Semua Bab Neraka untuk Adik Madu: Bab 11 - Bab 20
90 Bab
Bab 11
"Bu ... ini ponsel milik siapa?" Tiba-tiba Mbak Ratih berucap seraya menyerahkan benda pipih yang begitu asing di penglihatanku ke arahku. Kuletakkan sendok yang kugunakan untuk menyuap makanan. Kuterima ponsel itu. Dahiku mengernyit saat kubolak-balik ponsel itu namun tetap tak kukenali siapa pemilik ponsel yang ada di tanganku ini. Ponsel berukuran lima inchi dengan warna putih. Akhirnya kutekan tombol power.  "Tidak dikunci," lirihku.  Saat kuusap layar ponsel itu, foto perempuan yang baru saja bertamu ke rumahku langsung terpampang dengan jelas di layar pipih itu.  Ya, aku yakin ini ponsel milik Lidya. Tidak salah lagi. Karena wallpaper tersebut bergambar foto Lidya.  Lalu ponsel ini ada di tangan Mbak Ratih?   "Apakah ponsel ini tertinggal atau memang sengaja ditinggal?" lirihku.&
Baca selengkapnya
Bab 12
RAHASIA YANG TERKUAK****** Mobil yang sejenak terparkir di halaman rumah, kembali melaju. "Mbok, titip Daffa," teriakku pada Simbok yang entah mendengarnya atau tidak. Aku berjalan menuju di mana kunci mobil berada.  Saat aku melangkah ke luar, terlihat Mbak Ratih tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. "Ada apa, Bu? Nyari simbok?" sesaat kuhentikan langkahku.  "Bilang ke Simbok, titip Daffa sebentar, Mbak," ucapku.  "Iya, Bu," jawabnya.   Aku melangkah menuju carport. Aku duduk di balik kemudi. Segera kulajukan kendaraanku ke luar dari halaman dan berbelok ke area mana Mas Pandu tadi berbelok.  Kutambah kecepatan laju mobil, untuk mencari di mana mobil Mas Pandu saat ini.  Usahaku tidak sia-sia. Mobil Mas Pandu melaju tepat di depanku.
Baca selengkapnya
Bab 13
Beberapa saat mendengarkan obrolan mereka, menurutku hanya ada beberapa poin yang penting, selebihnya hanya obrolan yang menurutku begitu memuakkan. Daripada kubuang-buang waktuku, aku memutuskan untuk keluar dari restoran, pastinya setelah membayar semua tagihan makanku.  Di sepanjang perjalanan menuju di mana mobilku terparkir, pikiran ini terus berkelana kemana-mana. Memikirkan banyak hal yang tentunya membuat kepala ini berdenyut nyeri.  Kubuka pintu mobil lalu tubuhku menyelinap masuk dan duduk di belakang kemudi. Kuputar kunci lalu sedetik kemudian suara deru mobil terdengar.   Kembali kulajukan kendaraanku menuju rumah dengan perasaan penuh amarah. Meninggalkan mereka yang sedang bersenang-senang.Di sepanjang perjalanan, berkali-kali tanganku memukul setir mobil sebagai bentuk luapan kemarahan yang kini sedang terasa.  Aku sungguh tak menyangka,
Baca selengkapnya
Bab 14
Di sepanjang malam mata ini terus terjaga. Setiap jam aku terus mengecek suhu tubuh Daffa. Hanya ingin memastikan apa demam Daffa semakin tinggi atau tidak. Kali ini bisa bernapas lega, demam di tubuh Daffa semakin menurun. Aku menoleh ke arah jam yang ada di tembok, jarum jam menunjukkan pukul 21:00 wib. Mas Pandu juga tak kunjung pulang. Jangankan pulang, menghubunhikh walau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaan anaknya yang sedang sakit pun tidak.  Jujur saja, sikap Mas Pandu yang seperti itu membuat hati ini terasa nyeri. Serasa ada yang meremasnya. Kuat.   Ternyata perempuan itu sudah berhasil mencuri hati Mas Pandu seluruhnya. Kini hanya ada nama Lidya seorang yang bertahta di dalam kerajaan hatinya. Tak ada lagi ruang untuk aku dan juga Daffa. Ponsel yang sedari tadi tergeletak itu bergetar, kuraih benda itu di atas nakas. Satu pesan dit
Baca selengkapnya
Bab 15
Perempuan paruh baya itu terlihat keluar dari mobil dengan menenteng tas di tangan kanannya. Perempuan itu tersenyum ke arahku setelah pandangan kami bertemu. Kubalas senyuman itu.  Ya, perempuan itu adalah Mama mertuaku.  Terlihat ia melangkah ke arahku yang sedang duduk di teras rumah. Dengan terpaksa kucium punggung tangan Mama setelah tangannya terulur ke arahku.  "Sini Daffa biar Mama gendong." Sebenarnya ada rasa berat saat menyerahkan bayiku pada perempuan tak berhati itu. Namun Mama langsung mengambil alih Daffa dari pangkuanku.  "Mama dari mana?" tanyaku sesaat setelah Mama menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di sampingku. Pandangannya tertuju pada Daffa. "Dari rumah tadi," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Memang jarak rumah kami tidak jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh 45 menit saja.  
