All Chapters of KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU: Chapter 11 - Chapter 20
129 Chapters
Part 11–Masakan Pertama
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj
Read more
Part 12–Jatah Bulanan
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam.Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang.""Benarkah?"Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan."Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu."Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya."Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan."Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali."B
Read more
Part 13–Tolong, Dek
Aku sudah berkeliling mencari kontrakan kosong yang cukup nyaman dan bersih, tapi tidak ada. Semuanya penuh. Kontrakan kosong justru ada di tempat yang kurang bersih dan rapi.Aku tidak merasa nyaman melihatnya. Jadi, memilih mencari ke tempat lain saja. Akan tetapi, ternyata semua tempat sama saja. Penuh.Aku tengah duduk di halte menunggu taksi yang lewat, tapi sebuah mobil pajero hitam tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Kening ini berkerut melihat kaca jendela terbuka. Di mana sesosok pria di balik kaca mata hitam di dalam mobil itu tersenyum.Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan apakah pria ini memang tersenyum padaku atau orang lain. Tak ada siapa pun di sini.Siapa dia?"Lusi," sapanya setelah keluar dari mobil."Pak William?" Aku masih tak percaya mantan bossku itu bisa kebetulan ada di sini.Pantas saja aku sempat ragu, ternyata penampilannya sungguh sangat berbeda. Dahulu rambutnya cokelat terang, panjang dan selalu diikat. Akan tetapi, sekarang dia terlihat lebih berwibaw
Read more
Part 14
Aku tengah memberikan Alva MPASI saat Bang Leon menghampiri kami."Ibu sama Bapak sebentar lagi sampai, Dek." Ia menarik satu kursi di depanku."Hm," sahutku singkat."Kamu jangan keceplosan, ya, Dek. Jangan sampai Ibu dan Bapak ...." Bang Leon tak melanjutkan ucapan saat menyadari sorot mata tajamku mengarah padanya."Maaf, Dek." Bang Leon tersenyum hambar, lalu kembali beranjak dari kursi. "Abang nunggu Ibu dan Bapak di depan aja." Ia berucap sambil mengusap tengkuk, lalu pergi menuju pintu seraya sesekali melirik pada kami.Tak berselang lama, Mira keluar dengan rok mini dan kaus tanpa lengan alias tanktop. Berjalan menghampiriku dengan gaya bak model seraya tersenyum puas."Aku baru beli perhiasan baru, lho, Mbak. Bang Leon yang kasih." Ia sengaja memperlihatkan, mengusap cincin dan kalung di lehernya."Siapa?""Apanya?" Ia bingung."Siapa yang nanya?" Aku tersenyum sinis."Ish!" Mira mengentakkan kaki dengan kesal. "Bilang aja Mbak sirik sama aku. Ya, 'kan? Ngaku aja, Mbak!" Mira
Read more
Part 15
Setelah ceramah Bapak tadi, tak ada lagi percakapan di antara kami. Bapak dan Ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bermain dengan Alva. Sementara, aku pergi ke supermarket untuk membeli bahan masakan. Bang Leon ingin mengantar, tapi kutolak dan memilih pergi dengan ojek saja. Mira sendiri tadi pamit pergi keluar. Meski sudah dilarang, tapi dia tetap bersikeras pergi.Aku pulang dengan kedua tangan menjinjing kantong plastik putih. Melihatku datang, Bang Leon yang tengah duduk dengan kedua orangtuanya pun bergegas bangun, lalu mengambil alih kantong belanjaan dari tanganku."Abang bantuin, ya, Dek." Bang Leon dengan semangat mengeluarkan semua bahan masakan dari dalam kantong plastik tersebut."Enggak usah," sahutku dingin."Enggak apa-apa. Biar Abang bantu, Dek. Potong-potong apa kek gitu." Dia bersikeras, lalu menarik kursi di sampingku dan duduk."Enggak usah. Sa
Read more
Part 16–Tawaran
Aku yang tengah membuat sarapan, terkejut melihat Ibu dan Bapak keluar dari kamar dengan menjinjing tasnya. Segera kuhampiri mereka dengan tatapan bingung."Ibu, Bapak, mau ke mana? Kenapa bawa tas?" tanyaku seraya memandang ke arah tangan Bapak yang menjinjing tas berukuran sedang."Bapak sama Ibu mau pulang," jawab Ibu pelan."Lho ... kok, pulang? Ibu dan Bapak 'kan baru datang kemarin siang.""Enggak apa-apa. Kami mau pulang saja," lirih Ibu."Bu, apa ini karena aku?" tanyaku pelan seraya maju mendekat, lalu meraih tangannya. "Apa Ibu dan Bapak kecewa denganku?"Ibu tersenyum. "Enggak, Nak. Ini bukan salahmu. Kamu berhak menentukan pilihan dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Ibu dan Bapak akan mendukung apa pun keputusanmu. Kamu sudah kami anggap seperti anak sendiri." Ibu mengusap kepalaku lembut."Jadi ... Ibu dan Bapak tetap mau pulang sepagi ini?" lirihku dengan mata mengerjap cepat karena embun yang mulai menggenang."Iya," jawab Bapak. "Kami merasa malu dan bersalah atas apa y
