All Chapters of Story Adik Iparku di Akad Nikah Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50
98 Chapters
Bab 41 Ada yang Mau Melamar
“Oh, iya. Aku percaya kalau kamu tidak mungkin berbohong padaku, Mas. Karena kamu pasti paham betul apa yang akan kulakukan jika kamu kembali membohongiku,” ucapku tersenyum sarkas. Aku tidak akan memaafkan hal apapun yang mungkin akan membuatku terluka. Termasuk pengkhianatan. Jika hal itu kembali terjadi, aku tidak akan berpikir panjang untuk menjadikan diriku seorang janda.“Tidak, Sayang. Aku akan selalu setia padamu. Aku sudah berjanji di depan ibuku, dan barusan aku berjanji di depan mertuaku. Suamimu ini bukan pengkhianat, Zahira!” Mas Adnan memegangi kedua bahuku. Berbicara dengan sangat mantap. Menunjukkan bahwa ucapannya itu bukanlah main-main.“Iya, Mas. Aku harap begitu. Aku sudah ngantuk, mau tidur,” selaku bersiap merebahkan diri di tempat tidur berbahan besi. Ranjang ini dulunya ditempah mamak pada pengrajin di desa ini. Usianya sudah lebih sepuluh tahun, tapi tetap kokoh sampai sekarang.Aku tidur menghadap ayunan Tabitha, sekaligus membelakangi mas Adnan. Sedari tadi
Read more
Bab 42 Menasihati Marwah
“Ammar?”Aku seperti pernah mengenal nama itu, seperti nama pelatih pengemudiku dulu. Tapi, banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Mungkin saja orangnya berbeda. Lagipula Ammar yang kukenal itu sepertinya bukan orang kaya, katanya waktu itu ia bekerja sebagai pelatih mengemudi untuk membiayai hidupnya yang sebatang kara.“Tolong Kakak bicara sama Marwah, agar ia tidak keras kepala. Mamak tidak setuju jika dia menikah dengan pemuda itu, mungkin kalau kamu yang bicara, dia bisa melemah,” ujar mamak sendu. Aku tidak menyangka hanya karena cinta, Marwah sanggup bersikap dingin terhadap wanita yang telah berkorban nyawa demi ia bisa melihat dunia.Aku pun setuju dengan mamak, adikku masih terlalu muda untuk bersanding di pelaminan. Aku harus menasihatinya. Apa lagi, posisiku dianggap sebagai kepala keluarga di sini. Aku yakin sedikit banyaknya ia pasti mau mengerti.“Iya, Mak. Tenang aja, nanti aku bicarakan, pasti dia mau nurut,” hiburku pada mamak, aku tidak tega jika ia harus bers
Read more
Bab 43 Tanda Merah
Aarggh ... aku benar-benar kecewa pada Marwah. Selain berani melawan, kini ia telah menjadi seorang pembohong. Semua demi pemuda yang bernama Ammar. Seperti apa sih, rupanya. Sehingga adikku begitu tergila-gila padanya. Ingin sekali aku memberinya perhitungan, agar segera pergi dari kehidupan Marwah. Aku yakin Marwah berubah seperti ini karena telah termakan bujuk rayu dari lelaki itu.Aku kembali berlari menggedor pintu kamarnya, ingin meminta penjelasan lebih darinya. Meninggalkan Nazwa yang masih menekuri perbuatan sang adik. Sedangkan Mamak tengah berjalan keluar pagar, menyapa tetangga yang lewat sembari menggendong Tabitha."Marwah, tolong buka pintunya. Kakak minta maaf." Aku memohon agar ia mau membuka pintu ini, menemuiku sekali lagi dan berbicara dari hati ke hati. "Marwah, Marwah, keluar dong, Dek!"Entah panggilan yang ke berapa kali. Barulah gagang pintu itu ditarik dari dalam. Marwah keluar dengan wajah yang masih sama. Marah."Dek, Kakak minta maaf, Kakak tarik kembali
Read more
Bab 44 Penyesalan Marwah
