Semua Bab Terjebak Pernikahan Kedua: Bab 11 - Bab 20
27 Bab
Mengerjai Mertua
"Hati hati, Ma." Aku mendudukkan mama dipinggir ranjangnya. Mama meringis kesakitan. Jelas saja, jatuhnya tadi keras sekali. Pasti sakit tuh pantat.Sebenarnya dalam hati aku ingin menertawakan. Senjata makan tuan. Aku sudah menduga, mamalah yang sengaja menumpahkan deterjen cair itu kelantai, supaya aku yang terpeleset. Tapi mungkin karena dia  lupa, malah terkena sendiri."Mama tunggu sebentar, ya," lalu ke kamar. Mengambil balsam di laci lemariku, dan kembali lagi ke kamar mama. Mama meringis kesakitan. Diam-diam aku mengulum senyum tipis. Maaf, bukan durhaka. Hanya saja menertawakan nasib mama yang salah sasaran. Aku berjongkok, memijit pergelangan kaki mama yang sebelah kanan."Aw! Pelan-pelan Via. Kamu sengaja ya, biar mama kesakitan kan?" omelnya kesal."Gak, Ma. Via cuma pelan kok. Ini udah hati-hati banget loh. Keseleonya parah kali, Ma. Makanya mama kesakitan." "Masak sih, masak gitu aja sampek parah?" ujarnya tak percaya.
Baca selengkapnya
Misteri Pernikahan Pertama
"Gak bisa, Ma. Mereka sudah nunggu lama""Kamu berani mbantah mama ya, baru saja dimintai tolong belagu." Bahkan dalam keadaan sakit juga masih egois. Aku menggeleng kepala. Heran.Mama mulai mengangis. Ya tuhan, inikah sisi lain dari mama yang galak itu."Ibunya kenapa mbak?" Seorang ibu mencolek pundaknya."Keseleo bu.""Oh." Ibu itu manggut-manggut. Meski tatapannya masih heran. Mungkin bingung, cuma keseleo tapi bisa sehisteris itu. Anaknya yang masih berusia sekitar 5 tahun itu bahkan melihat mama tak berkedip.Akhirnya, setelah bosan mendengar mama yang menangis meraung-raung, tiba juga giliran kami periksa. Sebenarnya nomor antrian itu sengaja aku berbohong. Hanya untuk mengerjai mama saja. Aku memapah mama untuk masuk keruang dokter."Dokter, tolong saya. Huhu..."Aku menepuk dahi."Iya bu, tenang dulu. Apa keluhan sakit yang ibu rasakan?""Kaki saya keseleo dok, tolonglah, obati, tapi jangan sampai dipoto
Baca selengkapnya
Mencari Tahu
Pigura pernikahan tadi menggangguku. Aku semakin penasaran dengan dengan yang terjadi pada keluarga ini. Rasanya penuh misteri.Diam-diam, saat mama sudah tidur, aku keluar. Awalnya aku tidak tahu, kemana harus mencari informasi. Tapi, sepertinya nasib baik berpihak padaku. Aku bertemu dengan ibu-ibu yang waktu itu. Samar-samar kuingat namanya, selain bu Dita tentu saja. Ada diantaranya bu Sita dan bu Rita."Eh, Vi! Sini, metis bareng-bareng." bu Dita yang melihat keberadaanku melambaikan tangan, memanggil. Kuulas senyum dan menghampiri mereka, ikut bergabung, meski rasanya masih canggung."Ibu peri mana? Kok gak kelihatan?" tukas bu Dita. Aku mengerutkan dahi."Itu loh, mertuamu. Kemana dia?" jelas wanita yang kuingat namanya Rita."Ah, itu ... Mama sakit, Bu," kuulas senyum."Sakit apa?" "Keseleo. Tadi pagi jatuh."Ketiga ibu-ibu itu saling lirik."Kasian sekali." Hanya itu reaksi mereka."Ayo, dimakan lutisnya. Keburu habis
Baca selengkapnya
(Tidak)Mencuri
"Helen? Tidak. Dewi itu ibunya Helen."Oh, pantas saja. Mama begitu menyayangi mbak Helen. Kalau begitu, mas Rendi yang yatim piatu. Tapi, kenapa waktu itu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Malah, mas Rendi bilang, keluarganya sedang sibuk sehingga tidak bisa datang. Atau, memang keluarga yang dia maksud itu ya istri dan mertuanya. Aku kembali merutuki kebodohanku yang kurang teliti. Rasanya menyakitkan sekali. Tertipu untuk kesekian kalinya."Jangan-jangan kamu mengira kalau Dewi itu ibunya Rendi, ya, Vi?"Aku mengangguk."Rendi benar-benar ... Tega sekali dia menipu gadis sepolos kamu, Vi. Mentang-mentang yang gadis belum pengalaman, enak saja dia main tipu," gerutu bu Rita emosi. Mengoret-oret lemper sebagai pelampiasan. Mulutnya yang kepedasan semakin tersengal. "Pokoknya gak usah nurutin Helen sama mamanya. Mereka bukan siapa-siapamu. Jangan mau kalau disuruh ngepel, nyapu, apalagi nyuciin baju mereka. Jangan mau. Gak sudi, gitu! Emangnya
