"Sssttt, udah ah, aku juga bingung, kok penampilannya bisa berubah total gitu," ucapku sambil mengerlingkan mata ke arahnya.Mungkin Ibu ingin kembali menikmati hidup seperti masa muda dulu. Ketika masih cantik dan aktif. Tidak ada yang salah menurutku, sebab ia memang bergaya sesuai kantongnya.Aku dan Marwah menyiapkan nasi dan mie goreng untuk menu sarapan kami.Lula juga turut bergabung ketika mendengar suara bising dari peralatan dapur, membantu aku dan Marwah menyiapkan sarapan.Tidak susah bagi Marwah menyesuaikan diri di sini, karena ia juga sudah cukup mengenal Lula. Mereka sudah sering bertemu, namun tidak pernah seakrab ini sebelumnya. Lula juga terlihat nyaman berbicara dengan Marwah, mungkin karena usianya yang hampir sama. Kegiatan di dapur jadi lebih menyenangkan mendengarkan ocehan kedua pemudi ini.Suasana pagi di meja makan pun terasa hangat. Sebab Marwah dan Lula tidak henti-hentinya saling meledek dan bercanda satu sama lain. Sedangkan aku, Ibu dan Mas Adnan sesek
"Oke, baiklah. Kami akan kembali dua hari lagi. Maaf telah mengganggu waktunya. Terima kasih!" Aku berbalik tanpa melihat wanita bernama Rara itu.Kemudian menarik paksa tangan Marwah yang sepertinya enggan beranjak dari tempat ini.Tak lupa, aku tadi sempat memberikan kartu namaku padanya. Berpesan agar ia menghubungiku, kalau saja Ammar sudah kembali lebih cepat.Kepalaku jadi pusing memikirkan tentang Ammar. Waktu itu dia bilang hanya pekerja di sana, tapi ternyata dialah bos di perusahaan penyedia jasa kursus dan rental mobil tersebut. Kenapa dia berbohong padaku? Dan apa tujuannya waktu itu, kenapa seorang bos harus berpura-pura menjadi instruktur di perusahaannya sendiri? Entahlah, aku mulai belingsatan karena ulah kekasih adikku itu. Walaupun sudah tahu jati diri Ammar sebenarnya, tapi aku masih saja belum yakin jika tidak bertemu langsung dengannya."Tuh, 'kan. Bener yang kubilang, Ammar itu tajir, Kak." Marwah terlihat sumringah. Seolah menunjukkan bahwa masih ada sisi baik
"Iya, Nak. Terima kasih, ya!" ungkapnya. Sorot matanya begitu teduh, namun sulit untuk diartikan.Kututup pintu pelan, mata ini masih menatap lekat ke arah mertuaku, ia masih tak bergeming, tetap pada posisinya.Aku melebarkan langkah menuju asal suara milik suamiku, memberikan senyum termanis untuk menyambut kepulangannya."Sudah pulang, Mas?" ucapku seraya meraih punggung tangannya untuk aku kecup. Ia sedang duduk bersandar di sofa ruang tamu."Sayang, tolong siapin air hangat, ya. Badan ini rasanya sangat pegal," pintanya sembari merentangkan sendi-sendinya, sehingga menimbulkan suara khas tulang yang direnggangkan.Sudah jadi aktivitas rutin bagi Mas Adnan untuk mandi air hangat jika tubuhnya sudah terlalu lelah bekerja."Iya, tapi kamu makan dulu, ya, Mas. Biar aku siapin makanannya," ucapku. Maksudku agar setelah mandi nanti ia langsung beristirahat.**"Mas, Ibu sekarang beda banget, ya," ucapku saat kami berbaring di atas kasur king size yang seusia dengan pernikahan kami. Saa
"Mas ..." panggilku lembut. Mendatanginya untuk mencoba memberikan pengertian bahwa ia seharusnya turut bahagia demi sang Ibu."Biarkan Ibu dengan pilihannya, Mas. Seharusnya kamu mendukung keinginan Ibu," rayuku, mencoba meyakinkannya. Aku tak rela jika mereka memperselisihkan hal ini lagi."Zahira, kamu tidak mengerti, Sayang." Mas Adnan malah semakin gusar, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.Mulutnya mengeluarkan udara yang masuk dengan sekali hembusan."Mas, aku sangat mengerti. Tapi, Ibu juga berhak bahagia," balasku tak paham dengan keinginan suamiku. Ia yang biasanya penurut dan bersikap lembut pada Ibu, saat ini berubah menyebalkan."Zahira, aku melakukan ini demi menjaga perasaanmu.""Tak perlu mempertimbangkan perasaanku, Mas. Pikirkan saja tentang Ibu," jawabku mulai tersulut emosi. Kenapa Mas Adnan yang sekarang begitu keras kepala. Kemana ia letakkan baktinya pada sang Ibu?"Sudahlah, Adnan. Kalian tak perlu memperdebatkan hal itu. Biarlah ini menjadi urusanku." Sepe
