All Chapters of Unexpected Wedding: Chapter 151 - Chapter 160
206 Chapters
S2~151
Kacau. Intan tidak pernah menduga, masalahnya dengan sampai bisa menimbulkan perkelahian seperti sekarang. Karena panik, Intan tidak hanya menghubungi Lintan, tetapi ia juga menelepon Widi. Hanya dua hal tersebut yang bisa Intan lakukan, karena sebagai wanita hamil, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Karena bimbingan belajar berjarak tidak sampai satu kilometer dari kafe yang didatangi Intan, maka Widi bisa datang lebih dulu ke tempat kejadian. “Saya, minta maaf, Bu,” ujar Intan tertunduk di depan Widi. Merasa bersalah, karena semua hal ini terjadi gara-gara Intan. Widi menghela. Beralih dari Intan tanpa mengucapkan satu patah kata. Ia menatap Fajar dengan luka, dan lebam di wajah sembari menggeleng. “Sejak kapan, kamu jadi preman seperti ini?” Fajar yang duduk di sudut kafe, hanya terdiam. Sementara Safir, sudah pergi entah ke mana seusai orang-orang di sekitar melerai mereka. “Sekarang, pulanglah ke rumah.” Karena tidak mendapat respons apa pun dari Fajar, maka lebih baik Widi
Read more
S2~152
“Intan tadi nelpon,” Lintang berujar setelah Raga duduk di tangga teras rumah mereka. Suaminya itu baru sampai dari kediaman utama Sailendra, dan segera menghampiri Lintang yang tengah memegang stik remote control mobil listrik yang tengah Rama gunakan. “Katanya mau pindah dari kosan.”“Kapan?” Raga mengambil alih stik remote control dari tangan Lintang, dan kini, ialah yang memegang kemudi mobil yang dinaiki Rama. Padahal, Rama sudah bisa mengemudikan mobil listriknya sendiri, tetapi masih saja terlalu manja bila bersama Lintang.“Katanya terserah kita.” Lintang langsung mengalungkan tangan di lengan Raga, dan merebahkan kepalanya di pundak sang suami.“Kalau kamu nggak capek, besok kita jalan beli furniturenya.” Sembari terus mengemudikan mobil listrik Rama, Raga menceritakan semua hal yang terjadi di kediaman Sailendra. “Mana ke mana?”“Sama Eni di dalam, lagi tidur di depan tivi.” Saat kembali mengingat keributan yang diceritakan Intan, Lintang pun berceletuk. “Mas Fajar, ternyata
Read more
S2~153
“Pa!” panggil Lintang sudah berdiri di depan Raga, sembari mengusap punggungnya yang terasa pegal. “Furniturnya sudah kubeli semua, tinggal ke toko elektronik.” “Yakin sudah semua? Nggak ada yang kelewat?” tanya Raga sembari memajumundurkan stroller Mana yang ada di depannya. Bocah itu tengah tertidur, dan Raga sejak tadi menjaganya, selagi Lintang membeli furniture untuk rumah yang akan ditempati Intan. Tatapan Raga beralih pada Rama yang memeluk Lintang dari samping. Kenapa putranya bisa selengket itu dengan Lintang, tetapi tidak dengan Raga? Padahal, sejak ada Mana, Raga lebih sering menghabiskan waktu dengan Rama, tetapi putranya tidak pernah memeluknya seperti itu. “Sudah,” angguk Lintang sembari mengacak-acak rambut Rama. “Diantar besok siang semuanya.” “Oke, kita ke toko elektronik kalau begitu.” Saat hendak memasukkan ponsel yang sejak tadi digunakannya, benda persegi itu lantas berbunyi singkat. Raga menyempatkan membacanya, karena pengirimnya adalah sang adik, yang sudah
Read more
S2~154
