All Chapters of Maaf Mas, Aku Tega! : Chapter 71 - Chapter 80
100 Chapters
Bab 71
Pov IntanAku terkejut saat melihat Mas Romi berada di sampingku. Sejak kapan lelaki berhidung mancung ini ada di sini? "Maaf atas sikapku tempo hari karena tak memberi kabar atau membalas pesanmu. Tepat setelah aku dari rumah sakit, perusahaan bangkrut. Jadi aku sibuk mengurus semuanya dan akhirnya mengurus restoran ini. Hingga aku belum sempat menjenguk Bu Halimah lagi."Mas Romi menjelaskan alasan dia tak menanggapi pesan yang ku kirim satu bulan yang lalu. Benarkah yang disampaikan Mas Romi? Tapi kenapa Mbak Anita tak pernah bercerita jika perusahaan Mas Romi bangkrut? Bukankah suami Mbak Anita sepupu Mas Romi? Ah, kenapa aku menjadi ragu seperti ini? "Tidak apa-apa Mas. Itu hak Mas Romi. Harusnya saya yang berterima kasih. Mas Romi berhak tak memberi kabar, toh saya bukan siapa-siapa Mas."Astaga, kenapa justru aku mengatakan jika bukan siapa-siapa Mas Romi. Aduh, nanti dia GR lagi. Pasti dia mengira jika aku menyukainya. Bodoh! Kenapa aku justru keceplosan! Ya Allah, rasanya
Read more
Bab 72
Pov RomiKedatangan Indah membuat suasana yang mulanya hangat menjadi sedikit canggung. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu. "Isue perusahaan Mas Romi bangkrut apa benar?" tanya Indah. Ku anggukan kepala. Indah terlihat terkejut tapi tidak dengan Intan. Ya, karena Intan sudah tahu lebih dahulu. "Maaf Mas. Bukan maksud saya mengingatkan. Hanya saja saya penasaran kenapa perusahaan sebesar bisa bangkrut dalam hitungan hari." Indah tampak tak enak hati tapi rasa penasarannya cukup tinggi hingga ia bertanya begitu. Berbeda dengan Intan yang lebih diam, tak banyak bertanya. "Biasa masalah persaingan bisnis. Bukankah bangkrut dalam suatu bisnis hal yang biasa?" Aku hanya menjawab sekenanya. Tak mungkin aku menceritakan detail pada orang asing. Meski mereka teman Anita. "Semangat ya Mas, pasti ada jalan lain kok untuk sukses." Indah berusaha menghiburku. Ku lihat Intan yang hanya diam membisu. Ya, sejak kedatangan Indah, wanita yang memakai penutup wajah itu lebih asyik
Read more
Bab 73
"Kenapa dengan Yusuf, Pa?" Ku letakkan sendok di atas piring. Kini fokus menyimak setiap kata yang akan keluar dari mulut lelaki yang membesarkanmu dengan limpahan kasih sayang itu. Entah kenapa aku masih saja penasaran dengan kehidupan Anita dengan Yusuf. Meski sering luka yang ku terima setelah mendengarnya. "Besok malam di rumah tante Ningrum akan diadakan tujuh bulanan Anita. Hanya acara pengajian yang dihadiri saudara dan kerabat."Sesak kembali menyelimuti dada. Memang benar, setiap mendengar berita tentang keluarga Yusuf, dadaku terasa sesak. Sakit hati itu lebih tepatnya. Meski aku sudah mengucapkan kata ikhlas tapi nyatanya aku belum juga bisa melakukannya. Kata ikhlas memang mudah tapi tak mudah mempraktekannya. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Hening, tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Papa dan mama seakan tahu jika diriku tengah merasakan pahitnya cinta. ***Mobil ku parkiran di depan rumah Yusuf karena di halaman rumahnya sudah terpasang ten
Read more
Bab 74
