Semua Bab Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku: Bab 21 - Bab 30
59 Bab
Bab 20: Terluka
“Kami akan usahakan yang terbaik, Pak. Silakan Bapak tunggu dulu di luar.” Dokter muda itu tersenyum menenangkan sebelum kembali memasang wajah serius. Sementara dokter menangani Mei, pengemudi Grandmax mencari ponsel Mei di tas selempang yang tadi dikenakannya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan menemukan nama Prof. Amran di urutan teratas. Mei sengaja menyematkan pembicaraan dengan Amran agar chat dari profesor itu tidak tenggelam. Kadang, pembicaraan di grup-grup WhatsApp menenggelamkan chat-chat penting. "Halo, di sini Amran, Senior Lecture di Fakultas Pertanian Departemen Agribisnis. Apakah ada yang bisa saya bantu?""Maaf, Pak. Apakah Bapak kenal Mbak Meilina Salsabila Putri?" Suara pengemudi Grandmax bergetar. Sudah lima tahun dia menjadi sopir dan baru kali ini menabrak orang sampai tidak sadarkan diri. Ia pernah dua kali menyerempet pengendara motor dan keduanya tidak terluka parah. "Iya, Pak. Itu mahasiswa saya." "Saya Andi. Tadi saya menabrak menabrak Mbak Meilina di deka
Baca selengkapnya
Bab 21: Bantuan Lila dan Kebencian Andra
Bastian menatap Amran. "Blood for life masih mengusahakan Prof. Ini ada satu pendonor lagi katanya. Dia sudah otw ke sini.""Alhamdulillah." Amran bergumam tanpa membuka mata. "Semoga segera ada lagi." Alvin menambahkan. “PMI juga tadi sedang mengusahakan, Prof.” Tiba-tiba Amran teringat Lila. Ia pernah mengantar Lila donor. Perempuan itu juga mempunyai golongan darah O negatif. Segera dicarinya kontak Lila di note dan menghubunginya. Ia menjauhi Alvin dan Bastian. Lalu, dilihatnya Andra tengah berjalan cepat ke arahnya. "Aku butuh bantuanmu, La. Aku butuh pendonor O negatif." “Kebetulan kondisiku lagi fit. Eh, kok, kamu masih simpan nomor aku? Padahal aku hubungi nomor kamu sudah nggak aktif, lho.” “Aku lihat di akunmu.” Amran menyalami Andra yang sudah berada di depannya. “Jadi gimana? Kamu bisa donor?” “Tapi aku lagi males nyetir, nih. Kamu bisa jemput?” “Aku pesenin taksi online, oke? Biar lebih cepet.” “Pulangnya kamu anter?” “Nggak bisa, La. Aku mesti nunggu di sini.
Baca selengkapnya
Bab 22: Sampai Kapan Berbohong
Merasa ingin tahu lebih banyak tentang Alvin, Amran mengizinkan asistennya itu tetap di rumah sakit yang disambut senyum lega Alvin. “Ingat, saingan kamu dua singa sementara kamu cuma kucing jantan,” bisik Bastian sebelum pergi. Alvin melengos lalu menjauhi Bastian. Saat ini ia tidak sedang bertarung. Alvin hanya ingin menemani Mei melewati masa-masa kritis. Ia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum Mei sadar. Keesokan harinya, sebelum jam tujuh semua sudah berkumpul di depan ruang ICU. Mereka masih sempat bertegur sapa sesaat. Semua mulut mendadak terkatup rapat ketika pintu kaca terbuka dan perawat mendorong brankar menuju ruang operasi. Tanpa banyak bicara, mereka mengikuti di belakangnya lalu menunggu di depan ruang operasi. Aina dan Najma duduk di samping kiri dan kanan ibu Mei. Keduanya menggenggam tangan keriput perempuan seusia ibu Amran itu seraya merapal doa. Andra duduk di samping bapak Mei sementara Rangga memilih bersandar di sudut pembatas ruang tunggu. Alvin dan A
Baca selengkapnya
Bab 23
