Semua Bab Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Bab 31 - Bab 40
145 Bab
Bab 31
"Akhir-akhir ini kakak sering ngamuk, Sayang. Shanum, kan tahu sendiri kalau kakak sudah ngamuk, dia jadi hilang kendali. Makanya, Shanum tinggal di rumah nenek dulu. Nanti pun akan ada waktunya, kok Shanum main sama kakak. Sekarang, kita pulang dulu, yah? Biarkan ayah kerja," kataku membujuk Shanum yang malah memeluk Mas Sandi. Gadisku menempelkan kepalanya di dada pria itu.Lama, aku dan Mas Sandi membujuk Shanum hingga akhirnya anak itu mau pulang juga dengan syarat, Mas Sandi harus menggendong dia sampai kami masuk ke mobil. Dan Mas Sandi menurutinya. "Pake sabuk pengamannya, ya?" ujar Mas Sandi memakaikan seat belt. Shanum mengangguk, kemudian Mas Sandi menutup pintu mobil setelah mencium ubun-ubun putrinya itu. Aku mulai melajukan mobil meninggalkan Mas Sandi yang masih berdiri melihat kepergianku dengan Shanum. Sepanjang jalan pulang, putriku diam. Keceriaan yang tadi mampir, kini hilang. Dia bahkan enggan menoleh ketika aku memanggilnya. "Sha, lihat, deh ada Om Soni, tuh
Baca selengkapnya
Bab 32 (Penyesalan Sandi 1)
"Bisa, gak kalau sudah menggambar, bekasnya beresin lagi?" ujar Mawar berteriak seraya memungut kertas dan pensil yang berserakan di lantai. Pemandangan ini sudah tidak asing lagi bagiku. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelum Ranum pergi dari rumah ini. Teriakan Mawar, marahnya dia, sudah jadi makanan yang setiap hari aku dengar. Rumah menjadi sangat rame dan berisik. Namun, di sini. Di dalam hati ini ada yang hilang. "Mandi! Astaga Cahaya .... mandi! Dari tadi di suruh mandi, susahnya minta ampun. Apalagi disuruh mati!""Hey! Apaan, sih kamu ini kalau ngomong gak pernah dijaga. Bisa, kan bicara dengan pelan dan lembut? Kupingku, tuh sakit dengar kamu teriak terus," ujarku keluar dari ruang makan. Baru beberapa suap nasi yang masuk, rasanya laparku sudah hilang. Bagiamana mau makan tenang, kalau di rumah penuh dengan makian dan teriakan. Mawar. Wanita itu beda sekali dengan Ranum. Dia tidak bisa membujuk Cahaya, meskipun hanya untuk menyuruhnya pergi membersihkan diri. Sepulan
Baca selengkapnya
Bab 33 (Penyesalan Sandi 2)
Seperti yang telah aku bahas dengan Ranum, akhir pekan aku boleh datang menjemput Shanum, putri keduaku. Dan ini yang menjadi sumber energi tersendiri, karena bisa melihat dia di pagi hari. Aku bersiul seraya menyisir rambut. Mawar belum bangun dari tidurnya meskipun matahari sudah tinggi. Alasan apa lagi kalau bukan lelah mengurus Rumah. Selalu seperti itu. Sebelum pergi, aku akan mengirimkan pesan pada mantan istriku itu. Memastikan jika Shanum siap untuk aku bawa. [Num, sekarang aku jemput Shanum, ya?] tulisku, lalu mengirimkannya. Centang dua berwana biru sudah nampak. Aku tersenyum. [Silahkan, Mas. Dia pun sudah siap,] ujar Ranum seraya mengirimkan foto Shanum yang tengah duduk di teras rumah. Buru-buru aku keluar dari kamar tanpa membangunkan Mawar. Cahaya pun belum tahu jika hari ini Shanum akan datang. Biasanya, aku akan membawa mereka jalan-jalan ke taman. Tapi, sekarang aku ingin di rumah saja seraya melihat keakraban mereka. Sampai di mobil, aku tak langsung pergi.
