Semua Bab TERSESAT DALAM GAIRAH: Bab 41 - Bab 50
58 Bab
41. Perempuan dari Venus
Dengan salah tingkah, Nay menerima tisu tersebut yang langsung digunakannya untuk melap jari-jemarinya.“Kamu?” tanya Regita.Wajah Nay pun memerah menyadari ia belum menyambut perkenalan dari perempuan itu. “Nay,” jawabnya lirih.“Kamu yang duduk bertiga sama teman kamu, kan?”“Eh, kok tahu?”“Kayaknya seluruh penghuni Kafe Starlite pasti tahu, deh,” jawab Regita kemudian tertawa kecil.Nay tahu kalau perempuan itu merujuk kepada pertengkaran Cherry dan Maria tadi. Tentu saja itu menjadi pusat perhatian semua orang, termasuk Regita.Ada hening yang tercipta karena Nay tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menjaga pembicaraan mereka tetap berlangsung hangat. “Hm,” katanya kemudian sambil mencari-cari topik obrolan, “Kamu sendiri saja di kafe? Atau sedang menunggu teman?”Regita menggelengkan kepalanya. “Aku memang lebih suka ke mana-mana
Baca selengkapnya
42. Menyelamatkan Dua Malaikat
“Ibu kamu ke mana, Ton?” tanya Dewi sebaik ia melangkahkan kaki ke dalam rumah milik keluarga Anton itu. Ia tahu perempuan yang melahirkan Anton itu sedang tidak berada di sana. Pasalnya, Anton yang memberitahukannya sewaktu menyuruhnya datang untuk menjenguk Odetta dan Romeo. Namun, suaminya itu tidak menyampaikan tujuan ibunya.“Arisan sama ibu-ibu kelasnya Puri.”Puri adalah adik Anton yang masih duduk di bangku SMA. Dewi mengangguk sambil mendudukkan Romeo di lantai yang telah dialasi karpet.“Mamaaa, ini buat Odet?”Gadis kecil Dewi itu menunjukkan sebuah buku mewarnai dan seperangkat krayon. Jawaban darinya belum keluar, Odetta telah mencoret-coret buku itu.“Kamu mau teh?” tanya Anton.Dewi tahu kalau tawaran itu hanya basa-basi semata. Pada akhirnya, Dewilah yang akan membuatkan laki-laki itu minuman. Jadi, ia menggelengkan kepalanya.“Aku buatin, ya. Gulanya sedikit, kan?&
Baca selengkapnya
43. Laki-Laki dari Mars
Anton memeluk Dewi yang sedang berbaring di sebelahnya. Meskipun menutupi tubuhnya dengan selimut, laki-laki itu tahu kalau di bawah sana, kekasihnya itu tidak mengenakan kain barang sehelai sekalipun. Dengan iseng, ia memencet buah dada perempuan itu.“Aww,” jerit kecil Dewi yang terdengar merdu di telinga Anton.Perempuan itu menepis tangannya. Anton membalasnya dengan terkekeh. “Aku ketagihan,” katanya.Dewi menggeser posisi tubuhnya. Sekarang, mereka berhadap-hadapan berbaring di atas kasur sempit sebuah losmen murah di kota Bandung. Anton dapat melihat mata kekasihnya yang berbinar. Ia dapat menemukan sinar kebahagiaan di sana, sama seperti yang ia rasakan.“Anton….”Lirih panggilan itu terdengar. Anton menebak kalau perempuannya itu menginginkan ronde kedua. Ia tidak keberatan. Permainan cinta mereka lebih mengasyikkan ketimbang apapun. Berkali-kali pun ia sanggup. Ia merendahkan kepalanya untuk meng
Baca selengkapnya
44. Dalam Persembunyian
