All Chapters of Penakluk Cinta Sang Dosen: Chapter 11 - Chapter 20
84 Chapters
Satrio Sang Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini
Read more
Cinta Pada Pandangan Pertama
“Omong kosong, kamu bukan seorang lelaki yang bisa dianggap remeh oleh seorang perempuan. Kekurangan apa yang kamu maksud?” “Aku yang terlalu bekerja keras, terlalu memperhatikan pasien-pasienku hingga mengesampingkan keluargaku sendiri.” “Kamu itu seharusnya sudah bisa memaafkan dirimu sendiri. Mamamu meninggal bukan karena kamu. Mama kamu meninggal karena depresi ditinggal Papamu. Berapa kali Kakek harus bilang? Tidak ada bedanya meskipun kamu saat itu ada disini.” Kakeknya berjalan ke belakang, ke arah dapur. Beliau kembali dengan membawa dua gelas besar es teh dan memberikan salah satu gelas ke Satrio. Setelah meminum es tehnya, Kakek melanjutkan perkataanya, “Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Sat. Apakah kamu pikir, dengan terus menerus menghukum diri kamu, Mamamu akan kembali hidup? Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu rasakan kemari ketika terinfeksi Corona?” Kakeknya berkacak pinggang. “Malam minggu, kita berdua akan bertemu d
Read more
Minggu Kelabu
Caca masih di kasurnya, tidak bergerak dengan mata yang masih mengantuk menatap langit-langit. Perutnya terasa aneh. Rasa buang air besar semalam masih terasa. Tidak ada yang keluar meskipun dia sudah mencoba, hanya kesemutan merajalela. Jam yang berdetik di dinding menunjukkan pukul enam. Hanya ada rasa enggan beranjak dari kasurnya menggelayut. Dia ingin bumi membuka, menelannya hidup-hidup tanpa ada kemungkinan untuk kembali lagi. Bukan, Caca bukan ingin mati. Caca masih ingin hidup. Nasi pecel dan lalapan masih sayang untuk ditinggalkan, apalagi rawon. Caca hanya malu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk dengan Satrio nanti. Biasanya pada minggu pagi seperti ini, Caca akan berada di dapur. Karena dia tidak bisa memasak, maka dia akan membantu Mama dan Mbak Sri memasak. Caca yang bertanggung jawab untuk mencuci semua perkakas memasak dan sarapan. Caca bukannya tidak mau belajar masak. Caca sudah belajar masak, tetapi seberapa keras Caca berusaha, hasil masakannya ti
Read more
Satrio Siap Menikah
Satrio menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia tidak melihat ke wajah ataupun mata Caca ketika mengenalkan dirinya. Satrio terus menundukkan pandangannya, tidak berani memandang Caca. Untuk beberapa saat Caca tidak mengerti kenapa Satrio tidak berani menatapnya. Tetapi dalam sekejap pula, Caca paham kenapa Satrio tidak berani menatap dan hanya menundukkan pandangannya. Dari sikap Satrio itu, Caca bisa menyimpulkan bahwa Satrio adalah seseorang yang religius dan memegang teguh syariat-syariat agama di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk beberapa saat itu juga, Caca merasa terbanting dan merasa malu. Caca tahu hukum agama tetapi jarang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Caca hanya melakukan syariat-syariat yang bersifat wajib seperti sholat, puasa, dan zakat. Caca masih berat untuk melakukan hal-hal selain itu, termasuk memakai jilbab, meskipunan Papanya juga sudah berkali-kali mengingatkan dan mengatakan kewajiban berjilbab bagi perempuan dewasa adalah wajib dan sa
Read more
Tambatan Hati Caca
Senin pagi itu terasa berat sekali. Mendung petang menggelayut di cakrawala ketika dia melihat keluar jendela. Tak ada niatan Caca beranjak dari kasurnya. Dadanya sesak. Meski sudah menghela nafas kuat-kuat berkali-kali, beban itu tak mau pergi. Satu hal yang berkesan dari pertemuan dengan Satrio kemarin adalah Caca bisa menangkap betapa seriusnya Satrio untuk memperistri dirinya. Berbeda dengan pengalamannya ketika bertemu dengan seseorang yang mengenalnya lewat aplikasi kencan itu. Perbedaan jelas adalah ketika Satrio sama sekali tidak menatap wajahnya, sedangkan lelaki aplikasi itu selalu memandanginya. Sebegitu buruknya kesan yang dibuat lelaki aplikasi itu sampai Caca tidak mau mengingat namanya dan hanya memanggilnya lelaki aplikasi. Caca sampai merasa risih karena terus dipandangi. Caca merasa ditelanjangi karena lelaki itu terus menerus melihat ke arah dadanya. Terlebih lagi jawaban-jawaban Satrio atas semua pertanyaan Caca terdengar masuk akal dan terdengar meyakinkan. Satr
Read more
Kode Caca untuk Indra