Read more
Part 17–Kemarahan Lusi
"Maumu apa, sih?" tanyaku kesal."Jadilah modelku."Aku diam sejenak, lalu tertawa. "Terima kasih sudah menghiburku dengan leluconmu itu," ujarku, lalu pergi."Aku enggak bercanda." Pria itu menyejajarkan langkahnya denganku. "Aku memang lagi butuh model baru dan kamu itu cocok. Ayolah! Kamu akan kubuat terkenal dengan bayaran yang memuaskan.""Enggak. Makasih. Aku enggak tertarik," sahutku cuek tanpa menoleh padanya."Kamu dan bayimu ini bisa jadi model barengan, lho," bujuknya lagi."Enggak.""Oh, C'mon. Apa ruginya jadi model? Kamu akan dikenal banyak orang.""Aku bilang enggak, ya, enggak. Maksa banget, sih." Aku mendelik kesal padanya."Tolonglah ... aku butuh model yang fresh. Dan kamu sangat sempurna dan cocok untuk kriteria model yang kucari," rayunya seraya berjalan mundur di hadapanku.Aku berhenti melangkah, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih atas tawaran baiknya. Tapi aku benar-benar enggak minat. Maaf. Aku enggak mau fokusku mengurus anak terganggu.""Enggak akan me
Read more
Part 18–Terjual
Sudah pukul setengah tujuh lewat, tapi Bang Leon belum juga pulang. Padahal, sebentar lagi orang yang mau survei rumah ini akan segera datang. Sudah coba kuhubungi, tapi tidak aktif. Tidak biasa-biasanya Bang Leon pulang setelat ini tanpa kabar apa pun.Aku turun untuk menanyakan hal itu pada Mira. Dia istrinya Bang Leon sekarang. Mungkin pria itu mengabari soal keterlambatan pulangnya pada wanita itu.Namun, baru saja hendak mengetuk pintu kamarnya, tangan ini seketika terhenti di udara saat samar-samar mendengar Mira tengah berbicara dengan seseorang. Kutempelkan telinga ke daun pintu supaya lebih jelas. Mira sedang tertawa dan berbicara dengan nada manja pada seseorang. Cukup membuat kaget ketika mendengar kata 'sayang' terucap darinya.Sayang? Mungkinkah itu Bang Leon? Tapi bukankah nomornya sedang tidak aktif?Pikiran negatif mulai merasuki kepala. Tak mau menduga-duga, segera kuhubungi kembali nomor Bang Leon untuk memastikan dan ternyata memang masih tidak aktif."Terus, siapa
Read more
Part 19–Rezeki Nomplok
Aku yang tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper pun terdiam sejenak. Mata memindai ke sekeliling kamar. Berbagai kenangan manis bersama Bang Leon saat kami masih bersama kembali hadir satu per satu bak cuplikan film. Menghadirkan desiran perih di hati dan mata yang terasa memanas.Begitu banyak kenangan di rumah ini. Sejujurnya, aku berat hati untuk menjual, tapi mau bagaimana lagi? Ini yang terbaik untuk kami berdua.Kuseka air mata, lalu kembali melanjutkan merapikan pakaian. Tak berselang lama, pintu kamar di ketuk pelan."Boleh abang masuk, Dek?" tanyanya dari luar kamar."Masuklah, Bang. Enggak dikunci!" sahutku tanpa menghentikan aktivitas.Kulirik sekilas Bang Leon yang sedang berjalan mendekat, lalu dia duduk di tepi ranjang. Alva seketika merangkak mendekat dan langsung naik ke pangkuannya. Bang Leon menciumi wajah bayi itu, lalu memeluknya erat.Aku memilih pergi menuju lemari. Berpura-pura mencari sesuatu lagi. Padahal, hanya ingin menyembunyikan mata yang
Read more
Part 20–Makan Siang
Aku yang tengah duduk santai menonton televisi, langsung menoleh saat mendengar pintu dibuka. Tak lama, Bang Leon dan Mira muncul. Keduanya tertegun yang hanya kubalas dengan senyuman miring."Kok, Mbak Lusi masih ada di sini, sih, Bang? Bukannya dia pergi tadi pagi?" Mira menggoyang-goyang lengan Bang Leon."Memangnya kenapa kalau aku masih di sini? Masalah buatmu?" sahutku santai."Dek ...." Bang Leon mendekat. "Apa kontrakannya ada masalah? Biar abang bantu carikan lagi.""Enggak perlu, Bang." Aku mengibaskan tangan."Kenapa? Nanti keburu pemilik rumah ke sini dan ngusir kamu, gimana?"Aku berdiri seraya menggendong Alva."Abang enggak usah pikirin aku. Kalian mau keluar sore ini, kan? Lebih baik cepat bereskan barang-barangnya dan pergi," titahku, lalu pergi meninggalkan keduanya dalam mode kebingungan.Masih bisa kudengar Mira mempertanyakan soal keberadaanku, tapi Bang Leon pun tidak tahu jawabannya.Setelah menyusui Alva, kubaringkan dia di box bayi, lalu pergi dan menutup pint
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status