“Waah, rumahnya jadi kelihatan luas.” Intan melewati pagar rumah Lintang, sembari membawa Mana dalam gendongannya. Meskipun terasa semakin berat, tetapi Intan ingin sekali menggendong balita tampan yang semakin pintar itu. Nuansa putih minimalis yang terlihat sangat bersih, benar-benar terlihat sangat melegakan. Belum lagi, ada taman kecil yang tepat berada di depan teras, yang membuat rumah Lintang yang sekarang terlihat semakin asri. “Ibu sama bapak ke sini nanti malam,” ujar Lintang sembari membuka pintu rumah, lalu memasukinya. Intan tercenung. Benar-benar belum siap, jika harus bertemu dengan Retno dan Ario yang akan berkunjung nanti malam. “Biar saya yang bawa Mana, Mbak,” pinta Eni sembari mengulurkan kedua tangannya di hadapan Mana. “Mbak Intan biar bisa bebas lihat rumah sama bu Lintang di dalam.” “Iya, Sus.” Intan akhirnya menyerahkan Mana ke tangan Eni. “Lumayan gendongannya sekarang. Bentaran aja sudah pegel.” “Nyusunya kuat, Mbak,” kata Eni sembari merebahkan Mana d
Read more
S2~155
“Ma-Mas Safir.” Intan terpaku. Menatap lurus pada Safir, yang kini juga tampak terkejut melihatnya. Kaki Intan seolah berat untuk melangkah, ketika memandang Safir akhirnya berjalan dengan tatapan bingung menghampirinya.“Bu Imar?” Safir justru lebih dulu menyebut nama Imar, yang berdiri di samping Intan. Apa maksud dari ini semua? Rasanya tidak mungkin, bila Imar berhenti dari kediaman Sailendra. Terlebih, saat ini ada Intan yang masih terpaku di samping wanita paruh baya itu. Apa ini termasuk rencana Raga? Meminta alamat Safir, lalu mencari kontrakan di sekitar sini untuk Intan? “Ngapain di sini?”“Mas Safir tinggal di sini juga?” tanya Imar, kembali melihat rumah yang pagarnya ditinggalkan dalam keadaan separuh terbuka. “Apa, lagi ke tempat temannya?”“Sebentar?” Intan akhirnya bersuara, menatap tanya pada Imar. “Mas Safir tinggal di sini juga? Gimana maksudnya, Bu?”Imar sontak melipat bibir, menatap Safir. Sepertinya, Intan belum tahu mantan suaminya itu diusir dari kediaman Sail
Read more
S2~156
“Bawa sebentar.”Belum sempat Safir membuka mulut untuk protes masalah Intan, Raga sudah menyerahkan Mana ke gendongannya lebih dulu. Safir yang sama sekali tidak pernah menggendong bayi, jelas saja kebingungan. Bagaimana bila Mana bergerak-gerak, menggeliat, atau menangis di tangannya?Lantas, haruskah Safir mendekap Mana dengan erat, atau melonggarkan pelukannya saat ini? Atau, bagaimana bila Mana tiba-tiba terjatuh dari gendongannya? Raga pasti akan membunuh Safir detik itu juga.“Mas—““Aku mau ke kamar mandi,” sahut Raga berjalan cepat memasuki rumah yang ditempati Safir tanpa permisi. Karena bangunannya pasti sama dengan rumah yang ditempati Intan, maka Raga tidak perlu lagi bertanya di mana letak kamar mandinya. Lagi pula, perumahan yang ditempati Safir dan Intan, ukurannya tidaklah besar. Jadi, pasti sangat mudah untuk menemukan kamar mandi di rumah tersebut.“Merepotkan!” desis Safir lalu melihat lurus pada rumah di seberangnya, sembari mendekap erat tubuh Mana dalam pelukann
Read more
S2~157
“Masak apa, Bu?” Raga langsung menyelonong ke dapur, karena mencium aroma masakan yang membuat perutnya mendadak kembali minta diisi. Melihat ada bakwan sayur, dan tahu isi di atas meja makan, Raga segera duduk di samping Lintang, lalu menyomot satu buah tahu isi sembari memangku Mana. “Sayur asem, Mas. Telur ceplok, sama empal daging,” jawab Imar lalu mematikan kompornya. “Mas Raga mau makan? Biar saya siapin.” “Boleh, Bu,” jawab Raga. “Nasi sama sayurnya sedikit aja, empalnya banyakin. Nggak usah telur.” Lintang berdecak, lalu mengambil Mana dari pangkuan Raga. “Papa tadi sudah sarapan sama Rama, tapi masih mau makan lagi?” “Lapar lagi, Ma.” Sambil mengunyah tahu isinya, Raga memandang Intan yang duduk berseberangan dengan Lintang. Raga yakin, Lintang sudah menjelaskan perihal Safir yang ternyata tinggal di depan rumah Intang. Tidak ada unsur kesengajaan, karena baik Raga maupun Lintang, juga sama-sama terkejut mendapati kenyataan tersebut. “Kalau Safir buat masalah, kamu bisa la