Baca selengkapnya
Bab 16
Suara deru mobil yang berhenti di halaman rumah membuatku melangkah ke arah depan. Masih ada perasaan kasihan yang hinggap di dalam sini.   Langkahku seketika terhenti saat melihat Mas Pandu datang bersama Lidya. Mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tanpa permisi.  "Mama di mana, Vit?" tanya Mas Pandu dengan raut wajah yang sangat khawatir, pun dengan Lidya.   "Di kamar, Mas," jawabku dengan jemari menunjuk ke arah kamar. Mas Pandu mengangguk lalu melangkah begitu saja, bersama Lidya– calon istri keduanya.  Kuhembuskan napas berat, aku menyusul langkah mereka. Kini sepasang calon pengantin yang sedang di mabuk asmara duduk di tepi ranjang di samping Mama mertua.   Menyadari kehadiranku, pandangan Mas Pandu beralih padaku yang sedang berdiri di ambang pintu.&
Baca selengkapnya
Bab 17
Aku kembali menuju kamar. Terlihat Mama mertua masih terbaring lemah di atas pembaringan, aku duduk di tepi ranjang dengan Daffa yang ada di gendonganku. "Sudah baikan, Ma?" tanyaku sesaat setelah melihat Mama Mertua, wajah tua itu masih terlihat pucat.  "Iya, tapi perut masih ngerasa nggak nyaman," ucap Mama dengan lirih. Nada suaranya masih terdengar lemah.  Entahlah, aku masih bingung dengan perasaanku saat ini. Dengan teganya kuberikan obat pencahar itu ke dalam minuman Mama, namun ada rasa kasihan yang menyelinap di dalam dada saat melihat Mama sampai pingsan, namun saat melihat dirinya sudah membaik ada rasa kecewa. Jahatkah aku? Kurasa tidak, bukankah apa yang dilakukan Mama jauh lebih kejam?  "Mama tadi habis dari rumah Lidya?" tanyaku. Aku bangkit dari tempat dudukku, menimang-nimang Daffa.  
Baca selengkapnya
Bab 18
Rencana Vita  "Bagaimana? Kamu setuju?"  Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk kuutarakan pada Mama mertua. Aku tak boleh salah langkah. Aku harus lebih hati-hati. Mama mertua pandai sekali bersandiwara dan bermuka dua.  Saat bersamaku ia pura-pura berada di pihakku, namun saat bersama Lidya ia pun juga bersikap seperti itu.  Setelah beberapa saat memikirkan semuanya, aku sudah memutuskan jawabannya. Bukankah aku memang ingin mengikuti rencana yang dikatakan Mama? Bukankah membahagiakan orang tua itu sesuatu yang sangat baik, begitu juga yang kulakukan saat ini. Meskipun kebahagiaan itu hanya sesaat.   Mama menatapku, raut wajahnya penuh harap.   "Baiklah, Ma. Tapi Mama bantu Vita kan? Mama tinggal di sini juga kan?" ucapku yang sepersekian detik kemudian membuat bibir yang masih terlih
Baca selengkapnya
Bab 20
Kini tidak ada lagi yang bisa kupercaya selain diriku sendiri. Setiap langkah yang kuambil, aku terus berusaha berhati-hati.  Di rumah ini, kini tinggal kami berlima. Aku, Daffa, Mas Pandu, Mama Mertua dan Lidya.  Setelah kepergian Mbok Jum, aku meminta Mbak Ratih untuk pulang ke kampung halamannya. Aku memberinya libur beberapa hari.   Tujuanku hanyalah, agar perempuan ular itu sadar diri kalau dirinya tidak bisa duduk bersanding denganku. Apalagi sampai merebut kursi singgasana ku di rumah ini.   Akan kusadarkan dia, posisi apa yang pantas untuk dirinya. Teringat dengan jelas saat Mbak Ratih kuminta berpura-pura untuk pulang ke kampungnya dengan alasan ada urusan keluarga yang harus segera di selesaikan.  "Loh, Mbok Jum pulang, kamu juga pulang. Terus siapa dong yang mengurus rumah ini?" jawabku bersandiwara. Pu
Baca selengkapnya
Bab 19
"Vit ...." Aku terkejut, tubuhku tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang memanggilku dan saat aku menoleh ternyata ia sudah berdiri di belakangku. Jantungku berdetak lebih kencang. Khawatir jika ia mendengar perbincanganku dan juga Aulia.Aku dan Aulia saling berpandangan. Kuhela napas panjang untuk menetralkan degup jantung yang sudah tak beraturan ini. Pandanganku beralih pada Mas Pandu yang masih berdiri di sana. Kupasang wajah setenang mungkin. "Ya, Mas?" ucapku menahan gugup yang amat luar biasa. Takut jika Mas Pandu mendengar perbincanganku dengan Aulia. "Aku pulang dulu, sekalian mau antar Mama pulang. Mobil Mama biar di sini saja." Ucapan Mas Pandu seketika membuat hati ini lega.  "Oh, iya, Mas," jawabku. Pandanganku beralih pada Aulia. Wajah yang semula gugup itu terlihat lega, sama sepertiku. "Aku temui Mama dulu ya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status