“Renita!” Sedikit bergetar lidahku mengeja nama itu. Bahkan tenggorokanku mendadak kering dan aku harus menelan ludah beberapa kali.Bagaimana bisa wanita yang sudah dijebloskan ke penjara dan seharusnya masih mendekam di sana, kini malah berkeliaran dan duduk santai memainkan gadgetnya?Terlebih ia sedang berada di acara penting ibu, apa yang ia lakukan? Mengenakan seragam serupa, untuk berpura-pura menjadi bagian dari keluarga ini, agar dengan mudahnya menghancurkan acara sakral ibu sebagai balas dendamnya? Tidak akan aku biarkan!Tergesa-gesa aku menghampirinya, hingga aku lupa kalau sekarang bobotku sedang ditopang oleh high heels dengan tinggi enam senti saja. Lantas berdiri angkuh di hadapannya.“Renita,” bentakku, sontak membuatnya terkejut dan menghentikan aktivitas di ponselnya. Seorang pegawai yang lewat turut menoleh karena kencangnya bunyi pita suaraku.Matanya membelalak sempurna, mungkin tidak menduga bahwa aku akan mengetahui keberadaannya. Ia lantas tersenyum ke arahku
Ibu dan sang calon suami sudah duduk di depan saksi dan wali nikahnya. Kini semua mata tertuju pada pasangan yang akan segera dihalalkan.Dari sini bisa kulihat dengan jelas wajah ayah Renita, lelaki yang dalam hitungan menit akan disahkan menjadi ayah mertuaku. Wajahnya tidak terlalu tampan, karena memang sudah dimakan usia. Namun, masih ada sisa kegagahan dari rahangnya yang masih kokoh.Dengan lancar, lelaki berumur yang kutahu namanya Haris itu mengucapkan kata demi kata kalimat Ijab Qabul tanda mengikat janji di hadapan saksi dan wali. Ia melepaskan jabatan tangannya setelah para saksi melontarkan kata ‘Sah’ secara serempak. Diikuti kalimat hamdalah dari seluruh keluarga dan tamu si pengantin baru. Kemudian, mulailah seorang pemuka agama memanjatkan doa dengan khidmat, semua yang hadir turut menadahkan tangan berharap doa-doa yang telah dilangitkan segera dikabul oleh Sang Maha Cinta.Dilanjutkan dengan acara khutbah pengantin sebagai bekal pada sepasang insan yang telah mengikat
Aku merebahkan diri di kasur empuk model single di kamar Tabitha yang kini ditempati Marwah. Setelah mandi dan mengganti baju aku masuk ke kamar ini. Lagi pula, mas Adnan dan Tabitha sudah tertidur pulas dengan raut wajah yang kelelahan. Mereka berdua tidur di kasur sembari berpelukan. Menggemaskan sekali!“Mbak, aku heran sama Renita tadi. Dia itu sudah menikah ‘kan?” tanya Marwah, ia duduk bersandar seraya menopang dagu di atas bantal.Deg, jantungku ibarat terhenti dan darahku seperti tak lagi mengalir pada pembuluhnya. Mengingat tentang Renita membuatku cemas memikirkan Marwah. Mereka sama-sama masih muda tapi sayang tak bisa menjaga diri. Bedanya Marwah sudah kehilangan kesuciannya, sedangkan Renita setelah kehilangan kesuciannya ia pun harus menanggung hasilnya seorang diri, hamil tanpa ada suami.“Dek, Renita itu belum menikah,” gumamku risau, mana mungkin kubilang bahwa Renita sudah pernah menikah, dengan Mas Adnan pula.Kedua netra Marwah membulat sempurna, seakan hendak kelu
“Aku tidak yakin kalau keluargamu benar-benar akan menerimaku, Marwah!” cicitnya terlihat putus asa.Marwah menatap ke arahku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku. Mamak memang terlanjur tidak suka dengan Ammar, apalagi ia memang sama sekali tidak mengetahui tentang yang sesungguhnya terjadi pada Marwah.“Maaf, ibu kami masih terbawa emosi, maklum dia sudah tua,” selaku sedikit tertawa. Meyakinkannya bahwa itu bukanlah hal yang pelik. Aku akan berusaha membujuk mamak nanti agar memberikan restunya pada mereka.“Nanti saya yang akan bicarakan padanya, yang penting kalian harus menikah secepatnya!” pintaku. Biarlah mamak akan menjadi urusanku, yang terpenting kini, kekasih Marwah sudah bersedia untuk bertanggung jawab. Itu sudah cukup melegakan hatiku.“Baiklah, Mbak. Secepatnya akan saya urus segala keperluan untuk pernikahan kami,” jelasnya penuh keyakinan. Perlahan, sesak yang selama ini bersarang di hati mulai melebur. Ribuan kerikil yang seolah menimpa pundak ini berangsur m