All Chapters of Pembalasan Saudara Kembar : Chapter 21 - Chapter 30
89 Chapters
Dua Puluh Satu
Angel menuruni anak tangga dengan santai dan tenang. Membusungkan dada dan mengangkat dagunya. Papa dan Rosa sudah duduk di kursi meja makan. Mereka terlihat biasa saja tak ada keakraban yang mereka tunjukkan. Tak ada perbincangan antara mereka. Sibuk dengan gawai masing-masing."Selamat pagi, Tiara," sapa Ros ramah. Ia tersenyum manis dan menarik kursi di sampingnya. Angel menatap kursi itu, ia enggan duduk bersebelahan dengan Ros. 'Baik sih, tapi,' ucapnya dalam hati. Seseorang yang terlihat baik belum tentu di belakang."Kenapa? Apa kamu pernah melakukannya?" Angel bertanya dengan santai. Ia mengunyah makanannya."Melakukan apa?" Ros mengernyit heran dengan ucapan kakak madunya. "Apa,, ya? Memakan daging manusia atau membunuh." Angel tertawa. Wajah Ros berubah merah padam. "Ros, maaf aku hanya becanda." Angel menghampirinya dan memeluk erat. "Kau, maduku yang terbaik." Ucapan Angel menekan kata terbaik.Angel dan Ros bercengkraman di ruang keluarga. Mereka tak melakukan kegiatan
Read more
Dua Puluh Dua
"Hallo, Ada Apa?" Wajah Angel terkejut dengan ucapan si penelepon yang memberikan kabar buruk."Kamu serius?" "Betul Non. Kita lihat semua kejadiannya." "Di mana mereka?" "Akan saya share lokasinya.""Oke. Kalian tetap awasi. Kalau ada yang mencurigakan ikuti mereka." "Siap, Non!" Angel menutup panggilannya. Wajahnya memerah dan rahang mengeras. Tangan mengepal kuat. Apakah ia akan kalah. "Kurang ajar, aku kalah cepat dari mereka. Dasar penjahat!" geramnya dalam hati.Angel mendapatkan berita dari salah satu anak buah yang mengikuti suami Tiara. Antoni mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ia tak sadarkan diri. Mobil masuk ke dalam jurang. Angel segera menganti pakaian. Meraih tas selempang di atas meja rias. Berdiri sejenak dan menoleh ke arah lemari. "Apa ini ada hubungan dengan kejadian tempo hari?" Angel berdiri tepat di depan pintu hendak mengetuk pintu kamar Ros. Tangannya tertahan di udara. Menurunkan perlahan dan mengurungkan untuk mengetuk pintu Ros. Ia putuskan p
Read more
Dua Puluh Tiga
Ardian menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang akan terjadi kemudian hari. Kondisi Antoni sangat kritis. Antara hidup dan mati.Semua takdir kematian hanya Tuhan yang tahu. Ardian hanya bisa membantu penyembuhan. "Antar aku melihat jenazah mama dan Yohana.""Apa kamu yakin?""Hei, aku ini Angel. Pasti kuat." "Baiklah. Nona Angel wanita perkasa." Angel membulatkan mata tak suka dengan ucapan lelaki itu. Angel mengikuti langkah dokter berkemaja biru dengan tangan menentang tas berisi alat medis ke bagian ruang mayat di lantai dasar paling pojok. Mungkin sebagian orang menatap pintu tersebut terasa horor akan tetapi tidak untuk Angel. Ia sangat berantusias masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruang mayat terasa lebih dingin dibandingkan ruang lain. Brankar berjejer rapi di dalam. Semua mayat dalam keadaan tertutup kain putih. Dokter Ardian membuka selimut yang sudah berlumuran darah. "Mama ...." Tubuh mertua Tiara terbaring kaku penuh luka dan darah yang masih mengalir dan tak
Read more
Dua Puluh Empat
