"Kok, kamu ngomongnya gitu, Num?" "Terus aku harus gimana? Dia memang anak kamu, kan? Anak kalian. Kenapa aku harus repot-repot ngurusin dia sedangkan kamu di sini santai-santai seperti pasangan kekasih yang tidak memiliki tanggung jawab. Hey, kalian punya anak, lho ...," kataku seraya memindai wajah keduanya satu persatu.Mas Sandi salah tingkah. Dia melihat pada Cahaya, kemudian kembali melihatku yang berdiri berkacak pinggang."A–aku tahu, dia anakku, Num. Bukannya katamu, anak aku anak kamu juga? Kenapa sekarang kamu jadi mempermasalahkan Cahaya yang selalu ingin denganmu?""Aku tidak mempermasalahkan dia ingin denganku, Mas. Yang aku masalahkan itu adabmu! Di mana otakmu, sehingga tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Tidak ada tanggung jawabnya sedikit pun sebagai seorang suami dan ayah. Di sana, di rumah orang tuaku, aku repot mengurusi, membujuk dia. Di sini, kamu enak-enakan memadu kasih tanpa memikirkan perasaanku! Aku masih istrimu, Mas. Masih istrimu!!" jeritku dengan menu
Aku tersedu, menangis seraya menelungkupkan wajah pada setir. Puas mengeluarkan rasa sakitku karena harus meninggalkan Cahaya, aku mengambil ponsel. Menelepon seseorang yang aku percaya bisa membantu menenangkan anak tiriku. "Halo, Son.""Halo, Mbak. Kamu kenapa, Mbak? Nangis?" tanya Soni panik."Emh ... aku tidak apa-apa, Son. Tapi, aku mau minta tolong sama kamu.""Tolong apa? Mbak, kenapa memangnya?" Soni kembali bertanya. "Tolong tenangkan Cahaya, Son. Tadi, aku mengantarkannya ke rumah, dan dia nangis saat aku tinggal. Takutnya dia melukai dirinya sendiri. Aku ..., aku benar-benar sudah tidak sanggup mengurusnya, Son." Aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu lawan bicaraku mengatakan apa pun. Tanganku terulur mengambil tisu untuk menghapus jejak air mata yang sudah membanjiri wajah. Sayangnya masih ada air yang keluar dari sudut mataku sehingga sulit bagiku untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kutadahkan kepala ke atas, bersandar pada sandaran jok. Beberapa
"Tidak ada, Ranum ... Ibu tidak bermaksud apa-apa," tutur Ibu mendesah. Aku bangun, duduk bersila di samping ibu yang memandang lurus pada putriku. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, jika tadi jawaban Ibu seperti itu.Apa mungkin Bapak telah berkhianat dari Ibu sewaktu dulu? Rasanya tidak mungkin jika Bapak melakukan itu. "Ibu ... Bapak pernah melakukan apa yang Mas Sandi lakukan?" tanyaku ingin mendapatkan jawaban pasti. Ibu memandangku dalam diam. Hingga akhirnya, anggukan kepala Ibu menjadi sebuah jawaban. "Kapan, Bu?" "Dulu. Duluuu sekali. Saat kamu masih bayi merah. Dan alasan kita pindah dari Bandung ke Jakarta, ya itu. Meninggalkan kepedihan." "Kok, Ibu kuat bertahan hingga sekarang? Kenapa Ibu tidak bercerai seperti apa yang aku lakukan?" tanyaku kembali. Ibu menarik napas panjang. Wajah tua itu mengadah ke atas mengingat masa-masa yang tidak pernah aku tahu. "Ada beberapa hal yang membuat Ibu, bertahan kala itu. Satu, kamu masih bayi. Butuh nutrisi dan asupan gizi. Se
Aku melihat jam dinding yang menempel di atas foto Ibu dan Bapak. Masih pukul dua siang. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. [Bisa, Fir. Di mana?] [Di kafe Magnolia.] Aku langsung pergi ke kamar. Membawa beberapa berkas yang mungkin akan ditanyakan pengacara itu. Setelah semuanya siap, aku bicara pada Ibu, sekaligus memintanya untuk menjaga Shanum yang sedang tidur siang. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung berangkat ke tempat yang Safira sebutkan tadi. Aku harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak ingin berlarut-larut hingga nanti malah membuat masalah bertambah rumit. "Di mana Safira?" ujarku setelah berada di kawasan kafe Magnolia. Mata ini menelisik ke seluruh ruangan hingga lambaian tangan seorang wanita yang ada di meja paling belakang membuatku tersenyum ke arahnya. Aku berjalan cepat, dan berdiri tepat di belakang pria yang duduk satu meja dengan temanku itu. "Mas, ini Ranum temanku," ucap Safira membuat pria itu menoleh ke belakang