Lihai sekali adikku ini. Ia begitu sulit dikendalikan, seperti seekor belut sawah saja. Mataku yang tadinya cerah, kembali meredup. Tidak tahan untuk dipaksa membeliak. Akhirnya aku tertidur. Setelah meletakkan ponsel Marwah di dalam laci nakas. Aku harus segera istirahat, sebelum melakukan perjalanan panjang esok hari.**Subuh ini aku terbangun ketika mendengar suara ketukan dari balik kamarku. Kulihat jam di dinding masih berada tepat di angka empat. Aku pun bergegas membukanya dengan mata yang masih mengantuk, berulang kali aku kedipkan mata agar pandangan tidak lagi berkunang-kunang.Dengan tertatih, kubuka kunci dan melihat siapa yang sudah membangunkan aku di jam segini.Dahiku mengernyit, antara masih mengantuk dan ingin memastikan. Aku tidak salah, yang berdiri di hadapanku ini adalah Marwah, ia mematung dengan masih memakai piyamanya.Tatapannya menyiratkan sesuatu, sepertinya ia ingin bicara padaku."Marwah! Masuk, Dek." Tanpa bertanya tujuannya, aku membuka pintu lebih le
Read more
Bab 45 Berbaikan
Kemudian aku menyuruh Marwah untuk kembali ke kamarnya, sembari melihat keadaan sekitar. Sepertinya Mamak belum bangun, karena sejak aku di sini. Ia total tidak berjualan lagi. Aku pun sudah menyarankannya agar lebih baik beristirahat. Tidak perlu lagi berjualan sarapan karena akan menguras banyak tenaga. Ia pun setuju, apalagi sejak Marwah dan Nazwa sibuk mengurusi tokonya, Mamak juga mulai kelelahan sebab anaknya tidak lagi membantu pekerjaannya secara maksimal.Aku pun bergegas menutup pintu. Kembali merebahkan diri di atas ranjang, meskipun mata ini tidak bisa terpejam lagi. Selain karena hari yang mulai siang, juga karena isi kepalaku sedang bekerja untuk mencari alasan yang tepat untuk membawa Marwah ikut denganku.Kegiatan berpikirku terhenti saat mendengar suara berisik dari dapur. Lagi pula, setelah hampir satu jam terdiam, aku telah menemukan ide yang tepat untuk memboyong adikku pergi dari rumah ini. "Mamak sudah bangun?" Tanyaku sembari berjalan menghampirinya yang sedan
Read more
Bab 46 Merubah Penampilan
Kami pun memulai perjalanan pulang dengan perasaan masing-masing. Aku dengan segala macam pikiran, mulai dari butik, rumah, Mamak, dan Marwah. Ditambah lagi akan bertemu dengan mertuaku, Ibu Friska. Semoga kali ini tidak ada sikapnya yang membuatku kembali tidak nyaman."Apa kegiatanmu selama aku tidak di rumah, Mas?" tanyaku memecah kesunyian. Kami baru saja keluar dari kawasan perkampungan. Tidak banyak lagi yang mengenalku di sini, sehingga aku mulai menutup kaca mobil. Tidak seperti ketika masih di kampungku tadi, aku masih menyapa beberapa orang yang kukenal dari dalam mobil."Seperti biasa. Pergi bekerja dan beberapa kali mengecek butik. Sesuai laporanku di telepon," ucapnya kemudian tertawa. Selama berpisah, kami memang saling memberitahukan kegiatan. Terutama Mas Adnan, ia sering meneleponku sebelum tidur. Sekadar bertanya tentang aktivitasku dan Tabitha."Bagaiman dengan Ibu? Apakah kamu sudah membawanya ke dokter terapi?""Sudah, tapi bukan aku yang membawanya. Dia menyewa s
Read more
Bab 47 Mencari Ammar
"Sssttt, udah ah, aku juga bingung, kok penampilannya bisa berubah total gitu," ucapku sambil mengerlingkan mata ke arahnya.Mungkin Ibu ingin kembali menikmati hidup seperti masa muda dulu. Ketika masih cantik dan aktif. Tidak ada yang salah menurutku, sebab ia memang bergaya sesuai kantongnya.Aku dan Marwah menyiapkan nasi dan mie goreng untuk menu sarapan kami.Lula juga turut bergabung ketika mendengar suara bising dari peralatan dapur, membantu aku dan Marwah menyiapkan sarapan.Tidak susah bagi Marwah menyesuaikan diri di sini, karena ia juga sudah cukup mengenal Lula. Mereka sudah sering bertemu, namun tidak pernah seakrab ini sebelumnya. Lula juga terlihat nyaman berbicara dengan Marwah, mungkin karena usianya yang hampir sama. Kegiatan di dapur jadi lebih menyenangkan mendengarkan ocehan kedua pemudi ini.Suasana pagi di meja makan pun terasa hangat. Sebab Marwah dan Lula tidak henti-hentinya saling meledek dan bercanda satu sama lain. Sedangkan aku, Ibu dan Mas Adnan sesek
