All Chapters of Mayat di Atas Ranjang: Chapter 21 - Chapter 30
84 Chapters
21. TKP
Anyir darah segera menyambut penghidu Hendi. Dia reflek menutup hidungnya.Petugas polisi yang mendampinginya berkata, “Kematiannya terasa janggal. Tapi, kami bisa pastikan kalau tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam sel. Kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orang lain, bahkan kunci gembok sel korban masih dalam keadaan utuh.”“Ini sama!” pikir Hendi, kematian Dahlia mengingatkannya akan kematian Suroso. “Papa juga dibunuh di dalam kamar yang terkunci dari dalam, sel tempat Dahlia berada juga selalu terkunci. Enggak ada orang lain yang bisa masuk.”“Saya akan membuka pintu selnya, tolong, kuatkan hati Anda. Situasi di dalam sana, sangat mengerikan.” Petugas polisi itu memperingatkan Hendi.Mendengar kata-kata si polisi, membuat Hendi merasakan de javu. Ah, sudah berapa banyak orang pernah mengatakan hal yang sama kepadanya? Pikir Hendi. Dia masih ingat dengan jelas, bagaimana dokter di rumah sakit juga berkata seperti itu saat dia harus mengidentifikasi jenazah sopirnya, Ya
Read more
22. Perubahan
Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Hendi. Dia muak, marah, sedih, kecewa, betapa hidupnya jungkir balik setelah kematian ayahnya, Suroso. Dia tidak pernah membayangkan akan berurusan dengan hal-hal yang ghaib seperti yang saat itu dia alami.Hendi melajukan motornya dengan cepat di atas aspal, sambil berpikir andai semua masalah yang mengimpitnya bisa berlalu secepat dia menarik gas kendaraannya itu.Bik Yanti yang menyambut kepulangannya terkejut melihat luka-luka di wajah Hendi. “Mas Hendi, ya, Allah! Saya panggilkan mantri, ya, Mas?”“Enggak usah! Mama di mana?” tanya Hendi. “Apa Mama baik-baik aja?”“Ya, alhamdulillah, Ibu sudah mau makan sedikit-sedikit, sekarang Ibu ada di kamarnya sendiri. Mas Hendi sudah makan apa belum? Biar Bibik siapkan, ya?” tanya Bik Yanti penuh perhatian.Bik Yanti, wanita berusia setengah abad itu sudah lama bekerja di keluarga Suroso, bahkan dialah yang mengasuh Hendi sejak kecil, sejak Hendi masih SD. Bik Yanti sangat mengenali karakter Hendi yan
Read more
23. Pergi!
Ada yang datang, ada yang pergi. Begitu juga halnya dengan yang terjadi di rumah Suroso, mereka yang pergi dari rumah itu, baik dalam keadaan hidup atau mati, digantikan dengan kedatangan yang lainnya, para makhluk tak kasat mata.“Mana makananku!” hardik Nurlaila saat Hendi masuk ke dalam kamarnya.Bukan hanya Hendi yang mengalami perubahan karakter, tetapi Nurlaila juga. Sikapnya, terutama setelah dia bangun dari koma, menjadi sangat berbeda. Perempuan itu menjadi kasar, arogan, pemarah.Nurlaila yang dulu sangat memerhatikan penampilannya, rajin membersihkan diri, menyisiri rambutnya setiap mau tidur, berdandan meski hanya bedak dan gincu tipis, berubah menjadi tidak peduli dengan penampilan fisiknya. Dia membiarkan rambutnya yang panjang berantakan tanpa disisir, kadang berhari-hari dia tidak mandi, pakaiannya compang-camping karena dia tarik-tarik sendiri atau dia gigiti.Siapa pun yang tidak sengaja berpapasan dengan Nurlaila di jalan, kontan akan lari tunggang langgang mengira
Read more
24. Karmila
