Ponsel Mas Firman berdering. Dia berbicara entah dengan siapa, tapi sepertinya membahas pekerjaan."Ada pertemuan mendadak, Pak. Bagaimana?""Kamu saja yang wakili saya.""Baik." Mas Firman mengangguk, lalu menatap padaku. "Maaf, Mbak. Saya pamit duluan. Mbak makan siang dengan Pak William saja.""Katanya tadi kamu yang lapar," tukasku pelan. Berusaha tak terlihat kesal."Iya, Mbak. Maaf. Pertemuannya dadakan. Permisi." Mas Firman membungkukkan badannya padaku, lalu bergegas pergi.Ish, tahu gitu mending tadi langsung pulang saja. "Lusi?""Y-ya?" Aku tergagap karena sempat menggerutu dalam hati."Ayo dimakan. Jangan dianggurin itu makanannya. Sayang sudah pesan." Pak William tersenyum."Iya, Pak." Aku mengangguk, tersenyum canggung, lalu mulai menikmati hidangan yang tersaji.Rasa kesal perlahan memudar saat kami mulai terlibat percakapan ringan. Dulu, kami memang akrab karena aku bekerja dengannya, tapi semenjak berhenti dan lose contact, aku jadi bingung dan merasa canggung sendiri
"Berhenti memaksanya seperti itu."Kami serempak menoleh, menatap Pak William yang berdiri tak jauh dari kami."Lepaskan tangannya." Mas William menghampiri kami dengan raut wajah dingin."Siapa kamu berani ikut campur urusan orang?"Aku mundur beberapa langkah seraya mengusap lengan setelah Austin melepas cekalannya."Siapa pun aku, itu bukan urusanmu," sahut Mas William.Keduanya saling melemparkan tatapan tajam dengan jarak yang sangat dekat. Aku berdiri tertegun sambil menelan ludah. Menatap khawatir ke sekeliling ketika perdebatan kami mulai semakin menjadi pusat perhatian.Bagaimana kalau mereka berkelahi di sini?Baru saja maju selangkah untuk memisahkan dan hendak mengucapkan sesuatu, mulut ini dibuat terkatup rapat lagi ketika melihat keduanya tiba-tiba tertawa bersama, kemudian berpelukan sebentar. Aku masih melongo di sini dengan mata mengerjap cepat beberapa kali. Keduanya menoleh, tapi malah semakin tertawa kencang saat melihatku bengong."Kenapa? Kaget, ya?" Austin mende
"Katakan ada perlu apa." "Anu, Dek. Abang ...." Dia menunduk seraya menggaruk kepalanya. "Abang dipecat dari kantor beberapa hari yang lalu," lirihnya dengan tatapan sendu. "Dipecat? Kenapa?" tanyaku kaget. Bang Leon menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan dengan wajah menengadah ke atas. "Abang ketahuan terlibat korupsi, Dek." "Apa?!" sahutku kaget. "Enggak besar, Dek. Hanya seratus juta saja." "Enggak besar kata Abang?" Aku tertawa miris. "Seratus juta itu bukan uang yang sedikit, Bang. Mau seribu perak pun yang namanya korupsi, ya, tetap korupsi! Abang kenapa bisa sampai meelakukan hal bodoh itu, sih? Sejak kapan Abang berani ambil uang haram?" cecarku dengan tatapan tajam. "Abang terpaksa, Dek. Abang juga enggak pernah berniat melakukannya." "Lalu?" desakku geram. "Mira, Dek. Mira selalu nuntut ini itu. Uang gajian Abang selalu habis untuk foya-foya. Dia selalu beli barang-barang mahal yang harganya bikin Abang syok." "Ya, jangan Abang turutin, dong! Abang
"Masalahnya kenapa?""Masalahnya mobil itu belum laku juga, Dek. Padahal, tenggat waktu tinggal satu hari lagi. Abang harus gimana, Dek? Abang enggak mau masuk penjara." Mata Bang Leon berkaca-kaca menatapku."Mira enggak mau bantu Abang, gitu? Barangkali dia bisa cari pinjaman ke teman atau orangtua dan kerabatnya."Bang Leon menggeleng. "Malah sudah dari lima hari yang lalu dia pulang ke rumah papanya, Dek. Dia pergi setelah kami bertengkar hebat karena masalah ini.""Atau jadikan saja mobil itu sebagai jaminan ke perusahaan sampai Abang bisa bayar."Bang Leon kembali geleng. "Enggak boleh. Abang sudah coba, tapi ditolak."Gustiii, kenapa aku jadi ikut pusing karena masalah Bang Leon ini? Hadeeh! Datang-datang bukannya bawa oleh-oleh untuk anak, malah bawa masalah.Kulirik Bang Leon yang sedang mengajak Alva berbic