Read more
Bab 48 Benda di Kolong Ranjang
"Oke, baiklah. Kami akan kembali dua hari lagi. Maaf telah mengganggu waktunya. Terima kasih!" Aku berbalik tanpa melihat wanita bernama Rara itu.Kemudian menarik paksa tangan Marwah yang sepertinya enggan beranjak dari tempat ini.Tak lupa, aku tadi sempat memberikan kartu namaku padanya. Berpesan agar ia menghubungiku, kalau saja Ammar sudah kembali lebih cepat.Kepalaku jadi pusing memikirkan tentang Ammar. Waktu itu dia bilang hanya pekerja di sana, tapi ternyata dialah bos di perusahaan penyedia jasa kursus dan rental mobil tersebut. Kenapa dia berbohong padaku? Dan apa tujuannya waktu itu, kenapa seorang bos harus berpura-pura menjadi instruktur di perusahaannya sendiri? Entahlah, aku mulai belingsatan karena ulah kekasih adikku itu. Walaupun sudah tahu jati diri Ammar sebenarnya, tapi aku masih saja belum yakin jika tidak bertemu langsung dengannya."Tuh, 'kan. Bener yang kubilang, Ammar itu tajir, Kak." Marwah terlihat sumringah. Seolah menunjukkan bahwa masih ada sisi baik
Read more
Bab 49 Kabar Baik
"Iya, Nak. Terima kasih, ya!" ungkapnya. Sorot matanya begitu teduh, namun sulit untuk diartikan.Kututup pintu pelan, mata ini masih menatap lekat ke arah mertuaku, ia masih tak bergeming, tetap pada posisinya.Aku melebarkan langkah menuju asal suara milik suamiku, memberikan senyum termanis untuk menyambut kepulangannya."Sudah pulang, Mas?" ucapku seraya meraih punggung tangannya untuk aku kecup. Ia sedang duduk bersandar di sofa ruang tamu."Sayang, tolong siapin air hangat, ya. Badan ini rasanya sangat pegal," pintanya sembari merentangkan sendi-sendinya, sehingga menimbulkan suara khas tulang yang direnggangkan.Sudah jadi aktivitas rutin bagi Mas Adnan untuk mandi air hangat jika tubuhnya sudah terlalu lelah bekerja."Iya, tapi kamu makan dulu, ya, Mas. Biar aku siapin makanannya," ucapku. Maksudku agar setelah mandi nanti ia langsung beristirahat.**"Mas, Ibu sekarang beda banget, ya," ucapku saat kami berbaring di atas kasur king size yang seusia dengan pernikahan kami. Saa
Read more
Bab 50 Hari Bahagia
"Mas ..." panggilku lembut. Mendatanginya untuk mencoba memberikan pengertian bahwa ia seharusnya turut bahagia demi sang Ibu."Biarkan Ibu dengan pilihannya, Mas. Seharusnya kamu mendukung keinginan Ibu," rayuku, mencoba meyakinkannya. Aku tak rela jika mereka memperselisihkan hal ini lagi."Zahira, kamu tidak mengerti, Sayang." Mas Adnan malah semakin gusar, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.Mulutnya mengeluarkan udara yang masuk dengan sekali hembusan."Mas, aku sangat mengerti. Tapi, Ibu juga berhak bahagia," balasku tak paham dengan keinginan suamiku. Ia yang biasanya penurut dan bersikap lembut pada Ibu, saat ini berubah menyebalkan."Zahira, aku melakukan ini demi menjaga perasaanmu.""Tak perlu mempertimbangkan perasaanku, Mas. Pikirkan saja tentang Ibu," jawabku mulai tersulut emosi. Kenapa Mas Adnan yang sekarang begitu keras kepala. Kemana ia letakkan baktinya pada sang Ibu?"Sudahlah, Adnan. Kalian tak perlu memperdebatkan hal itu. Biarlah ini menjadi urusanku." Sepe
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status