Ting tong!Hendi mengernyit, beberapa saat lamanya dia mematung seakan-akan baru pertama kali mendengar bunyi bel pintu. “Aku enggak order makanan, siapa yang datang?” gumam Hendi.Kanjeng Ratu berdecak kesal. Dia sudah tahu siapa yang datang sebelum Hendi membuka pintunya. “Kenapa manusia satu itu sampai datang kemari? Aromanya saja sudah membuatku muak. Aku tidak tahan setiap kali ada dia.” Setelah berkata begitu dia menghilang begitu saja.Bel pintu berbunyi lagi, kali ini dibunyikan berkali-kali, tidak sabaran.“Iya, iya, sebentar!” Hendi bergegas berjalan menuju pintu, membukanya.“Halo, Bang!” Seorang perempuan muda berkepala plontos nyengir dari balik pintu. Dia Karmila.Hendi tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.“Aku datang karena diundang sama ibumu lewat telepon," ujar Karmila memberi penjelasan singkat, mengingatkan Hendi bahwa sebelumnya mereka sudah pernah bertukar nomor telepon saat bertemu di rumah sakit.“Hah? Mama?”Dari belakang Hendi, Nurlaila datang. “Karmil
Read more
25. Keris
Hendi ingin bertanya lebih lanjut mengenai keluarga Karmila, tetapi urung. Dia bisa melihat tembok tebal yang sengaja dipasang Karmila untuk menghalanginya. “Setiap orang punya rahasia,” batinnya.Sepi sesaat yang kemudian pecah oleh bunyi-bunyi dari dalam perut Karmila. Hendi menoleh, wajah Karmila memerah.“Kamu pasti lapar, ya?” Hendi tersenyum geli. “Tungguin, deh, aku keluar dulu beli nasi padang.” Hendi beranjak keluar kamar.“Lauknya dua ya, Bang!” Karmila berseru.Hendi geleng-geleng kepala sambil tetap tersenyum geli. Saat itu di matanya, Karmila nampak seperti kucing liar yang kelaparan dan tidak punya rumah. “Bedanya cuma satu, kucing liar yang ini gundul,” kembali Hendi membatin sambil tertawa sendiri.Tidak lama kemudian Hendi sudah melaju dengan kendaraannya menuju restoran yang tidak jauh dari rumahnya. Dia mengambil jalan yang biasa, jalan yang sama dengan yang sering dia lewati. Awalnya tidak ada yang aneh, dia sudah hapal dengan pemandangan yang ada di kanan kiri jal
Read more
26. Jimat
Keberadaan Karmila memang mengubah semuanya. Episode manik depresif Nurlaila semakin berkurang, nyaris hilang. Kondisi mental perempuan paruh baya itu jadi lebih stabil dari hari ke hari.“Karmila, kamu sedang apa?” Dari balik jendela kamarnya, Nurlaila menyapa Karmila yang tengah bermandikan peluh di kebun yang ada di samping jendela kamar Nurlaila.“Oh, aku sedang cabutin rumput, Mah, ternyata banyak harta karun di sini, ya?” Karmila menjawab sambil cengengesan.“Hah? Harta karun apa?”“Sini, Mah, aku tunjukkan!” Karmila melambaikan tangannya meminta Nurlaila untuk keluar dari kamarnya.Nurlaila tersenyum ragu. Sejak dari rumah sakit dia belum pernah sama sekali melangkahkan kakinya bahkan sekedar ke teras rumah. Sesuatu menahannya di rumah itu, atau lebih tepatnya lagi, sesuatu mengancamnya. Bayangan hitam yang membuntuti Nurlaila saat dia mengalami kecelakaan belum sepenuhnya hilang, setidaknya dari dalam pikirannya. Baik ketika dia terjaga atau tertidur, bayangan hitam yang sama
Read more
27. Perempuan
Karmila melongo, tidak mampu berkata-kata. Dia masih tidak dapat memercayai pendengarannya, apakah Hendi benar sedang melamarnya?Tawa Hendi seketika meledak. “Bercanda! Mukamu gitu amat, sih?”“Ck! Kalau Abang kayak gini ke cewek lain, udah pasti kena gampar!” Karmila cemberut.“Ikut aku, yuk!” Hendi berdiri, serta merta menarik tangan Karmila tanpa menunggu jawaban darinya.“Eh, ke mana?”Hendi meraih helm, memakaikannya pada Karmila, sambil menjawab, “Ke dukun.”“Hah? Mau ngapain ke dukun? Aku enggak ikutan, ah, serem amat!”Karmila berusaha menolak, tetapi Hendi tidak peduli, dia mendorong-dorong Karmila, memaksanya untuk membonceng motornya.“Sudahlah! Daripada bengong aja di rumah, kan? Entar malah kesambet uka-uka!” seloroh Hendi sambil naik ke atas motornya. “Sini, cepat!” Hendi menepuk-nepuk jok belakang motor.Karmila akhirnya menurut, dia melompat ke atas boncengan motor sambil menggerutu.“Pegangan, ya!” perintah Hendi lagi.Karmila melingkarkan tangannya ke pinggang Hendi