"Kenapa bisa kabur, Soni ...?" ujarku seraya mengurut kening. Aku mengambil ponsel dari Safira, langsung bicara pada Soni mengenai Cahaya. "Aku juga tidak tahu, Mbak. Aku dan Mama baru sampai rumah, tiba-tiba dapat kabar itu dari Mas Sandi. Sekarang aku lagi nyari, nih di sekitar kompleks. Nanya-nanya sama tetangga juga, kiranya ada yang lihat. Mbak bantu doa, ya agar Cahaya bisa segera ditemukan." "Doa, sih doa, Son. Tapi, hatiku jadi tidak tenang ini. Yasudah, deh aku ikut nyari juga," ujarku mengakhiri panggilan. Aku menoleh pada Safira yang mengedikkan bahu. Sepertinya memang sulit untukku lepas dari anak itu. Yang jadi pertanyaan aku, ke mana orang tuanya sampai anak itu bisa pergi tanpa mereka ketahui? Tidak mengunci pintu kah? Tidak diawasi? Mereka asik dengan dunianya? Dasar tidak becus. Ponsel kembali berbunyi saat aku hendak melajukan mobil. Dan kali ini dari Mawar Berduri. "Ap—""Cahaya kabur! Dia mencarimu! Puas, kamu sekarang karena sudah membuat anak itu jadi
Wajahku terasa memanas melihat dia yang tersenyum seraya menelengkan kepala. "Vano? Kamu ngapain di sini?" tanyaku sembari menegakkan tubuh, menutupi rasa kaget. "Habis beli perhiasan buat Mama. Eh, kebetulan ketemu klien sekaligus mantan pacar. Bagiamana kabar Mantan Pacar?" Aku meremas kertas nota dengan pandangan ke sembarang arah. Rasanya aku ingin lari dan masuk ke dalam mobil untuk bisa terbebas dari rasa canggung ini. Ah, menyebalkan. Jika dia keluar dari dalam toko perhiasan yang sama, itu artinya dia tahu, dong aku menjual perhiasan? Astaga ... mana tadi aku ngakunya belum ngambil uang, eh sekarang malah ketahuan jual perhiasan. Sial banget hari ini. Ketemu mantan, bukannya dalam keadaan suka cita, malah penuh dengan derita. Cerai, lagi kasusnya. "Kok, malah bengong?" ujar Devano mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memaksakan tersenyum. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit haus saja." "Haus? Ada kafe yang estetik di sekitar s
"Kamu tahu, gak Num? Tadi saat aku mengantarkan Cahaya ke rumah Sandi, dia sedang marah-marah sama istrinya." "Masa, Fir? Terus terus, gimana reaksi mereka saat kamu yang bawa anaknya?" "Seneng, dong. Sampai bilang makasih beberapa kali. Oh, iya Num. Sandi minta aku buat bujuk kamu agar tidak menggugat cerai ke pengadilan. Dia bilang, dia sangat mencintai kamu. Di depan istrinya, lho dia bilang kayak gitu. Dasar tidak punya perasaan, tuh bapak-bapak," ujar Safira terkekeh. "Ah, paling juga hanya pencitraan dia mah. Mana mau aku balik lagi ke sana. Kapok."Kami tertawa bersamaan membicarakan calon mantan suamiku itu. Sepulangnya dari bertemu dengan Devano, entah kenapa pikiranku terasa ringan. Kesediaan dia untuk mendampingiku hingga sidang selesai, membuat tumpukkan beban di pundak perlahan terasa menghilang. Aku optimis, jika perceraianku akan berjalan dengan lancar. Meskipun, nanti akan ada drama penolakan dari pihak Mas Sandi. Besok pagi, aku akan berangkat ke pengadilan untuk
"Sha, yuk berangkat, yuk!" Aku berteriak dari luar memanggil gadis kecilku. Tidak lama kemudian Shanum keluar dengan Ibu di belakangnya. Gadis cantikku siap pergi ke sekolah dengan wajah yang kembali ceria. Semalam aku sempat khawatir jika pembicaraan kami akan membekas dan membuat anak itu larut dalam kesedihan. Namun, ternyata tidak. Shanum si anak manis bangun dengan wajah ceria dan semangat sekolah seperti semula. Aku bahagia melihat itu. "Nenek, mau ikut ke sekolah Shanum?" ujar anakku ketika hendak masuk ke mobil. "Ah, tidak. Nenek harus ke pasar sama Kakek. Shanum sama Bunda saja, ya? Ingat, jangan nakal di sekolah, belajar yang baik, dan harus nurut sama Ibu Guru.""Harus nurut sama Ibu Guru!" ujar Shanum mengucapkan kata yang sama dengan yang diucapkan neneknya. Setelahnya, putriku tertawa. Dia melambaikan tangan pada Ibu yang juga sudah bersiap untuk pergi ke pasar. Rencana hari ini, aku akan pergi ke kantor pengadilan agama bersama Devano. Semalam aku dan dia sudah