"Tiara, Papa tak percaya dengan pihak rumah sakit ini. Kita harus membawa mereka pulang. Biar Papa yang mengurus semuanya," ungkapnya. Wajah memerah dan rahang mengeras.Ros berdiri tak jauh darinya. Wajah basah akibat air mata yang menetas dikelopak mata dengan lensa coklat. Entah air mata asli atau hanya sandiwara saja. Kesedihan terlihat jelas di wajah cantik istri kedua Antoni. Angel melirik wanita itu memastikan kejujuran wanita itu. Papa mertua Tiara masih bersikeras untuk membawa mayat mereka. Angel menatap curiga keinginan lelaki paruh baya itu. "Pa, ini rumah sakit. Jangan berteriak. Banyak pasien lain yang terganggu," ucap Angel lembut menenangkan hati laki-laki berkacamata putih dengan bingkai emas. "Tiara, Papa gak mau jasad mama dan Yohana mereka yang tangani. Biar Papa yang melakukan tugas itu," mohonnya dengan nada memohon berharap Angel mengabulkan pintanya. Ia berpikir kalau ia berhak atas jasad itu mengapa mereka tak mengizinkannya pada
Read more
Dua Puluh Lima
Angel tak akan membiarkan papa mertua membedah dan menjual organ mereka. Walaupun, Angel belum mendapatkan bukti kuat.Angel mendapatkan ide, untuk segera memandikan jenazah dan mengkafani mereka agar papa mertua tak nekad membawa jasad mereka."Bagus lakukan dengan cepat dan halangi terus lelaki tua itu. Jangan sampai ia masuk ke mari!" perintah Angel. Ia geram menghadapi lelaki tua itu.Angel mendapatkan video percakapan papa dan Ros. Anak buah Angel menangkap basah mereka. Video berdurasi satu menit. Membuat Angel terkejut dengan mereka.Percakapan mereka membuat Angel sadar."Bagaimana, Pa? Mereka tak mengizinkan kita untuk membawa mereka," ucap Ros pada video tersebut."Padahal kita keluarganya. Keterlaluan sekali mereka!" Wajah papa geram."Lalu apa rencana kita selanjutnya."Papa mertua berpikir, ia memutar matanya."Kita tuntut rumah sakit ini. Biar mereka tak berani melawan kita.""Tuntut? Pa, mengugat mereka butuh waktu. Jasad m
Read more
Dua Puluh Enam
Seketika itu juga, Angel mengingatnya. "William, iya. Aku pernah melihat mata itu di taman. Dia William, mengapa ia kabur bertemu aku. Tunggu, Will tak suka naik mobil. Lelaki itu tidak bisa mengendarainya. Lalu dia siapa?" ucapnya dalam hati. Angel bingung tak mengerti.Angel memerintahkan supir pribadinya untuk kembali ke rumah. Di halaman rumah mertua Tiara. Will baru saja datang dengan sepeda motornya. Wajahnya panik dan matanya berair."Tiara! Apa benar mama telah tiada? Tiara katakan bahwa ini bohong." Will terus bertanya tanpa jeda. Suaranya bergetar menahan kesedihan. Angel menatap wajah lelaki itu sembab.Will membuka kacamatanya ia mengusap dengan sapu tangan miliknya. Angel terperangah, bentuk mata Will dengan lelaki yang berada di taman dan mengantarnya pulang berbeda.Mata Will agak cekung karena ia selalu mengunakan kacamata sedangkan lelaki itu tatapannya tajam."Ternyata, dia bukan Will. Siapa lelaki itu? Wajahnya mirip Will namun, sorot
Read more
Dua Puluh Tujuh
Angel mengutus anak buahnya untuk mengecek Bean di gedung Kerinci. Gedung lama yang tak terpakai akibat kebakaran. Angel mengutus lima orang anak buahnya. Hanya ingin mengecek keberadaan lelaki itu. Mereka akan mengawasi gerak-gerik Bean."Awasi dia dan rekam aksinya. Kita butuh bukti untuk menghukumnya," perintah Angel.Lima orang anak buah Angel telah siap. Mereka turun dari mobil dan bersembunyi di balik tembok."Kamu sebelah kiri bersama dia, aku kanan sama kamu dan kamu tunggu di sini. Pasang alat penyadap kalian," perintah salah satu dari mereka. Mereka memasang alat yang mereka bawa dan menempelkan di telinga untuk komunikasi tak lupa pelindung anti peluru.Gedung gelap gulita tak ada penerangan yang menerangi. Dengan langkah mengendap-endap mencari keberadaan Bean, pria misterius. Lelaki yang diduga pembunuh Tiara, kembaran Angel. "Pasang kacamata ultraviolet kalian!" ucap salah seorang di alat komunikasi. Mereka memakai kacamata agar dapat melihat dalam kegelapan. Bayangan
