“Apa…” Belum sempat Carlos tahu apa yang terjadi padanya, tendangan datang menghantam pipinya. Mematahkan rahangnya kemungkinan, karena Carlos menjerit kesakitan. Pengunjung yang tadinya masih menari, mulai menyadari adanya keributan, dan menyingkir. Memperlihatkan Carlos yang berusaha bangun. “SIALAN!” Carlos memaki, tapi amarahnya musnah saat akhirnya bisa melihat siapa atau apa yang membuatnya kesakitan. Penyerangnya itu menghampiri dengan wajah seram, dan hawa pembunuh yang pekat. “Tunggu! Kau…” Carlos berusaha bangun dan mendapat bantuan. Tapi bantuan itu dalam bentuk kasar, karena Ed kembali meraih kerah dan lehernya tercekik lagi. Ed menarik dan mengangkatnya dari tanah, agar mereka bisa berdiri berhadapan. Wajah Carlos yang kebingungan dengan cepat menjadi sangat pucat dan gemetar saat menyadari siapa pria yang berdiri di di hadapannya . Ia belum pernah bertemu dengan Ed, tapi sudah mendengar kabar kalau pewaris dari keluarga Rosas rusak karena kecelakaan. Dan wajah itu te

“Tolong berikan ini pada Senora Rosas begitu beliau sadar. Akan membantu menetralisir obat dalam tubuhnya.” Dokter menunjuk dua kotak susu murni yang masih tertutup rapat. Ed mengangguk sementara matanya memandang perawat yang tengah memperbaiki posisi tiang infus dan selang agar tidak tertindih tangan pasien. “Panggil saja saya kalau Anda memerlukan sesuatu.” Dokter itu mengangguk dan keluar. Sikapnya amat resmi, karena tentu tahu kalau orang yang memastikannya tetap mendapat gaji setiap bulan adalah Ed. “Syukurlah tidak terjadi komplikasi apa pun. Semua organnya baik-baik saja.” Javier yang masih menemani duduk dan menatap Liz. Dokter sudah menjelaskan keadaannya, dan tidak ada kerusakan serius karena mereka bisa menemukan obat yang tepat. Ed tampak mengangguk dan duduk di samping ranjang. “Sepertinya ini pertama kali ia meminum obat seperti itu.” Ed mengulang apa yang dikatakan oleh Dokter. Keadaan lain yang membuat keadaan Liz tidak menjadi sangat buruk. Liz mungkin mencerna

Jangankan menyiapkan, Ruby bahkan tidak ingat tentang hal yang dikatakan oleh Ed itu. Semua ingatan Ruby hanya tersisa lampu berwarna-warni, musik yang keras dan banyak orang. “Kau sangat menikmatinya sampai lupa, atau kau menganggap semua itu biasa, sampai kau bingung pria mana yang aku bicarakan?” Ed menyeringai sinis. Ruby yang masih sibuk menyusun ingatan dan mencoba mencari alasan, kembali harus menunduk. Ia tidak tahu harus menyebut apa dan bagaimana, karena dilihat dari sisi manapun ia memang bersalah. Mungkin seharusnya ia lebih tegas menolak saat Lori mengajaknya. Tapi ia harus menjadi Liz. Akan sangat mencurigakan juga kalau tiba-tiba saja menolak semua kehidupan itu. “Aku ingat.” Ruby separuh berbohong, karena pilihan itu lebih baik daripada penjelasan lain yang disebut oleh Ed tadi. Pilihan tidak tahu pria yang mana mengesankan dirinya sangat murahan. “Aku tidak bermaksud untuk menjadi seperti ini. Aku hanya sedang bosan setelah beberapa lama selalu di rumah. Jadi… Ak

“Anak itu hanya bodoh. Saya mohon. Itu anak saya satu-satunya.” Gagal mencoba beralasan, Miguel murni memohon belas kasihan. “Istriku juga hanya satu-satunya itu, dan anakmu memilih untuk menggodanya dibanding wanita lain yang ada disana,” balas Ed, sambil kembali menyesap minumannya. Melirik ke arah Marco yang perlahan, menegakkan tubuh. “Tapi… tapi… Saya mohon ampuni dia. Itu kebodohan semata, nafsu yang tidak bisa tertahan.” Miguel kembali mengiba. “Saya mohon Anda tidak membesarkan masalah ini. Saya mengerti kemarahan Anda, tapi saya rasa penyelesainnya tidak harus seperti ini. Saya yakin mereka hanya terbawa suasana dan keadaan, tidak bermaksud serius. Pergaulan di tempat itu bisa menjadi tidak jelas karena pengaruh alkohol dan obat. Orang-orang seperti itu mudah sekali melakukan kesalahan.” Marco akhirnya ikut membujuk, dengan cara yang salah. Marco mengucapkannya dengan jernih dan ramah, tapi baru saja menuduh Liz menerima godaan Carlos—bukan hanya salah Carlos kalau mereka

“Aku hanya malas mengganti.” Ruby mengucap lirih sambil meraih ponsel yang ditenteng dengan wajah jijik oleh Lori. Mempunyai ponsel itu sepertinya setara dengan aib di kalangan orang kaya. Lori masih mendesak sambil menggelengkan kepala tidak percaya, tapi alasan itu lebih bisa diterima—tidak mengesankan Ruby harus berhemat. “Aku batalkan. Eduardo sudah benar. Ini cocok untukmu. Ia pintar karena menyesuaikan dengan kebutuhanmu. Ini manis.” Lori membatalkan tuduhan terlalu cepat itu, dan membuka kotak ponsel itu untuk Liz. “Hoo… Custom.” Lori membelalak saat melihat bagian belakang ponsel yang amat berkilau itu tidak seperti normal umumnya. Ruby menerima, dan menatap dengan takjub. Tentu saja itu ponsel paling bagus dan mewah yang pernah dimilikinya. Ponsel itu tidak besar, dan bahkan bisa dilipat menjadi lebih kecil lagi. Memang model terbaru yang biasanya hanya dilihat gambarnya oleh Ruby menempel di bus ataupun televisi. “Daun apa?” Ruby bertanya sambil menunjuk custom case yang