Jasmine menepuk tangannya bersemangat. “Bukankah dia mahasiswa bimbinganmu? Bukankah lebih mudah memberikan kode pada dia ketika bimbingan thesis?” tanya Jasmine berapi-api laksana panglima perang mengobarkan semangat pada prajurit. “Mbak tahu sendiri kalau caraku melakukan bimbingan …” Jasmine menunggu Caca menyelesaikan kalimatnya. Tetapi, ketika sepertinya Caca tidak berniat menyelesaikannya, Jasmine menyarankan, “Ya diubah caramu melakukan bimbingan.” Caca tidak merespon apapun. Bahkan Caca berdiri dan berkata hal lain, “Aku mau menguji seminar proposal thesis dulu.” “Kamu nggak makan?” Caca menjawab hanya dengan gelengan kepalanya, “Aku sedang tidak ingin makan. Tidak ada nafsu makan.” “Kamu menguji di Gedung Pascasarjana?” Caca mengangguk. “Bawa payung. Takutnya hujan.” Kata Jasmine seraya melihat keluar jendela dan menunjuk mendung yang sudah bergerombol berat. Caca mengambil payung kecil dan memasukkannya ke dalam tas yang dia tenteng. Di ruang sidang seminar proposal
Read more
Keluarga Indra
Selasa minggu lalu. Bluk. Suara kepalan tangan Indra memukul meja sofa. Tangannya mengepal erat, semakin lama kepalan itu semakin keras. Jantungnya berdetak kencang dan cepat. Kepalanya terasa berdenyut. Nafasnya memburu. “Sudah Buk, Ibuk pindah kesini saja. Hidup sama aku. Mentang-mentang kaya, seenaknya sendiri menghina, merendahkan, dan mengusir orang. Dia itu iri. Anaknya tidak ada yang sekolah tinggi, hanya lulusan SMA. Berbeda dengan anak-anak Ibuk yang sekolahs sampai kuliah. Lagipula Buk, Ibuk tahu kenapa dia berbuat seperti itu? “Kalau Ibu pindah, rumah ini bakalan diambil dan diakui paksa sama Pakdemu. Kalau begitu, sama saja dengan menyerah. Ibuk tidak mau rumah ini dijual dan diakui paksa sama Pakdemu.” “Aku tidak peduli Buk. Aku sudah punya rumah. Mbak Indah juga sudah punya rumah.” “Nggak bisa Ndra. Ini rumah peninggalan Mbahmu. Kenangan-kenangan bersama Mbah dan Bapakmu ada di rumah ini. Rumah ini memang sudah tua dan reyot, tapi kenangannya terlalu banyak. Bagi or
Read more
Tambatan Hati Indra
Indra berdiri dan melemparkan ponselnya ke sofa. Nafasnya tersengal-sengal. Terlebih lagi, dia berbohong pada Ibunya. Ada hal yang mengganjal di hatinya namun dia tak sanggup mengungkapkannya. Dengan pikiran yang masih melayang-layang di kepalanya tentang bagaimana cara terbaik untuk membalas perlakuan Pakdenya kepada Ibunya dan rasa bersalah atas kebohongannya, Indra meraih handuk dan mandi. Mandi ternyata tidak membuat pikirannya tenang. Pikiran itu semakin menjadi-jadi. Dia berencana ke perpustakaan hari ini sebelum kuliah pada awalnya. Namun, karena kejadian ini tadi, dia menjadi tidak yakin apakah ke perpustakaan adalah ide yang bagus. Kepalang tanggung, dia akhirnya jadi pergi ke perpustakaan. Ternyata yang membuat dia tidak bisa berpikir jernih bukan masalah Ibuknya tadi, namun temannya sekelas, Izzy. “Mas.” suara yang kencang dan kenes ditambah dengan tepukan di bahu Indra berhasil membuat Indra hampir melompat dari duduknya. “Sudah lama disini?” “Kamu itu, hampir saja mem
Read more
Tantangan Indra
“Mbak, Njenengan mau pulang sekarang?” tanya Indra pada Mbak Indah yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas. Indra dan Mbak Indah memang baru saja menjemput Ibuk dari rumah yang ada di kaki Gunung Semeru. Dengan segala daya dan upaya Indra merayu Ibuk untuk pindah. Indra tidak sendirian. Indra juga meminta Mbak indah untuk merayu Ibuk agar mau meninggalkan rumah itu. Untuk sementara rumah itu dipasrahkan kepada salah satu kerabat jauh Ibuk yang memang sedari dulu membantu Ibuk. Bisa dibilang kerabat ini adalah asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu. Bukan tanpa perlawanan Ibuk bisa dibawa ke rumah Indra. Indra harus menjemput Ibuk bersama Mbak Indah tanpa pemberitahuan. Indra sudah memberi tahu si kerabat jauh agar mau membantu usaha ini. Urusan mudah untuk merayu si kerabat jauh. Mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Pakde. Mbak Indah mengangguk, “Iyo. Mendung kayak gitu takutnya kehujanan.” “Eh, ya sudah kalau begitu.” dengus Indra. Mbak Indah mengernyit, menghela
Read more
Kode Diterima Dengan Baik
Mbak Indah berpamitan pada Ibuk. Indra masuk untuk mandi dan bersiap. Ketika dia berangkat, Ibuk memberikannya payung untuk berjaga-jaga. Benar juga, begitu dia sampai di Gedung Pascasarjana, hujan mulai turun rintik-rintik. Jauh di dalam hatinya, alasan sebenarnya dia mengikuti seminar proposal adalah ingin melihat Bu Syasmala dari dekat. Dia tidak tahan untuk tidak melihat Bu Syasmala. Terakhir kali bertemu dengan Bu Syasmala adalah selasa minggu lalu. Indra bahkan tidak bisa menunggu esok hari untuk bertemu. Matanya berbinar dan senyuman tersungging di bibirnya ketika Bu Syasmala sudah duduk di kursi penguji. Walaupun Bu Syasmala memunggunginya, wajah Bu Syasmala yang rupawan terngiang di depan matanya. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia ingin mengajukan pertanyaan atau sanggahan untuk menarik perhatian Bu Syasmala. Indra berharap ketika dirinya mengajukan pertanyaan tersebut, Bu Syasmala akan menoleh kepadanya. Dengan cepat dibacanya manuskrip yang telah dibagikan dan mencari
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status