Bang Leon ternyata datang pagi sekali. Dia begitu bersemangat ingin menyelesaikan masalahnya. Dia juga bertanya terus tentang siapa orang yang ingin membeli mobil, tapi aku selalu mengalihkan pertanyaan itu dengan tema lain."Ayo, Bang, sarapan dulu! Abang belum sarapan, kan?""Belum, Dek!""Ya sudah, ayo!"Bang Leon mengangguk cepat dan tersenyum. Bergegas bangun dari kursi teras, lalu mengekoriku ke dalam."Makasih, Dek," ucapnya saat kugeser secangkir kopi padanya yang tengah lahap menyantap nasi kuning."Abang sudah kabari pihak perusahaan?""Sudah, Dek. Mereka tunggu Abang sampai siang ini," jawabnya, lalu minum. "Makasih, Dek. Abang enggak tahu lagi harus balas kebaikanmu dengan apa. Kalau bukan karena bantuanmu, abang pasti akan masuk penjara."Aku menghela napas pelan dan tersenyum tipis."Sudah jangan dipikirkan. Bagaimanapun juga, Abang itu papanya Alva. Aku enggak mau Alva malu dan sedih karena ulah Abang. Tapi tolong, jangan pernah diulangi lagi kesalahan seperti ini. Piki
"Sudah, sudah." Mas William berjalan mendekat. Mas Firman sendiri sudah tak terlihat. Sepertinya, dia masuk ke dalam rumah membawa Alva."Maaf. Tapi sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik di dalam. Enggak perlu pakai emosi seperti ini.""Diam kamu!" sentak Bang Leon seraya menunjuk tepat di depan wajah Mas William. "Jangan bersikap sok baik di depanku! Aku tahu niat busukmu itu. Kamu ingin merebut Lusi dariku, kan?""Benar. Aku memang mencintai Lusi dan sudah melamarnya," jawabnya dengan tenang.Bang Leon membeku sejenak, lalu menatap padaku kembali dengan bola matanya yang bergera
Hari ini aku tengah pergi ke mal menemani Nanny berbelanja keperluan bayi. Bayi yang diberi nama Aurora itu sungguh menggemaskan. Membuatku berharap ingin memiliki bayi perempuan juga. Lucu sekali, sungguh!Usai dari toko perlengkapan bayi, kami pergi makan siang bersama. Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, tiba-tiba saja Nanny mencolek-colek lenganku."Apa?" tanyaku bingung. Kami berdua duduk dalam posisi berhadapan."Lihat ke belakangmu! Ada si pelakor sama cowok," bisiknya.Seketika itu juga aku langsung menoleh. Benar. Di ambang pintu restoran, kulihat dia menggandeng seorang pria paruh baya dengan mesra. Keduanya terlihat celingukan karena kursi restoran hampir penuh.Aku segera berbalik. Nanny dan aku sama-sama menutupi wajah dengan buku menu saat melihat keduanya mendekat."Eh? Kenapa kita malah sembunyi begini, sih? Memangnya kita punya salah padanya?" bisik Nanny kebingungan."Iya juga, ya." Aku terkekeh pelan."Ya udah, ah, enggak usah ditutup—""Jangan, Nan!" tukas
"Hah? Serius?" Nanny terkejut.Aku mengangguk. "Tapi sampai sekarang, aku belum kasih jawaban. Aku sendiri masih bingung dan ragu.""Kenapa ragu? Kapan lagi kamu dapat pria mapan sepertinya? Enggak hanya tampan, baik lagi. Dia juga duda, kan?""Aku hanya takut gagal untuk yang kedua kalinya. Aku masih ragu untuk kembali terikat tali pernikahan," lirihku, lalu menghela napas panjang."Kenapa harus takut, Lusi? Jangan takut dengan apa yang belum kelihatan oleh mata! Percayakan saja semua kepada-Nya. Kita memang enggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi bukan berarti juga kita harus menyerah sebelum bertarung, 'kan? Ayolah, Lusi! Buang rasa takutmu itu. Insyaallah dia pria yang cocok untukmu dan Alva.""Akan kupikirkan.""Jangan lama-lama! Nanti kamu menyesal sendiri, lho, kalau sampai dia keburu diambil orang lain."