Pov Romi"Kami hanya teman," ucap kami serempak hingga membuat mama tersenyum puas. Entah apa yang kini ada di pikiran mama. "Dari teman jadi imam tidak apa-apa kok nak Intan." Mama menggoda Intan. Intan kembali melirikku. Aku yakin di balik cadarnya dia pasti cemberut karena mama bicara seenaknya sendiri. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Mama seperti bahagia dekat dengan Intan. Memang aneh, karena mereka baru saja mengenal. Dan mama langsung suka dengan wanita berhijab menjutai itu. Entah magnet apa yang menempel di tubuh Intan hingga mama begitu lengket dengannya. "Ayo ma, acara sudah mau mulai lho." Ku gandeng tangan mama berusaha memisahkan mama dari Intan. Aku yakin jika Intan risih dengan sikap mama. "Ayo Intan, kita duduk di sana!" Mama menggandeng erat tangan Intan. Aku semakin tak enak hati dengan tingkah mama. Aduh! Mama membuat masalah baru dalam hidupku. "Kita duduk di situ saja, Ma!" Ku tarik pelan tangannya. "Kalian kompak sekali ya." Sontak ku lepaskan pegan
Read more
Bab 75
Febi kembali mengutak-atik ponsel mahalnya. Berulang kali mencoba menghubungi nomor Viona. Namun panggilan Febi tak juga di angkat. Wanita dengan perut membukit itu berulang kali menarik nafas mencoba menahan rasa sakit yang kadang datang. Ini adalah kehamilan pertama bagi Febi. Dia tak sadar jika rasa sakit yang mendera adalah awal proses kelahiran. Wanita yang memakai daster lengan pendek itu mengira sakit yang ia rasakan karena efek kebanyakan makan sambal tadi malam. Rasa nyeri dan perut keram yang kadang muncul dan hilang adalah salah satu tanda sang bayi ingin segera mengirup udara luar. Ini adalah kehamilan pertama untuk Febi. Tak heran jika ia tak mengetahui rasa nyeri dan kram adalah tanda semakin dekat waktu kelahiran. Sebenarnya kehamilan pertama bukan alasan untuk Febi tak mengetahui tanda-tanda kelahiran. Di jaman yang semakin maju membuat seseorang dengan mudah mendapat informasi perihal apapun termasuk mengenai kehamilan.Rasa benci pada bayi yang ia kandung menjad
Read more
Bab 76
"Febi ...," panggilan seorang perempuan menghentikan langkah kedua suster. Dari suaranya aku tahu betul itu milik siapa. "Ri-Rista." Mataku membulat sempurna saat melihat temanku berdiri tepat di samping brankar. Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengannya di saat seperti ini? Apa yang harus ku katakan dengan kondisiku seperti ini. Mengelak pun tak mungkin lagi. Pasrah, hanya itu yang bisa ku lakukan. "Jadi gosip di luar sana benar ya Feb? Gue gak nyangka lo semurahan itu!"Nyeri di ulu hati kala sahabat sendiri mengatakan diriku wanita murahan hanya karena aku hamil di luar nikah. "Katanya mau balikan sama Romi, tapi kok gak jadi. Ya, pasti dia gak mau nikahin bekas orang,"Apa ini yang namanya sahabat? Tutur katanya sungguh menyayat hati. Rasanya jauh lebih sakit dari kram perut ini. "Sus, saya tidak kuat." Segera dua suster itu mendorong brankar meninggalkan Rista yang masih mematung menatapku. Dua orang suster mendorong brankar melewati koridor dan berbagai ruangan. S
Read more
Bab 77
Pov RomiAku duduk sambil menghitung laba restoran hari kemarin. Mungkin setelah dzuhur aku akan pergi ke bank untuk menyetorkan uang ini. Karena tak ada kerjaan sering kali uang ku setor sendiri ke bank. Bibir merekah kala melihat tumpukan lembar merah dan biru di atas meja. Rasanya aku masih belum percaya jika kini tengah mengelola restoran. Angan masih berkelana saat aku masih duduk di meja direktur utama. Memimpin perusahaan ternama. Bolak-balik antar negara itu hal biasa. Ya, itu dulu saat perusahaan masih milik kami.Sempat terpuruk dan putus asa. Bagaimana tidak,ini bisnis yang sangat asing bagiku. Namun papa dan mama selalu mendukung dan mendoakanku hingga aku di titik ini.Ada hikmah dibalik setiap musibah, seperti saat ini.Mungkin Allah ingin aku belajar bisnis lebih banyak lagi. Kini aku bergelut dalam dunia kuliner. Dunia bisnis yang tak pernah terbayangkan di anganku. Bisnis kuliner masakan khas solo bukan hanya untuk meraih untung tapi juga melestarikan kuliner nusant