Read more
S2~158
Sejak pindah rumah, Safir hanya sekali bertatap muka dengan Intan. Yakni, pada malam Intan menutup pagar dengan kasar tepat di depan wajahnya, dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Tidak hanya itu, Intan tanpa ragu mengusir Safir dengan terang-terangan, dan itu wajar. Intan berhak marah marah dan sangat membencinya. Safir pun tidak mau mempermasalahkannya.Namun, yang membuat Safir bingung ialah, Imar selalu mengirimkan sarapan pada Safir atas perintah Intan setiap harinya. Untuk itu, Safir jelas tidak akan menolak, karena hal tersebut juga akan menghemat pengeluarannya.Apa sebenarnya yang diinginkan Intan? Apa dengan mengirimkan sarapan setiap hari, gadis itu berharap hati Safir akan melunak?Sebenarnya, dengan kondisi Safir sekarang, ia membutuhkan pekerjaan yang mampu menyokong hidupnya dengan baik. Safir pun yakin, ia sebenarnya juga bisa mendapatkan satu pekerjaan mumpuni di perusahaan yang bonafide.Akan tetapi, ada konsekuensi besar yang harus Safir tanggung, bila ia berani
Read more
S2~159
“Kenapa berhenti di sini?” Fajar menoleh ke belakang, setelah menghentikan motornya di tepi jalan. Lembaga bimbingan belajar yang mereka tuju, hanya berjarak sekitar 300 meter lagi, tetapi Intan sudah memintanya menepikan motor. Sepanjang jalan, mereka memang lebih banyak diam, karena topik pembicaraan yang akan mereka lakukan tidak cocok dilakukan dalam perjalanan. Mereka harus duduk berdua, dan membicarakan semuanya dengan serius. “Mumpung kursinya ada yang kosong, Mas,” kata Intan menunjuk kursi besi yang berada di trotoar, sembari turun dari motor Fajar. “Terus di situ nggak panas.” Ia melepas helm, kemudian memberikannya pada Fajar. Intan berjalan lebih dulu, lalu duduk dan tinggal menunggu pria itu menghampirinya. Intan masih ingat, bagaimana tatapan tajam Safir tertuju padanya, ketika ia berangkat kerja diantar oleh Fajar. Pria itu tidak bisa melakukan hal apa pun, karena akan ada hukuman yang menanti, bila Safir berani membuat keributan lagi dengan Fajar di tempat umum. Nam
Read more
S2~160
Dugaan Lintang benar, Biya saat ini sedang bersama Rama, juga Anwar di halaman samping rumah. Ternyata, Anwar membelikan Rama sebuah mobil-mobilan listrik dan remote controlnya saat ini sedang berada di tangan Biya.Lintang benar-benar bingung dengan sikap Rama. Bocah itu senang sekali bermain mobil-mobilan, tetapi malas sekali mengemudikan mobilnya sendiri. Ia lebih senang duduk santai di atas sana, dan membiarkan seseorang mengendalikannya.“Rama … ayo masuk,” ajak Lintang hanya berdiri di sudut rumah, tanpa ingin mendekati Anwar yang berada di sebelah Biya. “Kita mau pulang bentar lagi.”Ketiga orang yang berada di taman tersebut, kompak menoleh pada Lintang.“Kenapa buru-buru pulang?” Anwar melambai pada Lintang, dan meminta putrinya itu agar datang menghampiri. Bukan hanya berdiri di sudut rumah. “Sebentar lagi makan siang, tinggallah dulu.”Lintang menggeleng, dan enggan menghampiri karena ada Biya di sana. “Mas Raga ada perlu, Pak, jadi, kita mau pergi bentar lagi.”Anwar tahu
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
21
DMCA.com Protection Status