Semua Bab Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Bab 11 - Bab 20
145 Bab
Bab 11
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Baca selengkapnya
Bab 12
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Baca selengkapnya
Bab 13
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
Baca selengkapnya
Bab 14
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula
Baca selengkapnya
Bab 15
Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or
Baca selengkapnya
Bab 16
"Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum
Baca selengkapnya
Bab 17
Langit pagi ini begitu sangat cerah. Aku sudah siap untuk pergi ke rumah Mas Sandi dengan membawa Cahaya. Drama terjadi pagi ini saat sedang membujuk Cahaya. Dia tidak mau aku bawa dan ingin ikut dengan ibu yang hendak pergi ke pasar bersama Shanum. "Fir, bisa kita bertemu sekarang? Aku butuh bantuanmu, nih," ujarku menghubungi temanku. "Bisa, Num. Mau ketemu di mana? Kebetulan pagi ini aku sedang joging di taman kota. Kalau aku tunggu kamu di sini, gimana?" "Emmh ... oke, deh. Tunggu, ya? Aku mungkin akan sedikit terlambat, tapi tidak akan terlalu lama, kok.""Siap, aku tungguin." Aku mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas dan siap untuk menjalankan kendaraan roda empat yang sudah aku panaskan. Di sampingku, Cahaya duduk seraya melipat kedua tangan di perut. Ceritanya dia sedang ngambek karena aku tidak memperbolehkannya ikut dengan Shanum. "Kakak, Kakak marah sama Bunda?" tanyaku yang langsung disambut tidak baik olehnya.Cahaya memalingkan wajah melihat pada kaca pintu
Baca selengkapnya
Bab 18
"Kok, kamu ngomongnya gitu, Num?" "Terus aku harus gimana? Dia memang anak kamu, kan? Anak kalian. Kenapa aku harus repot-repot ngurusin dia sedangkan kamu di sini santai-santai seperti pasangan kekasih yang tidak memiliki tanggung jawab. Hey, kalian punya anak, lho ...," kataku seraya memindai wajah keduanya satu persatu.Mas Sandi salah tingkah. Dia melihat pada Cahaya, kemudian kembali melihatku yang berdiri berkacak pinggang."A–aku tahu, dia anakku, Num. Bukannya katamu, anak aku anak kamu juga? Kenapa sekarang kamu jadi mempermasalahkan Cahaya yang selalu ingin denganmu?""Aku tidak mempermasalahkan dia ingin denganku, Mas. Yang aku masalahkan itu adabmu! Di mana otakmu, sehingga tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Tidak ada tanggung jawabnya sedikit pun sebagai seorang suami dan ayah. Di sana, di rumah orang tuaku, aku repot mengurusi, membujuk dia. Di sini, kamu enak-enakan memadu kasih tanpa memikirkan perasaanku! Aku masih istrimu, Mas. Masih istrimu!!" jeritku dengan menu
Baca selengkapnya
Bab 19
Aku tersedu, menangis seraya menelungkupkan wajah pada setir. Puas mengeluarkan rasa sakitku karena harus meninggalkan Cahaya, aku mengambil ponsel. Menelepon seseorang yang aku percaya bisa membantu menenangkan anak tiriku. "Halo, Son.""Halo, Mbak. Kamu kenapa, Mbak? Nangis?" tanya Soni panik."Emh ... aku tidak apa-apa, Son. Tapi, aku mau minta tolong sama kamu.""Tolong apa? Mbak, kenapa memangnya?" Soni kembali bertanya. "Tolong tenangkan Cahaya, Son. Tadi, aku mengantarkannya ke rumah, dan dia nangis saat aku tinggal. Takutnya dia melukai dirinya sendiri. Aku ..., aku benar-benar sudah tidak sanggup mengurusnya, Son." Aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu lawan bicaraku mengatakan apa pun. Tanganku terulur mengambil tisu untuk menghapus jejak air mata yang sudah membanjiri wajah. Sayangnya masih ada air yang keluar dari sudut mataku sehingga sulit bagiku untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kutadahkan kepala ke atas, bersandar pada sandaran jok. Beberapa
Baca selengkapnya
Bab 20
"Tidak ada, Ranum ... Ibu tidak bermaksud apa-apa," tutur Ibu mendesah. Aku bangun, duduk bersila di samping ibu yang memandang lurus pada putriku. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, jika tadi jawaban Ibu seperti itu.Apa mungkin Bapak telah berkhianat dari Ibu sewaktu dulu? Rasanya tidak mungkin jika Bapak melakukan itu. "Ibu ... Bapak pernah melakukan apa yang Mas Sandi lakukan?" tanyaku ingin mendapatkan jawaban pasti. Ibu memandangku dalam diam. Hingga akhirnya, anggukan kepala Ibu menjadi sebuah jawaban. "Kapan, Bu?" "Dulu. Duluuu sekali. Saat kamu masih bayi merah. Dan alasan kita pindah dari Bandung ke Jakarta, ya itu. Meninggalkan kepedihan." "Kok, Ibu kuat bertahan hingga sekarang? Kenapa Ibu tidak bercerai seperti apa yang aku lakukan?" tanyaku kembali. Ibu menarik napas panjang. Wajah tua itu mengadah ke atas mengingat masa-masa yang tidak pernah aku tahu. "Ada beberapa hal yang membuat Ibu, bertahan kala itu. Satu, kamu masih bayi. Butuh nutrisi dan asupan gizi. Se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status