Baca selengkapnya
Mereka Yang Menerimaku
Aku masih penasaran, dimana gerangan ponselku? Mana mungkin bisa hilang begitu saja. Sementara, disini juga aku jarang keluar. Kecurigaanku terarah pada mas Rendi. Apa mungkin dia yang mengambilnya? Arh! Rasanya ingin aku maki pria itu. Setelah menikahiku, dan membawa ke tempat jauh ini, dia tega meninggalkan aku bersama madu dan ibunya."Heh! Via. Bangun!"Suara mbak Helen. Ku lirik jam dinding. Pantas saja, sudah setengah tujuh. Biasanya, jam segini aku sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Tapi, karena aku lebih memilih mencari ponselku, aku sama sekali belum keluar dari kamar. Seandainya, aku ingat nomor Fadil saja, mungkin aku bisa menemukan cara untuk kembali. Sayangnya, tak ada satupun nomor yang kuingat. Satu-satunya nomor yang terpatri jelas di kepalaku, hanya nomorku sendiri. Tapi, percuma saja. "Via! Denger gak sih kamu! Atau jangan-jangan masih tidur kamu, ya!" bentakan kembali terdengar dari luar. Aku menghentikan pencarian. "Iya, mbak."Begitu pintu ku buka, langsung
Baca selengkapnya
Ketahuan
Semenjak ditawari ibu-ibu waktu itu, kini aku punya pekerjaan selingan. Tentunya hanya saat mendapat pesanan dari pelanggan kami beraksi. Aku juga banyak belajar membuat kue. Sesekali bereksperimen membuat bentuk-bentuk yang unik. Dan ternyata pelanggan menyukainya. Menyebar dari mulut ke mulut, hingga kini kami sering mendapat pesanan. Selain menyediakan untuk hajatan dan acara tertentu, kami juga menyediakan kue ulang tahun, tentunya sesuai dengan bentuk yang diinginkan pelanggan.Terhitung sudah berjalan hampir dua bulan berlalu. Mama dan mbak Helen sudah tahu dengan aktifitasku itu. Syukurlah, selama ini mereka tidak ambil pusing. Selama uang belanja tidak keluar dari kantong mereka, mereka diam. Padahal diam-diam, aku tetap mengambil uang celengan mama yang bagian bawahnya sobek lebar itu. Uangku aku tabung dan mengambil sekedar untuk makanku sendiri. Aku juga tidak ikut makan hasil dari mengambil uang mama tersebut. Salah sendiri, setiap hari mereka mintanya makan enak tapi tidak
Baca selengkapnya
Sebuah Penjelasan
"M-mas ...." Seketika lidahku kelu untuk mengucapkan namanya. Bahkan barang belanjaanku terjatuh sejak mengetahui siapa yang memanggilku tadi."Iya, ini aku, Via. Rendi, suamimu."Pria itu meletakkan ransek besarnya ke tanah, lalu merentangkan tangannya, dengan senyum lebar di wajahnya yang terlihat lelah. Namun, aku tetap bergeming di tempat. Mataku memanas. Ada perasaan rindu, namun juga amarah. Kemana saja pria itu selama ini. Dan, setelah pulang, bahkan dia seakan tidak ada perasaan bersalah."Kenapa diam saja, hmm? Apa kamu tidak merindukan suamimu ini?" tanyanya heran. Kubuang wajah demi menutupi perasaan yang teremas. Lalu membungkuk dan mengambil barang-barang yang terjatuh tadi. Mengabaikan pria itu dan bergegas ke dalam."Vi! Via! Tunggu! Apa yang terjadi?"Derap langkah terburu mengejarku di belakang. Aku semakin mempercepat langkahku. Tidak memperdulikan ada mama yang masih terus meyakinkan mbak Helen."Via! Tunggu. Kamu marah sama mas? Via!"Kubanting pintu dengan keras.
