All Chapters of Pernikahan Penebus Hutang: Chapter 11 - Chapter 20
23 Chapters
Chapter 11
Sintia menguap, berdiri di samping ibunya yang tengah memotong sayuran di dapur. Tangannya meraih gelas dan menuangkan aor putih ke dalamnya. Ibunya melihatnya dengan pandangan kesal.“Anak perawan jam segini baru bangun,” kata Bude Rani. “Gak malu sama ayam tetangga?”Sintia meletakkan gelas kosong seraya menguap. “Namanya juga ngantuk, Bu.”“Semalam darimana?” tanya BUde Rani lantas melanjutkan memotong wortel. “Jam berapa pulang?”“Nganter Raya ke dokter.”Bude Rani memandang Sintia sekilas. “Raya sakit apa?”“Bukan sakit, Bu.”“Lha, terus?”“Ibu mau jadi nenek!” Sintia menjawab antusias dengan senyum tersungging lebar di bibirnya.Bude Rani menghentikan aktifitasnya, memandang anak semata wayangnya itu dengan melotot. “Jadi nenek? Maksudmu?”Sintia menghela nafas. “Ya, kalau Ibu mau jadi nenek, artinya Raya hamil, Bu!” jawabnya kesal.“Ha …. Hamil?” tanya Bude Rani kaget.Sintia mengangguk pelan. “Betul sekali!”“Kok bisa?” Bude Rani berteriak tidak percaya. “Sama siapa?”Sintia m
Read more
Chapter 12
Sepagi ini Raya telah bersiap-siap. Ia mengenakan dress selutut warna cream dengan cardigan warna senada. Rambutnya yang panjang sebahu dikuncir kuda. Ia tidak banyak berdandan karena memang tidak bisa. Wajahnya hanya dipoles dengan bedak tipis dan bibirnya hanya menggunakan lipgloss warna pink.Tadi malam Pakde Suroso meneleponnya. Tanpa ada angin ataupun hujan, beliau mengabarkan sesuatu yang cukup membuat Raya senang.“Nyonya Kinasih mengajakmu bertemu besok, Ya,” kata Pakde Suroso.“Besok, Pakde?” tanya Raya ragu-ragu karena tak percaya Nyonya Kinasih mengajak bertemu.“Kenapa?” Pakde Suroso balik bertanya. “Kamu ada acara besok?”“Oh, tidak!” cepat-cepat Raya menjawab. “Besok saya bisa.”“Baguslah,” nada lega tersirat dari suara Pakde Suroso. “Nyonya Kinasih mau makan siang sama kamu.”Mata Raya berbinar. Makan siang bersama? Semoga ini bisa menjadi pertanda baik akan hubungannya dengan mertuanya itu.“Dimana, Pakde?” tanya Raya tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.“Di v
Read more
Chapter 13
Perlahan Raya membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu mengamati sekeliling. Ia tengah berada di sebuah kamar yang baru kali ini lihat. Luas dan lebar. Perlahan ia duduk, mengumpulkan semua ingatan di dalam benaknya. Kepalanya sedikit pusing dan berat.Belum hilang ragunya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Masuklah sosok Pakde Suroso dengan membawa sebuah cangkir.“Sudah bangun kamu, Ya?” tanyanya seraya meletakkan cangkir itu di nakas.Raya mengangguk bingung. “Kenapa saya sampai di kamar ini, Pakde?”“Kamu tidak ingat yang terjadi?”Raya menggeleng pelan. Ingatan terakhirnya adalah di dalam mobil setelah Pakde turun di minimarket.“Tadi kamu itu pingsan di mobil,” jawab Pakde Suroso seraya mengangsurkan cangkir yang ternyata berisi teh hangat pada Raya.“Pingsan?” tanya Raya seraya menerima cangkir dari tangan Pakde Suroso.“Entah kamu pingsan atau ketiduran, tapi dibangunin susah,” jawab Pakde Suroso. “Ayo sambil diminum tehnya, biar hangat.”Raya menyeruput teh itu sedikit.