Anton yang masih mengalungi handuk memeluk ibunya. Sebenarnya, ia ingin menangis di pundak ibunya tersebut. Namun, ia tahan-tahan. Ia tidak ingin ibunya bertanya-tanya. Ia juga tidak mau rahasianya ketahuan.“Apa kabar kamu, Nak?” tanya Ibu seraya mengajaknya duduk.Anton menurut saja. “Baik, Bu,” jawabnya berbohong. Apa lagi pilihannya? Tidak mungkin ia berterus-terang dan mengatakan kalau sebentar lagi ibunya itu akan punya cucu. “Ibu naik apa ke sini?”“Menumpang Tante Ayu, tetangga kita. Tante Ayu mau menengok saudaranya sakit yang dirawat di Hasan Sadikin.”Perih hati Anton mendengar penjelasan ibunya itu. Saking miskinnya mereka, untuk mengunjunginya saja Ibu harus menumpang dengan orang lain.“Nanti malam, Tante Ayu bakal ke sini untuk jemput Ibu lagi, terus sama-sama balik Jakarta.”Anton tahu, kalau punya uang, ibunya pasti lebih suka menginap lebih lama di Bandung. Bahkan,
Baca selengkapnya
45. Lahirnya Cinta
Anton sudah berbulan-bulan tidak pernah pergi kuliah lagi. Ia menyembunyikan fakta ini dari tempatnya menumpang. Tidak mungkin Anton berterus terang kepada Paman Kelana kalau selama ini ia sudah mangkir dari kampus. Pasalnya, familinya itulah yang membiayai pendidikannya. Bisa-bisa, Paman Kelana marah besar dengan sikapnya itu.Demi memuluskan kebohongannya, setiap hari Anton pura-pura berangkat ke kampus. Di tengah jalan, ia melenggang ke sebuah warung kopi. Lokasinya dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki selama setengah jam dari rumah Paman Kelana. Namun, tempatnya yang terpencil dijamin tidak akan berada dalam radar jangkauan saudaranya itu.Warung kopi itu menjadi tempat nongkrong bapak-bapak di sekitarannya. Anton memilihnya sebagai tempat persembunyian karena ia tidak perlu membeli apapun demi dapat berdiam diri. Pelanggan tetap warung, para bapak-bapak tadi dengan senang hati mentraktirnya sekadar kopi hitam panas.Anton menghirup kopi yang sudah sed
Baca selengkapnya
46. Cinta yang Terpisah
Dewi menoleh dan menemukan ibu mertuanya di sana. Cekikan di lehernya mengendur. Dewi menepis tangan Anton jauh-jauh. Ia memelototi suaminya itu, kemudian memalingkan wajah.“Dewi?” tanya ibu mertuanya.Dewi tidak menyahut. Ia menghampiri Odetta dan Romeo yang sedang bermain. Ia membereskan buku-buku dan mainan anak-anaknya itu. Bagaimana dengan baju-baju mereka? Lalu, ia harus memesan taksi agar dapat bepergian bersama keduanya dengan nyaman.“Anton?” Ibu Mertua mencoba mencari jawaban melalui anaknya.Dewi tidak sanggup berada di ruangan itu lebih lama. Ia mengangkat Romeo ke dalam pelukannya.“Dewi minta cerai, Ma,” beritahu Anton.Untuk sesaat, Ibu Mertua membeku dan tidak mengatakan apa-apa.Dewi yang sedang menggendong Romeo, menarik tangan Odetta sebagai kode meminta anak perempuannya itu untuk mengikutinya.“Romeo mau dibawa ke mana?” tanya Ibu Mertua.“Maaf,
Baca selengkapnya
47. Teka-Teki Jati Diri
“Begitu, ya?” tanya Cherry.“Iya!” seru Nay agar sahabatnya itu yakin. Pasalnya, sosok yang tadi dilihatnya berjalan menjauhi Kafe Starlite.Mendadak, Cherry mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Uang yang Nay tidak tahu berapa jumlahnya. Sahabatnya itu menyodorkan uang tersebut kepadanya.Tentu saja Nay menolaknya, “Nggak, nggak.”“Untuk taksi. Kalau lo nggak nerima, gue nggak jadi ke Farid,” kata Cherry memberikan ultimatum.Nay tidak menginginkan itu. Ia pun menerima uang itu, lalu turun dari mobil.Begitu mobil Cherry menghilang dari pandangan, ia langsung berlari menuju tempat yang sedari tadi sudah ingin ia hampiri.“Regita,” panggil Nay sewaktu posisinya dengan sosok yang ia lihat tadi sudah dekat.***Mobil yang dikendarai oleh Cherry berhenti di lampu merah. melirik penunjuk waktu yang ada di mobilnya. Pukul 19.30. Masih ada waktu untuk menonton bioskop
