All Chapters of JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU: Chapter 11 - Chapter 20
67 Chapters
Dhemank Loak
Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah
Read more
Detik-detik Kejadian 1
Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,
Read more
Detik-detik Kejadian 2
Meski angin tidak berhembus tapi Siliwangi begitu dingin siang itu. Aku coba memanggil Umi. Namun, tenggorokanku tertahan, sementara keadaan ingin aku segera menemukan pertolongan. Andai sesuatu terjadi pada Rere, bagaimana bisa aku tenang dikemudian hari? Jika tanda kematian itu benar adanya, aku pastikan sisa hidupku akan terus merasa tak berguna.“Darahmu banyak keluar, Mbak enggak bisa nunggu lama.”Erat sekali saat aku menyempatkan diri memeluk tubuhnya. Ku bilang berkali-kali jika aku sangat menyesal meninggalkannya beberapa hari yang lalu ke Demanloak. Rumput basah seperti jadi saksi bagaimana langkah lebarku takut menghabiskan waktu bahkan sedetik saja. Aku berlari menuju Masjid karena Umi ternyata tak ada di rumahnya. Saat Eyang melihatku muncul di pagar Masjid, beliau langsung keluar. Hanya sempat ku sampaikan bahwa Rere harus segera dapat pertolongan, maka, Eyang turut berlari sesudah menyuruh seseorang memanggil Mantri, di Balai kesehatan.Siang hingga sore kami akhirnya
Read more
Detik-detik Kejadian 3
'Astaghfirullah. Ada apa ini?'Suara teriakan itu sontak membuatku menoleh. Posisiku saat itu lumayan jauh dari bibir pintu. Untuk itu, dengan penuh kepanikan aku kembali berlari menerobos teras dapur."Yang, nyebut, Yang!"Eyang masih tergugu dalam posisinya yang mematung. Mulutnya seperti terkunci, tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar Rere sepeninggalku semenit yang lalu."Pocong! Dia bukan adikmu, Neng!""Gara-gara Rere bakar mukenah itu, Yang! Imel nyesal suruh Rere ngelakuin hal sembarangan. Imel harus cari mukenahnya, kalau tidak, Rere tidak akan berhenti kayak pocong."Eyang masih mematung setelah kuperiksa tak ada luka serius di tubuhnya, hanya saja bekas gigitan di tangannya itu sedikit berdarah. Memar, kehitaman. Besoknya baru Eyang bercerita, seandainya kata Eyang, ia tidak mendorong tubuh Rere sekuat tenaga, gigitan pocong itu tidak akan bisa terlepas. Kodrat manusia yang telah yang meninggal dunia. Ada yang bilang, ketika orang mati saat menggapai kayu penyangga
Read more
Detik-detik Kejadian 4
"Ada yang pernah mati? Matinya dimana?" Bang Hasim menatap Eyang sekilas, menunggu jawaban, lalu membuang wajah dengan nafas memburu.Tangan putih Eyang berhamburan menarik kembali kertas yang berserakan di sudut lantai. Mata memicing tajam, mengerjap-ngerjap, seperti takut apa yang dilihatnya itu adalah nyata, bahwa memang itu pernah terjadi di rumahnya sendiri.طَلَبُا لْاِالْمِ...buluh dar.. pe... patah tulang belak.../berserakan. Antre ... ... ... malam Sukra. Terdiri ... 21 santri..ti.(... Itu sudah terhalang noda, termakan usia.)Eyang membalikkan kertas, mengikuti arah tanda panah. Sebuah gambar tersinggap, bercak noda memenuhi segala ruang kertasnya dengan keterangan Doc. 85. .. .22: .. 3 di sudut kiri. Begitu juga tulisan yang ada di seberang, kebanyakan tak jelas di lihat mata. Sketsa jasad itu seperti berada dalam ruang kamar yang tak asing meskipun dindingnya masih terbilang sederhana. Yang nampak membuat kami terkesiap adalah, ada gambar capture kecil yang disobek dar
Read more
Detik-detik Kejadian 5
"Kemarin ada beberapa orang mengubur mayat di sebuah desa bagian timur Taman Pemakaman Umum Coblong. Sesudah itu mereka duduk-duduk santai di sebuah tempat. Tidak jauh dari tempat mereka, ada beberapa ekor kambing yang merumput."Suara siapa barusan?Gelap. Tubuhku terapit dalam mimpi yang gelap. Kupalingkan wajah, namun, tak ada siapa-siapa di dekatku. Tanganku seolah meraba-raba, tapi, tak kutemukan manusia. Lalu, siapa yang berbicara di dekatku?Siapa yang berbicara? Siapa yang ada di dekatku?Suara itu seperti suara layaknya sedang bercerita ringan. Ia seperti tak melihatku di dekatnya. Padahal aku sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku berpikir, jika aku pasti sedang bermimpi buruk lagi."Mendadak, ada seekor kambing yang berlari menghampiri kubur tersebut. Ia mendekatkan telinganya seolah-olah sedang mendengarkan suara. Setelah itu ia lari terbirit-birit ke tempatnya semula dan bergabung dengan teman-temannya."Mendengar kalimat yang persis seperti hikayat zaman dahulu,
