All Chapters of Perawan Untuk Om Duda: Chapter 21 - Chapter 30
35 Chapters
The Black Wedding: Where is Selma?
“Ah, kenapa mereka lama sekali?” Jemari Panji meremas-remas tidak tenang, tatapannya terpaku pada pintu besar yang akan menjadi jalan masuk bagi calon mempelai wanita.Ini sudah lewat sepuluh menit dari jam yang seharusnya. Akan tetapi, mata Panji tidak kunjung disapa gadis cantik yang ia tinggakan 25 menit lalu. Seharusnya dari pintu emas itulah Selma muncul bersama Sasmara, berjalan di tengah perhatian seluruh tamu undangan yang telah duduk menjamur, seraya membawa buket mawar putih ke arahnya.“Panji!” desis Damar, melambaikan tangan dari bawah pelaminan. “Ke marilah!” suruh pria itu.Tampak ada yang tidak beres, Panji merasakan gelagat aneh dari orang-orang sekitarnya. Akhirnya, pria itu turun dan menyapa iparnya tersebut. “Ada apa ini? Harusnya kita mulai dari tadi, tapi mana Selma?”“Itu dia masalahnya.” Damar menggaruk leher. “Selma … tidak ada,” lirih Damar, sangat hati-hati.“Apa maksudmu dengan tidak ada?” Bukan hanya volume, bahkan sekujur urat Panji ikut menanjak.“H
Read more
Tidak Jatuh Cinta, Bisakah?
"Aaaa!" Selma memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengobat-abit. Sekian detik kemudian, terdengar pekikan Panji. "Mati saja kau, Gatra!" Pria itu bersiap menyerang musuh meski dengan tangan kosong. "Kamu yang sepantasnya mati!" Gatra beralih mengurusi Panji, mengangkat bangku kecil yang sebelumnya hendak dilemparkan pada Selma. Melihat kegaduhan dua pria itu, Selma berusaha melonggarkan ikat yang membelenggu kaki tangannya. Apalagi melihat Panji kewalahan menghadapi kegilaan Gatra, gadis itu semakin ingin terbebas. "Duh, gimana, nih? Om Panji bisa kalah kalau gitu caranya." Jika tidak ingat waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk memoles wajah, Selma tidak perlu menahan air cengengnya. Brak! Panji bergulung di lantai, beruntungnya bangku itu tidak berhasil mendarat di kepalanya. Dengan napas yang terengah, pria itu menyempatkan diri melirik Selma, memastikan gadis itu tidak mengakami hal buruk. Aman, tetapi ia harus mengulur waktu sebisa mungkin hingga
Read more
Basah Ciuman Pertama
"Selamat, ya, kalian telah resmi menjadi pasangan suami-istri." Hampa. Bisa-bisanya ia yang baru saja menjadi korban sandera langsung diminta menempati singgasana mempelai tanpa diberi toleransi waktu sedikit pun. Selma menatap pria yang berdiri di sampingnya, tampak tenang seolah tidak memiliki masalah apa pun sebelumnya. "Istri?" lirih Panji, sengaja menyetel suaranya agar didengar Selma seorang. "Bodoh!" kutuk Selma, "Nggak usah ngelawak, nggak lucu," sahutnya, seraya mencebikkan bibir; menahan tangis. Panji merangkul pinggang gadis itu. "Nggak usah nangis, mana ada istrinya Panji tukang mewek," ledek pria itu. Tepat sekali. Lima menit lalu, Selma resmi mencantolkan marga Panji ke dalam nama indahnya. Sepasang mempelai yang berpura-pura bahagia di tengah riuh ratusan tamu undangan itu begitu rapat menyembunyikan inti masalah meski kabar kedatangan sejumlah aparat penegak hukum telah menyebar. Keduanya masih menamatkan wajah anggota keluarga masing-mas
Read more
Merusuh di Airport