Baca selengkapnya
48. Asing Sebelum Dekat
Layar di depannya menyajikan film pilihan Cherry. Namun, kepala dan hatinya tidak tertuju pada cerita film tersebut. Ia gundah karena rasa penasarannya belum terpecahkan.Cherry melirik ke sebelahnya. Farid tampak fokus dengan layar di depan mereka. Ia mencoba menarik perhatian laki-laki itu dengan menggamit tangannya.Bukannya perhatian yang ia peroleh, Cherry justru mendapatkan, “Ssh,” dari Farid.Cherry yang tidak terbiasa diabaikan oleh para pria menegakkan tubuhnya. Ia bermaksud menonjolkan bagian dadanya ke arah Farid. Tapi, aksinya itu menyebabnya kepalanya menghalangi pandangan penonton di belakangnya. Tentu saja, ia pun ditegur.Merosot Cherry di kursinya. Ekor matanya melirik Farid yang tekun memperhatikan layar. Pria itu tampak tenang seperti tidak ada apapun yang mengganggu pikirannya.***Di dalam taksi, Nay melirik perempuan yang duduk di sebelahnya, lalu menundukkan kepala. Ia cukup lama berpikir sebelum menjawab,
Baca selengkapnya
49. Malam Itu Tak Berakhir Indah
Taksi berhenti di seuah lapangan parkir. Jadi, Nay tidak dapat melihat dengan jelas tempat yang mereka datangi tersebut. Sebaliknya, Regita tampak yakin dengan tujuan mereka malam itu. Perempuan itu membayar taksi dan segera turun. Tentu saja, Nay mengikutinya.Menyusuri langkah Regita, Nay masuk melalui pintu kecil yang menghubungkan lokasi parkir ke gedung utama. Mereka pun sampai di lobi. Ada sofa-sofa nyaman yang tersebar di berbagai tempat.“Tunggu di sana, Nay,” ujar Regita.Nay duduk di tempat yang dimaksud oleh perempuan itu. Ia memandang sekeliling karena mencari petunjuk nama gedung tempatnya berada saat itu.Tidak lama kemudian, ia melihat seorang wanita yang mengenakan seragam hitam-hitam berjalan ke arahnya. Perempuan itu tidak sendirian, melainkan dengan seorang laki-laki yang mengenakan jas rapi.“Silakan menunggu di sini, Pak. Kami akan menyiapkan kamar terbaik di hotel ini untuk Bapak,” kata sosok perempuan
Baca selengkapnya
50. Tempat Teraman
Regita Amelia sudah melewati usia kepala tiga. Tepatnya, 38 tahun. Tidak seperti perempuan lainnya, tidak ada keluarga yang memaksanya untuk menikah. Bukan karena keluarganya berpikiran modern, melainkan karena Regita sudah meninggalkan rumah sejak berusia 17 tahun. Jadi, tidak ada keinginan keluarga yang harus ia turuti.Pengalaman hidupnya sesuai dengan usia yang ia miliki. Banyak. Tidak semuanya menyenangkan. Lebih seringnya, Regita harus berkutat dengan cara dan strategi untuk bertahan hidup. Bayangkan saja, apa yang harus dilakukan oleh anak berusia tujuh belas tahun untuk bertahan hidup?Namun, kerasnya pengalaman hidup Regita membuatnya menjadi pribadi yang peka dan sensitif, terutama terhadap mereka yang memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.Ketika melihat Nay di Kafe Starlite, perhatian Regita langsung tertuju kepada gadis itu. Mata Nay terlihat kelam. Padahal, di sekeliling perempuan itu ada dua orang temannya. Dari pengamatan Regita, Nay
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status