Read more
Bab 78
Rasa penasaran membuatku membuka aplikasi berwarna biru itu. Mataku membulat sempurna kala melihat sebuah video yang muncul di beranda. "Astagfirullah," ucapku lirih. "Kenapa, Rom?" Mama penasaran melihat ekspresi wajahku yang berubah. Segera ku berikan ponselku padanya. "Astagfirullahal'azim ...." Mama mengelus dada saat melihat sebuah video Febi yang menolak dan memaki seorang bayi. Aku yakin itu adalah anaknya. Anak yang di sembunyikan oleh siapapun. Tapi kenapa ada video seperti ini? "Ini adalah konsekuensi dari tindakan Febi. Semua orang akan menuai buah yang mereka tanam. Entah itu baik atau buruk. Seperti yang tengah Febi rasakan. Hanya saja mama tak habis pikir, kenapa Febi tega kepada darah dagingnya." Mama menyerahkan kembali ponselku. "Astagfirullah ...," ucap mama sambil mengelus dadanya. Sebagai seorang ibu dia pasti sedih dengan tindakan Febi. Memaki bayi yang baru saja ia lahirkan. Apa dia tak merasakan susahnya melahirkan. Sebuah proses yang mempertaruhkan nyawa
Read more
Bab79
Intan dusuk di tepi ranjang. Senyum mengembang hingga tergambar jelas lesung pipi di wajahnya. Intan memang memiliki dua lesung pipi, kanan dan kiri. Akan terlihat jelas juka wanita yang memakai setelan baju tidur lengan panjang berwarna biru itu tersenyum. Ucapan Romi dan Lisa kembali terngiang di telinganya. Membuatnya berbinar bahagia. Tak ada rasa yang lebih bahagia dibanding cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Itu yang kini tengah di rasakan Intan. Cinta yang berusaha ia pendam seorang diri. Namun hari ini lelaki yang berhasil mencuri hatinya berusaha membuka hati. Ya, karena hati Romi masih terpatri satu nama, yaitu Anita. Melupakan seseorang yang kita cintai tidaklah mudah. Namun tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Itu diyakini oleh wanita yang biasa memakai hijab menjuntai dengan cadar sebagai penutup wajah. Intan tak berpikir panjang, menghapus nama Anita tak semudah yang ia bayangkan. Rasa bahagia menutup pikiran, menjadikan ia lalai jika cinta
Read more
Bab 80
Intan diam, ucapan ibu memang benar. Seseorang yang saling mencintai saja bisa kalah saat badai menerjang. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya yang tak memiliki rasa cinta dari seorang imam. Bukankah suami adalah pemimpin rumah tangga? 'Namun bukankah cinta bisa datang dengan berjalannya waktu?' batin Intan memberontak. "Mas Romi akan belajar mencintai Intan, bu. Bukankah orang bilang cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta tumbuh karena saling bertemu," ucap Intan pelan. "Ibu tahu nak Romi anak yang sholeh dan berhati baik. Dia begitu menghormati orang tua. Tapi ibu takut, kamu akan terluka karena hidup dengan lelaki yang tidak mencintaimu."Sebagai orang tua alasan Halimah memang benar. Selama ini dia hidup bahagia dengan ayah Intan karena saling mencintai satu sama lain. Halimah takut rumah tangga yang dibangun tanpa cinta akan karam di terjang badai. "Mas Romi lelaki baik bu, Intan yakin dia akan menjadi imam yang bertanggung jawab." Intan menggenggam kedua tangan Halimah. Menco
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status