Read more
Chapter 14
Suara derum kendaraan dari garasi mengagetkan Raya di kamarnya. Ia baru saja berganti pakaian sehabis mandi. Diintipnya dari gorden siapa gerangan yang datang ke rumahnya pagi-pagi begitu.“David,” katanya tak percaya sekaligus senang. Seharusnya baru besok suaminya itu pulang. Tapi kenapa tiba-tiba sepagi ini ia sudah sampai di rumah?Raya setengah berlari ke ruang bawah untuk menyambut David. Tapi belum sempat pintu ruang tamu dibukanya, David sudah mendorong pintu itu dari luar dengan kasar, hampir mengenai badan Raya.“David!” kata Raya tersenyum senang. “Kenapa sudah pulang?”David diam, berjalan melalui Raya. Raya tertegun, ia menginginkan depakan David seperti biasanya ketika pulang kantor. Tapi jangankan dekapan, senyuman saja tidak hadir di bibir David saat ini.“Ada apa?” tanya Raya pelan. “Adakah masalah di kantor?” Raya berjalan perlahan ke samping David yang berdiri bagai patung di dekat TV.“Pergi kau dari sini!” David berteriak, tanpa memandang Raya.Raya mengeryitkan k
Read more
Chapter 15
“Apa yang Bapak lakukan pada Raya!” teriak Sintia setengah menangis. Bapaknya yang sedang makan di ruang makan bersama ibunya terkejut bukan alang kepalang.“Eh, kamu itu gak sopan!” hardik ibunya. “Datang-datang teriak gak jelas! Bapakmu itu capek, tadi habis ngantar majikannya ke airport. Pulang-pulang malah anaknya ngomel begitu!”“Bapak fitnah Raya, kan?!” Sintia menggebrak meja.“Eh, kamu itu ngomong apa?” tanya Pakde Suroso berlagak tak tahu. “Asal menuduh kamu, ya!”“Minta maaf sama Bapakmu! Raya terus yang kamu bela. Sebenarnya ada apa dengan Raya?” ibunya menimpali.“Bapak sama Ibu itu sebenarnya tahu yang sebenarnya. Hanya berlagak bodoh, kan?” Sintia berkata sengit.Pakde Suroso menatap anak semata wayangnya itu. Rencananya rupanya telah berhasil, tapi dia tidak mempertimbangkan tentang putrinya ini. Pasti keadaan Raya pergi dari rumah akan tercium Sintia.“Bapak gak tahu apa-apa,” jawab Pakde Suroso datar. “Beneran!”“Bapak bohong!” elak Sintia. “Raya tadi telepon aku, dia
Read more
Chapter 16
Hari berganti, bulan berlalu, tak terasa enam tahun terlewati tanpa ada kabar sedikit pun dari Raya.***David meletakkan map di meja kerjanya. Pekerjaan terakhir yang mampu ia selesaikan hari ini. Ia melirik arloji, sudah hampir jam lima sore. Ia menggeliat, meluruskan urat-uratnya yang menegang. Beberapa hari ini kesibukan luar biasa, bahkan keinginannya untuk pergi memancing dengan Rama akhir pekan kemarin berujung gagal.“Mau pulang duluan, Bro?” Rama tiba-tiba masuk menyerahkan beberapa map.“Rencananya begitu,” jawab David datar. “Atau kamu mau ikut denganku hari ini? Kita ke bar dulu?” David memasang senyum memancing.Rama mengibaskan dua tangannya. “Tidak!” jawabnya tegas. “Istriku bisa marah jika selama dua hari berturut-turut aku tidak segera pulang ke rumah!”David tergelak. “Sintia memang pemarah.”Rama duduk di kursi di depan David. Melihat tajam ke arah sahabatnya itu.“Why?” tanya David mencoba tersenyum. “Adakah yang salah?”“Cobalah membuka hati, Vid,” jawab Rama pela
Read more
Chapter 17
“Stop Andra! Hentikan!” jerit Raya tapi dengan suara yang diturunkan oktafnya. Mendengar jeritan Raya tidak membuat Andra berhenti menciumi leher kekasihnya itu. Nafasnya kian memburu, suara jeritan Raya bagaikan bisikan merdu di telinganya. Ia ingin semakin dalam menjelajahi tubuh Raya yang kini dengan erat dipeluknya. “Nanti Yasmin bangun!” Raya coba keluar dari dekapan Andra. “Raya sudah tidur sejak tadi,” jawab Andra seraya tersenyum nakal. “Tidak ada alasan menolakku malam ini.” Raya mendengus kesal karena tak bisa menolak. Tapi kekesalannya kian sirna, begitu tiap inci tubuhnya tak lepas dari ciuman dan belaian yang Andra berikan. Nafasnya kian memburu, suara desahan kian membuat Andra brutal untuk semakin menjamahnya. Hingga akhirnya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Lagi?” tanya Andra menggoda di sela nafasnya yang ngos-ngosan. “Capek!” Raya melotot seraya meletakkan kepalanya di dada bidang Andra. Ia memeluk tubuh lelaki itu, lelaki yang
