.Lelaki itu tersenyum."Mas Abraham apa tidak pernah cemburu kalau dulu Mbak Ulfa sempat punya rasa dengan saya?"Syaaah! Dia jujur sekale. Aku ini Ulfa, woy! Masak dia ngajak aku ghibahin diriku sendiri!Ah, sudahlah percuma teriak-teriak kalau cuma dalam hati."Saya sebenarnya justru merasa bersalah padamu sudah menikungmu. Tapi, dulu murni karena saya tak tahu bahwa kalian berd
Ketukan pintu itu berbunyi tiga kali. Tanpa salam, apalagi menyebut nama. Mungkin si Pengetuk bukan orang Islam jadi tidak tahu adab bertamu di rumah orang."Siapa?" teriakku saking kerasnya sampai suaraku berubah parau.Tak ada jawaban. Ah, siapalah yang menjahiliku. Mana badanku masih sedikit ngilu untuk digerakkan.Apa harus kubuka pintunya? Atau dibiarkan saja?Kuhela napas berat dan tak lupa melafalkan basmalah, barulah pintu dibuka.Tak ada seorangpun tapi ada sebuah kertas yang sengaja diselipkan di bawah pintu. Di sana terdapat tulisan ancaman.Kau masih hidup rupanya. Umurmu memang panjang. Tenang urusan kita belum selesai.Tak ada nama. Namun aku tahu siapa pelakunya. Karena kalimatnya mudah ditebak. Siapa lagi kalau bukan si Bos misterius itu. Pakai menerorku segala, belum puas apa membuatku babak belur.Aku yakin ada yang memata-matai rumah ini. Sehingga begitu aku sampai rumah mereka bisa langsung tahu.Sekarang terasa ada yang mengintai, entah ia mengawasi di sebelah m
Gelap, aku bahkan tak bisa mengingat aku ini apa. Sampai kudengar suara-suara di sekeliling."Ibu." Sebuah panggilan disertai rengekan yang kukenal. Itu suara Maryam. Aku merindukannya sampai bermimpi mendengarnya memanggil dan menangisiku."Cup ... cup ... cup, ibumu tidak apa-apa. Kata Bu bidan ibumu sehat. Udah jangan nangis lagi." Mbok Darsih? Iya itu suara Mbok Darsih. Apa aku tidak sedang bermimpi? Bukankah dia sudah tidak berada di Walang Sangit.Perlahan mataku terbuka. Kucubit pahaku, sakit. Ini bukan mimpi sepertinya juga bukan halusinasi. Tempat ini sama sekali tak pernah kudatangi sebelumnya. Apa yang terjadi pada kami? Terakhir yang kuingat kepalaku pusing dan ponselku terjatuh sebelum semua menjadi gelap. Kalau benar dugaanku Mas Abraham juga kembali ke raganya. Di rumah kami Walang Sangit sana.Mataku mencari sosok Mbok Darsih. Ia di sana dekat pintu bersama Maryam yang menangis sambil terduduk."Mbok," panggilku lirih.Wanita setengah tua itu menghampir ranjang pa
"Mungkin ruh saya jalan-jalan dulu selama tujuh belas jam, Bu, makanya lama." Aku menjawab bernada kelakar.Padahal sebenarnya yang kukatakan serius. Bayangkan ruhku ada di Walang Sangit terbang kemari untuk menghuni ragaku yang sedang ditinggal oleh Mas Abraham. Bukankah itu hal yang tidak mustahil jika Allah berkehendak?Bidan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Ia pikir aku beneran sekedar bercanda."Ya, sudah jika tak mau memeriksakan lebih lanjut. Nanti sore boleh pulang. Soalnya tekanan darah normal dan detak jantung janin juga normal. Jika Bu Ulfa ingin memastikan dampak pingsan, nanti saya beri surat rujukan untuk ke rumah sakit yang lebih besar agar bisa ct scan.""Untuk sekarang tidak dulu, Bu. Tapi jika saya ada apa-apa, saya akan datang kemari."Usai berbincang-bincang sedikit, bidan itu hendak pergi tapi kutahan."Bu, boleh saya pulang lebih dulu untuk membawa uang kemari?""Tidak usah, Bu Ulfa. Tak banyak yang kami lakukan. Nanti kalau Bu Ulfa mau pulang bisa kok langsu
Teriakan Mas Abraham terdengar sayup-sayup, "Jangan pedulikan dia! Jangan pernah ke Walang Sangit lagi!"Tak berapa lama panggilan putus tepat setelah terdengar suara pukulan. Aku termangu. Itu tadi apa? Apakah Mas Abraham mau dihabisi? Bagaimana kalau dia mati? Kalau benar begitu, keinginannya mengorbankan nyawa terkabulkan. Walau aku sangat ingin dia mati, kenyataanya tetap saja hal ini menyakitkan. Seperti belum rela, jika ia meninggal sekarang.Entah siapa yang dipukul dan siapa yang memukul, sebab setelah itu tak ada lagi yang menelepon.Ternyata, selama aku menerima panggilan tadi, Mbok Darsih terdiam memperhatikanku."Bu Ulfa, ada apa?" tanya beliau."Mbok, saya sarankan ganti nomor hari ini juga. Pokoknya lepas nomor ini. Jangan sampai orang asing yang merampas hape Mas Abraham melacak kita. Ini sementara saya matikan sampai Mbok Darsih punya nomor baru, ya.""Iya, iya. Nanti saya ganti." Selesai makan, aku ingin melihat keadaan rumah baru kami ini. Sekaligus ingin tahu, si