“Tadi aku sudah bilang untuk tidak menangis, ‘kan?” Baik Panji maupun Randi, keduanya sama-sama menenangkan tangis pasangan masing-masing. Entah chemistry jenis apa yang sudah dibangun dua saudara sepersepupuan itu, tampaknya tidak seorang pun berhasil menerjemahkannya. “Hei, masih ada ponsel. Kalian bisa teleponan sampai puas nanti,” hibur Randi, tetapi tidak diindahkan sama sekali oleh dua wanita yang mengumbar air mata tanpa suara itu. “Kenapa mendadak, sih, San?” Selma mengelap ingusnya dengan tisu yang baru diserahkan Panji. “Tega, ya, lo!” decaknya. Sana meraih tangan Selma. “Maaf, Sel. Sebenarnya Kakek sama Papa yang udah siapin ini. Kamu sibuk ngurus pernikahan, makanya aku diam aja, nggak mau bikin kamu drop tiba-tiba,” paparnya. “Nggak! Gue nggak kasih izin buat kalian pergi!” Selma menarik tangannya dari jangkauan Sana. “Sel, come on.” Panji menolehkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Kamu nggak bisa egois kaya gini,” nasehatnya. “Om Panji
Read more
Malam yang Tertunda
"Ayo, bangun!" Panji menuntun lengan Selma, memposisikan gadis itu di sisinya. "Kamu kenal sama perempuan ini?" Masih hening, gadis yang ditanya sibuk menyeka air mata. "Kebangetan, kalau sampai nggak kenal!" sahut wanita berjaket bulu di hadapan mereka. "Gara-gara kamu, anak saya jadi kena masalah!" Wanita itu menuding Selma. Panji menepis telunjuk yang teracung ke wajah istrinya, lalu mengatakan, "Hati-hati, Nyonya. Tangan Anda seperti minta dimutilasi, ya!" Pria itu kemudian mengelus pipi Selma. Air mata yang semula membanjir seolah terserap, Selma menatap wajah teduh yang dipamerkan pria itu. Entah apa maksudnya, tetapi ia merasa nyaman. Pikirannya kacau oleh kharisma kebapakan yang dipamerkan Panji. Gadis itu heran, adakah yang salah dengan debaran jantungnya? "Sudah merasa hebat karena mencampakkan anak saya? Ternyata, seleranya ... tcih!" "Om, kita pergi aja, yuk?" ajak Selma, mulai tidak nyaman karena menjadi perhatian orang lain. "Pergi, sana, yang
Read more
Bukan Malam Impian
"Om nggak tidur?" Selma baru keluar dari kamar mandi, wajahnya lebih segar; sepertinya baru selesai dibasuh. Pria yang tampak punggungnya saja itu kemudian menoleh, air mukanya tampak sayu meski kesan garang masih lekat ditampilkan. Panji menekuk sebelah kakinya ke atas kasur, lalu menepuk bidang yang masih luas itu sembari menatap sang istri. "Tidur duluan, gih. Kamu pasti capek, 'kan?" sahut pria itu. Selma nyengir masam. "Dih, sok tahu!" cibirnya, "Kalau ngantuk tidur aja kali, Om, aku nggak juga bakal ngapa-ngapain sama situ," imbuhnya, disertai lirikan yang seolah menyindir. Entah berapa kali dalam sehari Panji harus menghela napas untuk kelakuan gadis trantum satu itu. Belum genap sehari diperistri saja sudah membuat tangannya mati-matian ditahan agar tidak mengelus dada. Untuk apa ia merasa bersalah jika Selma malah semena-mena? Detik-detik pertama, pria itu masih diam memperhatikan Selma dengan rutinitas kecantikannya. Beberapa waktu selanjutnya, tepat
Read more
Balada Datang Bulan
“Om, kenapa diam aja?” Panji menghela napas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Terus, kamu mau aku gimana?” Selma menggigit bibirnya begitu rapat, menahan tawa yang hampir menyembur bebas. Sejak hengkang dari rumah, pria itu memasang wajah sebal. Ia sangat tahu penyebabnya, tetapi tidak merasa bersalah sama sekali. “Jadi mampir apotek, nggak?” Panji menyalakan sein ke kiri. “Beli apa tadi, aku lupa,” katanya. “Ke minimarket aja, Om,” usul Selma, “sekalian beliin pembalut, kayanya aku lupa nggak masukin tas.” Alis Panji terangkat sebelah. “Hah, pembalut?” Suaranya terdengar seperti terkejut daripada pertanyaan. Selma mengangguk begitu saja, lalu dengan sok memelas ia bertanya, “Om Panji nggak mau beliin pembalut buat aku?” Sesaat, pria itu menganalisa mimik aneh di wajah istrinya. Panji ingat, ini adalah pertama kali baginya melihat sisi manja Selma. Apa datang bulan bisa merubah perempuan menjadi seaneh ini? Seumur hidup, tidak pernah sekalipun dir