Read more
Chapter 18
Yang dilihat dari David wanita yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Raya yang ia kenal enam tahun lampau. Raya yang ia kenal adalah wanita bersahaja yang tidak pernah kenal make up komplit di wajahnya, tapi Raya sekarang ini kebalikannya. Ia memakai bedak, eye shadow, eye liner, lipstik dengan warna yang ia senadakan dengan blush on di pipinya. Rambut Raya yang dulu tergerai panjang, sekarang dipotong bob di bawah kuping. Pakaiannya pun kali ini lebih aduhai, ia memakai kemeja pink berpotongan sesuai lekuk tubuh, dengan rok span hitam selutut yang juga dapat mempertegas pantatnya yang aduhai.Ini bukan Raya!Raya yang dulu selalu senang jika David memeluknya ketika ia pulang kerja. Tapi Raya yang ingin dengan gesit menepis pelukan tiba-tiba David ketika ia membuka pintu tadi.“Maaf, Pak, ini kantor!” katanya tegas. Tidak ada secuil pun hasrat atau kerinduan terpancar dari wajah perempuan yang dulu begitu mencintainya itu.“Kau darimana selama ini?” pertanyaan David parau menahan se
Read more
Chapter 19
Andra tersenyum ketika Raya membuka pintu kantor. Laki-laki perlente itu berdiri di samping Range Rover hitam miliknya. Ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja atasan putih yang tak dimasukkan dengan lengan digulung ke siku. Rambutnya bermodel curtain haircut yang diterpa semilir angin sore, menambah aura terpancar dari wajahnya. Aura seorang CEO perusahaan besar. Seorang CEO muda yang bisa jatuh hati pada gadis beranak satu dan tidak punya apa-apa seperti Raya. Sungguh hati manusia yang aneh! “Sudah lama?” tanya Raya. Andra menggeleng, menggaet pinggang Raya ke dekatnya lantas mendaratkan ciuman panas ke bibir kekasihnya itu. “Hey! Malu dilihat orang!” jerit Raya celingukan. Berciuman di tempat umum bukan sesuatu yang disenangi Raya. Andra terkekeh kecil, membukakan pintu untuk Raya. “Sudah makan?” tanya Raya ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju membelah hiruk-pikuk Jakarta. “Belum,” jawab Andra. “Tadi setelah dari kantor aku langsung jemput kamu.” “Aku ka
Read more
Chapter 20
Rama menghampiri Raya di meja kerjanya. Ia duduk di hadapan Raya yang sibuk dengan komputernya. Raya melihatnya sekilas tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Sintia ingin bertemu denganmu,” Rama memulai pembicaraan pelan.“Kau mengatakan padanya kalau aku kembali?” Raya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.“Tentu saja!” jawab Rama seraya menghempaskan badannya ke kursi. “Apa kau tidak ingin bertemu dengannya? Semalaman dia menangis ketika ku beritahu bahwa kau bekerja di kantor yang sama denganku.”Raya menghela nafas. “Aku akan ke rumahmu nanti….”Rama mengeryitkan kening. “Apa kau tahu alamat rumahku dan Sintia?”“Aku tahu semua tentang kalian. Tapi kalian yang tidak tahu apa-apa tentangku,” jawab Raya kali ini dengan menatap Rama.“Rupanya pacar barumu itu punya kuasa, ya ….” Kata Rama seraya menyilangkan kakinya.“Apa pedulimu?”“Kenapa kau sampai menjalin hubungan dengan Andra? Sementara David di sini seperti orang gila mengharapkanmu?” Rama bertanya tajam tapi dengan suara aga
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status