Baca selengkapnya
Bab 34
[Num, bisa jemput Shanum, gak? Dia minta pulang, tapi aku sedang rapot dengan Cahaya. Dia gak mau ditinggal pergi.] Aku mengetuk-ngetuk jari pada pinggiran ponsel. Tidak biasanya Shanum minta pulang cepat. Padahal waktu masih pukul sepuluh pagi. Masih jauh banget dari jam pulang Shanum yang seharusnya diantar Mas Sandi pukul tiga sore. "Hey, kok ngelamun?" Aku terkejut saat pundakku ditepuk dari belakang. Buru-buru ponsel kumasukkan ke dalam saku celana, kemudian melihat siapa yang menegurku itu. "Sita?" ucapku seraya mengurut dada. "Kenapa, Mbak?" Dia balik bertanya. "Mantan suamiku nyuruh aku buat jemput Shanum, tapi kan aku masih kerja," kataku lesu. Ini hari minggu. Hari libur untuk mereka yang bekerja di kantoran, tapi tidak denganku. Aku tidak punya jam libur. Satu minggu tujuh hari, selalu diwajibkan masuk kerja. Justru akhir pekan seperti ini, pengunjung akan lebih banyak dari biasanya. Dan kami para karyawan akan semakin sibuk dengan pelanggan yang tidak ada habisnya.
Baca selengkapnya
Bab 35
"Minta tolong apa?" "Gantiin aku kerja, Mbak. Bayiku sakit, aku mau bawa dia ke rumah sakit sekarang. Tapi, enggak dikasih izin kalau gak ada yang gantiin, resto lagi rame banget." Aku melihat wajah Shanum yang anteng dengan makanannya. Mataku juga menatap wajah Ibu dan Bapak, yang sesekali mencuri pandang ke arahku. Tadi, Sita memang mengambil kerja lembur. Dia mencari uang tambahan untuk membeli susu anaknya yang masih bayi. Sita juga cerita kalau bayinya tengah demam. Sekarang, aku malah mendengar kabar buruk. Bayi Sita semakin parah dan harus dibawa ke rumah sakit. "Mbak, gimana?" tanya Sita lagi. "Iya, aku ke sana sekarang.""Ke mana?" Ibu bertanya seraya mengerutkan kening. Aku mengakhiri panggilan dengan Sita setelah meyakinkan dia jika aku akan datang ke restoran sekarang. Namun, tatapan kedua orang tuaku masih menanti penjelasan. "Bu, Ranum harus ke restoran. Sita anaknya sakit, dia memintaku menggantikan dia.""Emang gak ada karyawan lain, selain kamu? Ini udah malam,
Baca selengkapnya
Bab 36
"Kalian, saya berhentikan!" Sudah aku duga ini pasti akan terjadi. Di sinilah aku dan Soni berada. Di ruangan manager restoran tempat kami bekerja. Kekacauan tadi, perdebatan antara aku dan Mawar, berdampak pada pemecatanku dan Soni. Kini, aku seorang pengangguran lagi. Sumber penghasilanku hilang akibat ulah Mawar yang sengaja memancing emosiku. Seandainya tadi Soni tidak datang dan membalas perbuatan Mawar dan teman-temannya, mungkin masalahnya tidak akan semakin melebar. Tapi, dasar emang anak itu tidak bisa membiarkan aku direndahkan, maka terjadilah pemberhentian kerja ini. "Pak, tadi mereka duluan yang membuat keributan. Kenapa jadi kami yang berhentikan?" ujar Soni protes. "Keributan terjadi karena ada perdebatan antara dua kubu. Seandainya kamu dan dia tidak membalas, mungkin tidak akan ada kericuhan di restoran ini," ujar manager itu seraya menunjuk wajahku. "Saya membela diri, Pak." "Soni ...." Aku memegang tangan dia untuk berhenti protes. Percuma. Sebenar apa pun
Baca selengkapnya
Bab 37
"Kata Ibu, juga apa? Tidak usah kerja, tidak usah cari duit di tempat orang. Sekarang, tahu sendiri, kan akibatnya gimana? Kamu dipecat, juga dipermalukan." "Iya, Ibu. Tadinya, Ranum ingin mandiri dengan tidak bergantung pada Ibu. Mana Ranum tahu, akan terjadi seperti ini," ujarku seraya menggosok rambut dengan handuk kecil. Gara-gara air jus tadi, aku harus mandi malam-malam. Dingin? Enggak. Ibu memasak air untukku mandi. Sekarang, wanita itu tengah mengomel. Menceramahiku yang katanya bandel dan pembangkang. Ah, memang iya. Niatnya ingin mandiri, malah rugi sendiri. Mana gaji sisa yang aku dapat sedikit, lagi. Nasib ... begini banget jadi janda. "Num, sudahlah. Dengarkan apa kata ibumu itu. Kamu, lebih baik buka usaha. Jualan kain, atau jualan baju, gitu di pasar. Nanti, Bapak cari orang yang mau sewain ruko atau kios buat kamu. Daripada kerja di restoran, bukannya kenyang malah kejang-kejang kena marah orang terus. Iya, 'kan?" ujar Bapak menimpali. Aku hanya manggut-manggut
