Semua Bab Sang Dewa Perang Terkuat : Bab 581 - Bab 590

Mendengar raja muda yang sedang mengamuk itu, Dylan yang berdiri paling dekat dengannya itu pun berkata pelan, “Tenanglah, Yang Mulia.”“Tenang? Bagaimana bisa aku tenang? Wilayah inti kerajaan ini sedang diserang oleh kerajaan lain. Bagaimana bisa kau berharap aku diam saja?” balas Xylan dengan nada suara keras.Setiap orang yang mendengarkan perkataan Xylan, sudah tentu langsung tahu bahwa raja muda itu sedang tidak bisa menahan marah. Dengan kata lain, amarahnya sedang memuncak.Sebetulnya mereka pun tahu bahwa reaksi Xylan tergolong sangat wajar. Tidak mungkin ada yang mau kerajaannya diacak-acak. Apalagi istana itu memiliki banyak sekali kenangan penting dan merupakan tempat kendali utama.Xylan tentu saja tidak mungkin membiarkan musuh mereka melakukan keinginannya.“Yang Mulia, maksud saya … tidak seperti itu,” kata Dylan dengan terbata-bata.Xylan mendengus kesal, tapi tidak mengeluarkan perkataan apapun.Jim yang berdiri di samping Dylan pun mencoba berbicara, “Yang Mulia, sa

Setelah mendengar nama itu, James hanya terpaku menatap pangeran muda dengan tatapan kosong.Otaknya benar-benar macet selama beberapa saat, sampai-sampai Gary mendengus keras, “Astaga! Kau sama sekali tidak ingat kepadanya?”“Ah, kalau Evan De Kruk tahu kau tidak mengingat dia, dia pasti akan tersinggung. Dia mengingatmu selama beberapa tahun dan menetapkan kau sebagai musuh abadinya. Bagaimana bisa kau melupakannya?” lanjut Gary.James tersadar segera dari lamunannya. Sungguh, berapa kali pun dia mencoba untuk mengingat tentang seseorang yang pernah dilawan olehnya dalam sebuah perang olehnya tidaklah semudah yang dipikirkan.Namun, dia tetap menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka bicarakan ini tidaklah sepenting itu. Kemampuan bertarung orang itu pastilah di bawah rata-rata.Gary yang melihat sorot mata bingung penuh kebingungan James pun kembali berbicara, “Oh, kau menjengkelkan, Jenderal Gardner. Sebenarnya seberapa sering kau menemukan seorang pangeran yang juga menja

“Bukan Raja De Kruk, Riley,” Reiner berkata dengan kening mengerut seraya memberi tatapan cemas.Riley membalas dengan alis kiri terangkat, “Apa maksudmu? Lalu, siapa?”“Jenderal Perang Kerajaan De Kruk. Ah, maksudku mantan jenderal perang kerajaan sialan itu,” Reiner menjawab pelan.Riley terdiam sejenak, mencoba berpikir serius. Dia jelas ingat memang pernah berperang dengan kerajaan yang satu itu. Semakin dia mencoba mengingat, dia langsung menemukan sebuah hal penting yang terjadi saat itu.Reiner mengamati ekspresi temannya itu dan berujar, “Kau ingat dia?”Riley membalas dengan nada sebal, “Aku bukan James. Tentu saja aku ingat dia.”Sungguh, andai saja kedua orang itu tidak dalam situasi yang darurat, Reiner akan tertawa terbahak-bahak.Sayangnya, situasi saat itu bukan situasi yang tepat untuk menertawakan sesuatu sehingga Reiner hanya berujar, “Kau

Sementara itu, di dalam salah satu pesawat tempur milik Kerajaan De Kruk, seorang pria berusia 36 tahun menatap lewat jendela, sedang tersenyum puas melihat kehancuran beberapa wilayah utama Kerajaan Ans De Lou.Matanya berkilat di saat dia melihat betapa kerajaan itu hampir berada di bawah kakinya.Seorang bawahan tiba-tiba mendekat, “Yang Mulia.”Senyuman Evan De Kruk langsung pudar dan dengan segera dia menoleh dengan tatapan dingin pada orang yang telah mengganggu kesenangannya itu. Terlebih lagi dia mendengar orang itu memanggilnya dengan ‘Yang Mulia’? “Kau memanggilku apa?” tanyanya dengan tatapan dingin menusuk. Evan berdiri dari kursinya. Sang bawahan langsung pucat pasi. Kakinya mendadak gemetar tapi dia tidak bisa bergerak karena sang pangeran tidak memberinya perintah untuk melakukan itu.“Kau tidak tahu atau memang kau sudah bosan hidup?” Evan bertanya dengan nada suara mengerikan.Dia sungguh-sungguh membenci siapapun yang memanggilnya dengan cara seperti itu. Dia tid

Melihat Maxen tidak menjawab perkataannya, Thomas berujar lagi dengan nada cepat, “Apa yang harus aku lakukan jika aku tak memiliki seorang pengganti? Apa jadinya kerajaan ini tanpa adanya raja? Kau mau kerajaan ini dijajah dan diambil alih oleh kerajaan lain?”Maxen Jones, sang perdana menteri berusia tiga puluh lima tahun itu seketika menundukkan kepala, tidak sanggup balas menatap sang raja. Dengan perlahan dia pun akhirnya memberanikan diri menjawab, “Yang Mulia, saya mohon ampun. Saya-”“Sudahlah,” sela Thomas, terlihat kesal tapi juga lelah.Dia memutar arah pandangnya lagi pada monitor di depan dan terdiam selama beberapa saat seraya menatap monitor tersebut dengan serius. Maxen mulai khawatir. Ah, dia sangat benci situasi dan kepekaan dirinya. Dia telah mengawasi perkembangan cara berpolitik raja yang usianya hanya tiga tahun lebih tua darinya itu. Berkat hal itu, dia bisa menebak jalan pikiran Thomas.Ketika Thomas sedang terdiam seperti itu, biasanya dia akan membuat keput