Amran duduk di samping ranjang. Ditatapnya paras pucat Mei dengan mata berkaca-kaca. “Hai, Mei. Lama sekali kamu tidur. Kamu mimpi apa sampai nggak bangun-bangun?” Suara lirih Amran beradu dengan bunyi alat-alat bantu di samping ranjang dan deru mesin pendingin. “Bangun, Mei. Nanti saya buatin teh paling enak.” Amran tersenyum getir. Hatinya benar-benar seperti gelas dibanting ke lantai. “Atau kamu mau dibuatin kopi? Apa saja yang kamu minta, saya buatin, Mei. Please, bangun, Mei.” Napas Amran tertahan ketika melihat kelopak mata Mei bergerak. Ia mendekat demi memastikan penglihatannya tidak salah. “Mei ....” Kedua mata Mei terbuka sempurna. Ia mengedarkan pandangan hingga bersitatap dengan Amran. “P-Prof Am-ran, sa-ya di ma-na?” Hati Amran seperti dipeluk embun pagi ketika mendengar suara Mei dan melihatnya membuka mata. Segala penat dan lelah lesap, sirna bersama udara. Ya, ampun, betapa tersiksanya aku nungguin kamu bangun, Mei. Hampir saja Amran menggenggam jemari Mei, tetapi o
Baca selengkapnya
Bab 24: Suapan Sang Profesor
Amran tersenyum. Separuh hatinya bersorak penuh kemenangan, separuh lainnya sedikit merasa bersalah. “Aku sudah sering diledekin anak-anak. Nggak cuma sama Mei.” Sembari menjajari langkah Andra, Amran mencoba mematikan api yang terlanjur disulutnya. “Kamu capek banget kayaknya. Deket sini ada homestay. Aku pesenin kamar, gimana? Kamu bisa istirahat dulu. Mumpung masih ada Aina dan Najma yang jagain Mei.” “Nggak usah, Bro. Nanti aku cari sendiri saja. Aku baru bisa ninggalin rumah sakit kalau Mei bener-bener sudah stabil kondisinya.”“Oke.” Amran tersenyum. Diturunkannya tangan dari bahu Andra lalu disimpannya dalam saku celana. “Kalau gitu kamu makan dulu. Kebetulan aku sudah makan.” Andra mengangguk lalu meneruskan langkah menuju kantin, membawa hati yang panas membara. Mungkin secangkir kopi atau segelas teh bisa mematikan api yang nyaris membakar habis tubuhnya. Sore itu kedua kakak Mei dan keluarganya datang menjenguk sekalian menjemput bapak dan ibu Mei. Rangga yang akan menu
Baca selengkapnya
Bab 25: Lamaran Andra
Andra mendorong kursi roda menyusuri koridor rumah sakit. Sebelas hari dirawat akhirnya Mei diizinkan pulang. Diam-diam ia lega karena Amran tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Ia merasa bebas meski sempat panas karena melihat Amran menyuapi Mei. Melihat sikap Mei yang melunak, tunas-tunas harapan di hati Andra tumbuh subur. “Aku ikut Rangga saja, Mas,” ujar Mei ketika Andra mengarahkan kursi roda ke mobilnya. “Iya, Mas. Mbak Mei bareng saya saja.” Rangga memasukkan barang-barang ke bagasi kemudian mengambil alih kursi roda dari Andra. “Makasih bantuannya, Mas. Mas Andra pulang saja. Biar bisa istirahat.” Mei tersenyum tulus. Meski ia sudah tidak punya perasaan apa pun pada Andra, tetap saja pria itu telah menungguinya tanpa jeda. Ia berutang budi pada Andra. “Aku nggak akan tenang kalau kamu belum sampai rumah. Aku antar kamu.” Andra membalas senyum Mei. Ia akan menginap di Solo dan baru kembali ke Magelang esok hari. Nanti malam ia ada janji temu dengan salah satu ko
Baca selengkapnya
Bab 26: Duel
“Mas Andra, stop!” Mei mulai terbawa emosi. “Lebih baik Mas Andra pergi kalau nggak bisa diajak bicara baik-baik. Kita ini sudah dewasa, Mas. Please, jangan kekanak-kanakan seperti ini.” “Jujur saja, Mei. Kamu nunggu Amran, kan?” “Oke, oke.” Mei mengganjur napas. Ia masih belum melepas pandangan dari Andra. Paginya yang hangat hilang akibat ulah Andra. “Memangnya, apa masalahnya buat Mas Andra kalau aku nunggu Prof. Amran?” “Ngapain kamu nunggu laki-laki pengecut seperti dia? Sampai kapan pun dia tidak akan punya nyali untuk melamarmu. Ngapain kamu nunggu laki-laki seperti itu?” Andra kalap. Hening sejenak. Mei terperangah. Ucapan Andra membuat otak Mei hang dan kepalanya pusing. Mungkin Amran selama ini memang tidak pernah mau jujur dengan perasaannya, tetapi menyebut Amran pengecut jelas tidak benar. Mei mengerti, menyembuhkan trauma tidak pernah mudah. Menindas rasa tidak percaya diri dan menjadi manusia paling jelek di dunia karena ditolak mentah-mentah bukan hal gampang. “Sa