Baca selengkapnya
Bab 38
"Kenapa, Bunda?" tanya Shanum melihatku yang terkejut. Aku menatap Shanum dengan tatapan kosong. Ponsel hampir saja jatuh karena tangan yang bergetar saking kagetnya. "Bunda," ucap Shanum lagi seraya mengusap pipiku. "Tidak ada apa-apa, Nak. Shanum, masuk, ya? Sarapan di kelas sama Bu Safira. Tiba-tiba Bunda teringat sesuatu," ucapku seraya membereskan bekal anak itu. "Katanya kita mau nungguin seseorang, mana kok, gak datang-datang?" "Emh ... gak jadi, Nak. Mereka gak jadi datang. Sudah, Shanum masuk, gih. Bunda harus pulang, Bunda lupa matikan kompor, Sayang. Kalau Bunda tidak segera pulang, nanti rumah kita kebakaran," kataku berbohong. Dengan raut wajah kecewa, Shanum keluar dari mobil dengan menenteng tas bekalnya. Dia melambaikan tangan padaku, lalu berlalu masuk ke dalam kelas. Aku membaca kembali pesan yang dikirim Mas Sandi padaku. Sama, bunyinya masih sama tentang Cahaya yang dibawa ke rumah sakit. "Kenapa Cahaya bisa tidak sadarkan diri?" ujarku pelan. Jika diam di
Baca selengkapnya
Bab 39
"Kok, bisa?" tanyaku khawatir. "Biasalah, anak-anak saling geser, dan Shanum jatuh. Tidak ada yang luka, tapi sepertinya dia kurang sehat. Sedari masuk, tidak bersemangat," jelas Safira."Nitip sebentar, aku akan ke sana sekarang," pungkasku, kemudian mematikan telepon. Mas Sandi menatapku, tanpa bertanya pun aku tahu dari tatapan itu. Dia ingin bertanya, mungkin tidak enak atau menjaga perasaan wanita di sampingnya."Shanum jatuh di sekolah, aku akan menjemputnya sekarang," ujarku membuat kening ayah dari putriku mengkerut. "Kok, bisa jatuh? Bagiamana keadaan dia sekarang?" "Mas, kamu apa-apaan, sih malah nanyain anak yang lain, sedangkan anak kita lagi berjuang di dalam sana." Mawar protes, keberatan dengan pertanyaan Mas Sandi padaku."Cahaya ada di dalam, karena kecerobohan kamu! Gak becus jadi ibu. Aku akan menjemput Shanum, kamu tunggu di sini." "Gak bisa! Biarkan ibunya yang jemput, kamu gak usah ke mana-mana. Kalau nanti dokter nanyain kamu dan minta pendapat kita sebagai
Baca selengkapnya
Bab 40
"Koma.""Innalilahi ... Allahu Rabbi ...."Aku tidak bisa membendung air mataku ketika Mas Sandi mengatakan keadaan Cahaya. Bayangan wajah ceria anak itu menari indah melumpuhkan ingatanku. Tawanya, candanya, bahkan ungkapan cinta dia yang selalu spontan padaku, membuat air mata semakin deras membanjiri pipi ini. "Kakak ...," lirihku diselangi isak tangis. "Doakan Cahaya, ya Num? Doakan agar dia cepat bangun dan sembuh," ujar Mas Sandi masih terhubung denganku. Aku mengusap kedua mata, menarik napas sangat dalam untuk menenangkan perasaan ini. "Mas, apa yang terjadi pada Aya, sampai dia mengalami koma?" tanyaku sangat ingin tahu. "Kata dokter, Cahaya kena serangan jantung. Kamu pun tahu, kalau Cahaya memang memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Dan juga ... ada cedera di otaknya yang membuat Cahaya kehilangan kesadaran.""Cedera otak? Apa Cahaya jatuh di rumah?" tanyaku lagi. Tidak mungkin akan ada cedera otak, jika tidak ada benturan di kepalanya. "Kemungkinan memang seperti
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status