Read more
Tidak Bisa dipercaya Lagi
“Jangan diam aja. Bukannya kamu harus menjelaskan sesuatu?” Panji menunggu, matanya tidak lepas dari gadis yang memilih duduk jauh darinya itu. Beruntunglah ia belum meminta para pekerja rumahnya kembali dari cuti. Mulanya pria itu berniat mengerjai Selma agar mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi sepertinya kepergian para maid memberi manfaat tersendiri untuk sepasang pengantin baru yang dilingkupi aura panas tersebut. “Bukan aku.” Selma senantiasa menundukkan kepalanya. “Tapi, bagaimana bisa wajah kalian begitu mirip?” Pyar! Hamburan foto di pangkuan itu sedikit membuat Selma terjingkat. Ia berani bersumpah jika kegadisannya masih utuh, tetapi sedari tadi air muka hingga kata-kata Panji membuat kemampuan berbicaranya gulung tikar sebelum digelar. “Ak–aku nggak kenal sama cowok itu, Om. Sumpah, bukan aku,” bela Selma, diselingi isakan tertahan. Namun, akhirnya tangis gadis itu pecah juga saking takutnya. “Kalau bukan, kenapa nangis?” Nada tany
Read more
Trigger Malam Pertama
“Dis?” Kepala Selma mendusel pada lengan hangat yang tertata di sampingnya, lalu refleks memeluk tubuh si pemilik lengan tersebut. Namun, sepertinya ada yang aneh. Telapak tangannya meraba-raba dada bidang yang menurut bayangannya mirip kepunyaan aktor drama yang kerap ia tonton. Ia tidak mengira tubuh Diska akan sepadat ini. Apa sahabatnya itu rajin mengikuti fitness akhir-akhir ini? “Eumh, ekhem!” Mampus! Selma menelan ludahnya dengan susah, ia ingat siapa pemilik dehaman khas itu. Dengan mata yang senantiasa terpejam, perlahan ia ambil kembali lingkar tangannya. Akan tetapi, sebuah tarikan malah membuatnya semakin merapat. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri membuka mata dan bersibobrok dengan pemilik netra gelap yang kini juga tertidur menyamping ke arahnya. “Untuk tidur siang saja kamu pilih menumpang pada ranjang orang lain?” Selma berkedip lambat meski jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. “Om … kok bisa?” Pria itu menggeleng. “Entah, tany
Read more
Dia-lo-gue Pagi
“Tuan, apakah ada sesuatu dengan Nyonya?” Lirikan sebal Panji berpindah pada seorang maid yang menatap takut-takut di sampingnya. Ia tebak, pekikannya mengganggu wanita paruh baya itu, apalagi saat ini kondisinya tidak dalam balut pakaian yang benar. Sebentar, amarah Panji masih berusaha disurutkan sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu pada pekerjanya itu. “Tidak ada,” elak Panji. “Pergilah beristirahat, besok kau harus mulai bekerja!” titahnya, tanpa lupa ditambahi tatapan menusuk. Setelah maid itu menyingkir dari pandangannya, Panji pun beringsut ke ruangan lain. Ia bisa saja merogoh kunci cadangan dan menghabisi Selma saat itu juga. Namun, rasa-rasanya lelah sekali untuk memulai perdebatan. Jadilah, ruang kerja dengan tambahan set kamar minimalis itu menemani lelapnya malam ini. Bumb! Setelah mendebamkan tubuhnya ke ranjang, Panji membayangkan atap putih yang menaung di ruangannya itu melukiskan wajah Selma. “Awas, kamu! Kita lihat saja, siapa yang akan
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status