Baca selengkapnya
Kemana Ponselku?
"Helen itu ...."Brak!Ucapan mas Rendi tertelan kembali. Mbak Helen tiba-tiba nongol di depan pintu, membanting pintu. Sorot matanya menyiratkan ketidak sukaan. Ku lirik mas Rendi sepertinya terkejut. Mungkin dia takut mbak Helen mendengar perkataannya yang menyebut nama wanita tersebut."He-Helen ...." ucapnya gugup.Ajaib, mbak Helen malah melengos. Tatapannya beralih ke arahku."Heh! Makanannya sudah kamu siapin belum? Aku lama amat," ketusnya."Makanan? Maksudnya, kamu yang nyuruh Via buat masak sendiri?" sambar mas Rendi. Nada suaranya menyiratkan ketidak sukaan. Mbak Helen tetap melengos."Kamu disuruh mereka ngapain aja, Vi? Apa mereka menyuruhmu mengerjakan semua pekerjaan rumah?" tanya mas Rendi menatapku. Aku melirik sekilas ke arah mbak Helen. Tidak langsung menjawab."Jawab, Vi? Apa selama aku pergi, mereka memperlakukanmu tidak baik?" ulangnya lagi."Halah! Gak usah sok ikut campur kamu, Mas," Mbak Helen menyahut ketus."Jadi benar, kalian memperbudak Via?" kali ini into
Baca selengkapnya
Jangan Percaya Siapapun
"Ah, pantas saja, aku hubungi tidak bisa. Ponselmu hilang?"Raut wajahku berubah. Bingung."Loh, bukannya, kamu yang membawanya, Mas?" "Enggak. Pagi itu aku buru-buru berangkat karena info dadakan dari boss. Makanya gak sempat pamitan sama kamu. Tapi sebelumnya aku berpesan sama Helen supaya bilang sama kamu. Pas di jalan, aku nelpon nomormu berkali-kali. Tapi gak aktif. Aku kira masih di charge, atau mati. Ah, pantas saja setelah itu, mas telpon juga tetep gak bisa. Mas pikir, kamu marah sama mas, terus nomor mas kamu blokir. Jadi, ponsel kamu hilang?"Aku mengangguk. Bingung. Tapi bagaimana bisa hilang? Hanya dalam waktu satu malam saja."Apa mungkin, mbak Helen yang mengambilnya?" tebakku. Mas Rendi menggeleng."Sepertinya tidak. Meski Helen omongannya pedas, tapi dia bukan orang yang suka mengambil barang orang lain.""K-kalau begitu, ponselku ...." ucapanku tercekat. Rasanya posisi kini membuatku berada dalam kebimbangan.Mas Rendi kembali memel
Baca selengkapnya
Kekurangan
Pagi sekali, aku sudah bersiap. Segera ke dapur, memasak, dan tugas rumah lainnya. Menyapu halaman, mencuci baju, juga menjemurnya sekalian. Setelah itu, segera sarapan dan mandi."Kau mau kemana, Vi?"Mas Rendi baru bangun tidur. Wajah bengap dan mata sipit khas bangun tidur. Menatapku yang tengah berdandan dengan tatapan sayup-sayup."Aku mau ke rumah bu Rita, Mas.""Hmm. Ngapain? Kau sudah kenal ibu-ibu tetangga sini juga?"Aku mengangguk tipis. Tapi tidak menjawab pertanyaan pertamanya. "Aku sebatang kara disini, Mas. Kalau tidak bergaul dengan tetangga, nanti malah tidak ada kenalan dong."Pria itu mengangguk. "Tidak apa-apa. Yang penting jaga diri saja. Jangan terlalu menaruh kepercayaan sembarangan. Apa yang kamu dengar, belum tentu benar."Aku mengangguk lagi. "Iya, Mas. Via tahu kok." Aku sudah selesai berdandan. Sementara mas Rendi masih goleran diatas ranjang. "Via sudah siapkan makanan di meja, Mas. Tinggal sarapan.""Hmm. Makasih, Vi."Aku mengela napas. Timbul perasaan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status