Baca selengkapnya
Bab 27: Sat Set
“Terus? Soal kerjaan saya, Prof? Saya sudah bisa ngerjain laporan, Prof. Tangan dan otak saya bisa kerja, kok.” “Ya, Tuhan.’ Amran tidak sanggup menahan tawa. “Saya ke sini mau silaturahim, bukan mau ngomongin kerjaan.” “Silaturahim?” Mei makin tidak mengerti. Amran tidak pernah mengatakan apa pun sebelum kedatangannya hari ini.“Iya, saya pengen ngobrol sama Bapak dan Ibu. Waktu di rumah sakit baru kenalan dan Bapak Ibu keburu pulang.” “Oh.” Mei menggaruk kepala. Tatapan herannya masih menelisik paras secerah matahari pagi milik Amran. “Sebentar saya panggilkan Bapak Ibu, Prof.” Dengan bertumpu pada salah satu kaki, Mei masuk dan mengajak kedua orangtuanya ke depan. Ketika mereka sudah berada di ruang tamu, mendadak Mei jadi overthinking. Apa mungkin Prof. Amran berubah pikiran? Dia tidak lagi menganggapku sekadar asisten? Ah, pikiran macam apa ini? Mei buru-buru memadamkan harapan di hatinya. Prof. Amran cuma mau silaturahim, Mei. Mau kenalan sama Bapak Ibu. Jangan ge er dulu.A
Baca selengkapnya
Bab 28: Wedding Come True
“Lho, lho, Ibu kenapa, sih?” Sambil meringis kesakitan, Amran melepas jemari ibunya dari telinga lalu mundur selangkah. “Nggak melamar salah, melamar juga salah. Jadi maunya Ibu gimana? Ibu mau jodohin saya sama orang lain? Ibu punya calon lain?” “Ya, Allah, kamu ini malu-maluin Ibu dan almarhum Bapak, Ran?” Ratih berdiri, meletakkan Al Quran di rak, lalu kembali duduk di kursi malas. Selain bujang karatan, ternyata putranya juga terlalu polos untuk hal-hal seperti ini. Hampir sepuluh tahun di Jerman mungkin sedikit melupakannya dari tradisi leluhur. “Malu-maluin gimana, Bu? Saya datang melamar Mei. Saya dan Mei tidak melakukan perbuatan dosa. Apanya yang memalukan?” Amran semakin tidak mengerti maksud sang ibu. Tiga puluh tahun sejak pertama baligh ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga diri dari perbuatan dosa. Ketika di Jerman, ia sama sekali tidak pernah clubbing apalagi menenggak minuman beralkohol. Lalu sekarang tiba-tiba ia dianggap telah mempermalukan Ibu dan Bapak. Amran
Baca selengkapnya
Bab 29: Melepas Kutukan Bujang Karatan
Setelah kepergian Alvin dan Bastian, giliran Najma dan Aina yang berpamitan. “Pamit dulu, Mei sayang,” ujar Aina ketika mereka sudah berada di depan Mei dan Amran. “Makasih, Na.” Dipeluknya erat tubuh sahabatnya. “Aku pasti akan kangen nggosip bareng kalian.” “Besok kamu nggosip sama Prof. Amran saja.” Keduanya tergelak. "Bakal seru banget nggosip sambil ehem-ehem." "Apaan, sih." Mei mencubit hidung Mei. "Biasanya pengantin baru masih panas." "Panas mana sama pantat panci?""Panas ranjang pengantin baru." "Please, jaga omongan kalian. Di sini ada anak di bawah umur." Najma menyela sembari memasang wajah memelas. "Eh, iya. Ntar dia minta kawin, kan, gawat." Aina tertawa diikuti Mei dan Amran. "Sini giliran aku yang pamitan." Najma menggeser tubuh Aina. “Met honeymoon, Mbak Mei. Ditunggu keponakannya segera launching," ucapnya tanpa mempedulikan protes Aina. “Baru juga nikah, dah ditodong keponakan.” Mei tertawa lalu memeluk Najma. “We’re gonna miss you, Mbak. Tetep main ke
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status