Read more
Detik-detik Kejadian 6
بسم الله الرحمن الرحيم‘Allahumma inna nas aluka salamatan fiddin, wa ‘afiyatan fil jasad, wa ziyadatan fil ‘ilmi, wa barokatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, warahmatan ‘indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin ‘alaina fii sakarotil maut, wa najaatan minannari, wal ‘afwa ‘indal hisab.’*Salah satu kejadian yang di alami –aku, Ajeng Imelda Ningtiyas– pada pertengahan tahun 1983, hingga pada tahun 1985 membuatku trauma/cacat psikis.***Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mataku tak salah lihat? Di atas ventilasi yang tingginya hampir mencapai lima meter dariku, memunculkan wajah. Wajah itu mengucapkan sesuatu yang tak aku pahami, tangannya melambai, pelan, seperti memanggilku agar segera keluar.‘Allahumma inna naj’aluka fi nuhurihim wa na’udzubika min syururihim!’Seluruh tubuhku bergetar. Apa yang aku saksikan benar-benar sudah tidak di batas wajar. Bagaimana bisa ‘Eyang’ ada di dua tempat berbeda. Yang satu sedang tidur di dekatku, sementara yang lain sedang m
Read more
Rumah Eyang
Dua cangkir teh terhidang di teras kayu, yang dulunya jadi tempat bermainku bersama Ibu. Pakde, baru saja mengantar Tante Mita (istri yang menyewa rumah orang tuaku) ke kota membeli beberapa obat sesuai resep Mantri sebelum Pakde berangkat kerja."Teguknya sekali saja sehari, kecuali yang itu, itu tiga kali sehari, pagi satu kali, siang dan sebelum tidur.""Neng, Eyangmu tuh ora opo-opo disana. Ada Hasim, orang tuanya, juga si Tami. Utami yo pasti jaga Eyangmu. Manut apa kata Pakdemu, Neng. Pakdemu wes khawatir. Jangan sampai kamu dirawat ke balai lagi kan ruwet, Neng." Wanita paru baya itu menekukkan alis, kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya.Mengingat beberapa hari ini aku tidak nafsu makan, semua orang pantas merasa khawatir. Aku selalu gelisah, aku juga mudah emosi. Bagaimana jika sesuatu terjadi lagi nanti? Bagaimana aku bisa menghadapinya? Malam-malamku hanya terisi gambaran kejadian yang aku alami di rumah Eyang. Kejadian itu adalah mimpi yang paling mengerikan dalam hi
Read more
Jenazah Bagas
*Ada sebuah memori dari masa lalu yang masih meninggalkan memar dalam dadaku. Puing-puing kenangan yang mungkin tidak akan pernah terlupakan hingga akhir hayatku. Lagu ‘Duka Pasti Berlalu’ dari penyanyi legendaris –Nike Ardilla– aku persembahkan untuk salah satu orang yang paling berharga dalam hidup ini. Liriknya mengisahkan tentang dia yang pantang menyerah saat mengalami kegagalan panjang. Namun, tekadnya tidak pernah pupus mengejar kebahagian hingga ajal memasung usianya tanpa belas kasih.Luar biasa hatiku tersayat, keheningan malam terpecah oleh lautan air mata. Segalanya seolah terkejut mendengar kabar kematian seseorang yang begitu gemar menyejukkan hati. Pagar dan tunas di teras rumah seakan ikut berbela sungkawa. Semuanya turut menyaksikan kendaraan yang datang beriringan bunyi sirine panjang. Rasanya bumiku penuh junusan tombak air mata. Siliwangi kala itu berdarah.Setiap waktu kudengar lagu keabadian itu, aku seolah mampu merasakan kembali hadirnya di sampingku, hangat
Read more
Paku
Bang Oar bergumam kecil saat tengah melihatku linglung. Tubuhku nyaris jatuh mendengar semua yang baru saja Andi, dan kawannya ucapkan."Dek?!" Bang Hasim memanggil panik.Tangan kekar milik Bang Oar sekekita terangkat, ia mengirim sinyal pada Bang Hasim bahwa aku baik-baik saja. Padahal dadaku seperti terhantam benda berat mendengar kenyataan jika Bagas baru saja meninggal dunia.Bang Hasim dibantu yang lain menuntunku ke bale kecil, sedikit berjarak dari kawannya duduk. Disodorkannya sebotol mineral, lalu beliau memberiku minyak obat pendera sakit kepala."Tapi, Imel yakin sekali semalam yang datang ke halaman rumah Eyang mirip Bagas, Bang. Demi Allah, aku berani sumpah.""Bagas meninggal kemarin sore, Dek. Kamu mungkin berhalusinasi.""Kamu jangan merasa bersalah dan menyangkut pautkan kematiannya dengan rumah Eyang. Kematian itu sudah jauh digariskan oleh Allah. Bagas meninggal di usia mudanya karena terjadi penggumpalan darah di organ jantung." Bang Hasim seperti memberi wejangan
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status