Read more
28. Mantan
“Kamu ngomong apa?” Hendi berdiri dari kursinya, mendorong Dirga sekadar untuk mendapatkan perhatiannya.Dirga memalingkan wajahnya dari Karmila, ganti mendelik kepada Hendi. “Ada urusan apa kamu dengan Karmila?”“Aku yang harusnya tanya begitu!” Hendi kembali mendorong Dirga dengan kasar.“Kuingatkan, kau sudah dua kali mendorongku. Kau belum puas, ya, kubikin babak belur kemarin itu? Ayo, keluar! Aku enggak mau bikin keributan di sini.” Dirga menantang Hendi.Melihat situasi di antara keduanya semakin memanas, Karmila buru-buru menengahi. “Tolong, hentikan, Guys! Orang-orang pada lihat ke sini, tahu?”Dirga menghela napas panjang, lalu menarik kursi kosong, duduk di antara Hendi dan Karmila. “Aku menuntut sebuah penjelasan,” ujarnya dingin.Hendi menatap Karmila bingung.“Duduk, dulu, Bang,” pinta Karmila.“Bang? Kamu panggil si Brengsek ini dengan sebutan Abang, tapi kamu langsung memanggilku dengan sebutan nama?” Dirga memandang Karmila dengan gusar. “Kamu kira, berapa usia bocah
Read more
29. Pisau
“Jangan membantahku, Karmila! Suka atau enggak, kamu harus ikut aku pergi!” Sekonyong-konyong Dirga mengangkat tubuh mungil Karmila, membopongnya begitu saja bagai membawa sekarung beras di atas pundaknya.“Dirga! Apa-apaan, sih, kamu!” Karmila mencoba melawan, tetapi kekuatannya tidak ada artinya dibandingkan dengan Dirga.Dirga membawa Karmila keluar dari kedai, Hendi cepat-cepat menyusulnya setelah sebelumnya dia meletakkan lembaran uang ke atas mejanya.“Kau mau bawa Karmila ke mana?” teriak Hendi.“Pulang! Aku akan mengurusmu nanti,” bentak Dirga. “Karmila!” Hendi kembali berteriak, memanggil nama Karmila.Karmila menepuk-nepuk pundak Dirga. “Hei, raksasa! Turunkan aku! Aku janji akan ikut denganmu, tapi aku enggak mau pergi begitu aja. Ada yang harus aku bicarakan dengan Bang Hendi.”“Apa aku bisa percaya sama kamu?” Dirga bertanya.“Oh, please, Dirga! Jangan bersikap seperti bocah!” Karmila memutar bola matanya kesal.Dirga pun menyerah dengan keinginan Karmila. Dia
Read more
30. Kerasukan
Untuk kesekian kalinya darah bisa saja kembali tumpah di dalam kediaman almarhum Suroso, satu nyawa lagi bisa hilang, andai Hendi terlambat menghindar. Sedikit lagi, pisau Nurlaila akan menusuk tepat ke ulu hatinya. Hendi selamat, meski pisaunya sempat menggores lengannya.“Mama, maaf, tapi aku terpaksa harus menghentikan Mama.” Hendi menangkis serangan Nurlaila, menangkap tangan Nurlaila yang menggenggam pisau, lalu berusaha sedemikian rupa sampai Nurlaila menjatuhkan pisaunya itu.Pisaunya memang terlepas sudah, tetapi situasinya belum aman untuk Hendi. Nurlaila tidak dalam keadaannya yang wajar. Sesuatu yang ghaib telah merasuki pikirannya sehingga dia mampu melakukan hal-hal yang diluar akal sehat. Nafsu membunuhnya masih belum sirna. Mata Nurlaila yang hanya tinggal satu seakan-akan menyorotkan dendam membara yang berkobar bagai api, memberangus kewarasannya sekaligus.“Mati! Kau harus mati, anak durhaka!” Nurlaila menyerang Hendi dengan tangan kosong, membabi buta.Hendi hanya b
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status