Read more
Dua Puluh Delapan
Angel mendapat kabar dari rumah sakit. Mimi diperbolehkan pulang. Di rumah yang besar ini, Angel masih bertahan untuk mendapatkan bukti. Begitu juga bukti kebiadaban Ros, ia masih satu atap dengannya.Angel tak berubah sedikitpun, ia tetap berkomunikasi dengan Ros. Walaupun, hatinya benci dan kecewa."Hai, Tiara. Sedang apa kamu di dapur?" Ros menyapa Angel. Ia hendak membuat kopi."Hai, Ros. Aku sedang membuat cappuccino. Kamu mau?" tawar Angel. Ia mengaduk pelan."Sejak kapan kamu suka cappuccino, Tiara."Ros memicingkan matanya. Ia tahu kalau Tiara tak suka kopi."Sejak hari ini." Angel tersenyum kepadanya lalu meminumnya perlahan. Pikirannya kembali jernih."Oo, aku kira ....""Aku hanya ingin mencicipinya. Ternyata enak dan harum." Angel membaca raut wajah Ros."Kalau kamu mau, akan aku buatkan.""Tidak terima kasih. Aku masuk dulu." Ros menaiki tangga. Angel melihat noda darah di punggung wanita itu."Sepertinya, ia gagal mencari mangsa. Rasakan kalian," ucapnya dalam hati. Ange
Read more
Dua Puluh Sembilan
"Papa, ingin bertemu dengan siapa? Mengapa bawa bunga?" tanya Angel memicingkan mata."Papa ... bukan urusanmu! Sudahlah, Papa telat." Papa mertua melewati Angel menuju lift. "Papa tunggu, Mimi Hilang!" Angel berharap Ronald membantu untuk menemukan teman dekatnya. "Hilang? Bagus kalau ia hilang. Papa gak perlu repot mengaji dan membiayai pengobatannya." "Astaga Papa! Mengapa berbicara begitu?""Uang papa habis membayar semua biaya rumah sakit pembantu itu dan juga biaya lainnya." "Dia bekerja dengan kita tentu saja kita yang bayar. Lebih baik aku lapor polisi." "Untuk apa kamu lapor polisi hanya buang waktu saja." Mengibaskan tangan ke udara. Ronald meninggalkan Angel tanpa memedulikan kekhawatirannya. Gadis itu mendengkus kesal menatap lelaki tua berkemeja putih."Mau ke mana dia bawa bunga segala. Dasar lelaki tua!" Tangan lentik Angel menekan nomor ponsel milik salah satu polisi. Melaporkan hilangnya Mimi di rumah sakit. Beberapa menit kemudian, petugas keamanan negara dat
Read more
Tiga Puluh
Flash Back Ronald dan Silvia"Papa, aku butuh pelayan lagi untuk membantuku. Mereka telah pergi lagi." Rengek Rebeca kepada suaminya. "Oh, jadi kamu membuat mereka pergi lagi?" Ronald memutar bola mata malas. Entah sudah berapa puluh kali wanita itu melakukan hal tersebut. "Kenapa aku yang disalahkan?" "Kamu yang selalu memaki mereka. Sudah pasti mereka tak betah di rumah. Seharusnya kamu sadar diri!" "Mereka itu pembantu. Sudah pasti harus mengikuti keinginanku sebagai majikan. Kenapa kamu membela mereka?" Memukul dada bidang suaminya. "Bukan membela kenyataannya seperti itu. Sudahlah! Aku lelah dan capai. Mandi dan ganti pakaianmu. Layanin aku dengan benar." Rebecca berdecis kesal. Membersihkan tubuhnya, menutup tubuhnya dengan lingerie merah memoles wajahnya dengan makeup tak lupa parfum kesukaan sang suami. Ronald menatap tubuh istrinya yang semakin membesar. Bagian lemak berada di mana-mana. Hasratnya menghilang begitu saja. "Kemarilah! Mainkan peranmu." Ronald terbaring
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status