Semua Bab Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku: Bab 31 - Bab 40
59 Bab
Bab 30: Kekhawatiran Mei
Pernikahan dengan Amran memang bukan yang pertama bagi Mei. Meski demikian, ia tetap merasa memasuki dunia baru yang tidak ia kenal. Amran tentu beda dengan Andra dan Mei tetap harus beradaptasi dengan ritme kehidupan Amran. Seperti hari ini ketika ia menjemput Amran di Bandara Adisumarmo, dada Mei tetap berdebar menanti pertemuan kembali setelah berpisah seminggu. Apa yang harus dilakukannya untuk menyenangkan hati Amran? Apakah ia harus dandan maksimal? Apakah ia harus memasak makanan favorit Amran? Ia lupa bertanya apa menu favorit pria itu. Mei hanya ingat Amran sangat suka minum teh. Tidak mungkin ia hanya menyuguhkan teh saat Amran pulang. Lintasan-lintasan pikiran itu membuat Mei cemas sekaligus juga penasaran. "Suami dari perjalanan jauh harus disenangkan hatinya. Biar dia lupa sama yang bening-bening di luar sana dan lengket sama kamu." Awalnya Mei menganggap angin lalu nasihat itu. Mei tahu siapa saja kolega Amran di fakultas. Mei juga tahu bagaimana mahasiswa di fakultas
Baca selengkapnya
Bab 31: Kangen-Kangenan
“Prof, kalau lagi rapat jangan unboxing, ya. Nanti saja kalau sudah malam.” Salah satu peserta rapat berseru yang diikuti tawa yang lain. Ya, Tuhan. Amran meneguk teh dan menelannya cepat-cepat. Dihelanya napas karena forum makin tidak terkendali. “Maaf, ya, Prof, kami ganggu waktu ehem-ehemnya.” Lagi, ada yang melempar bola panas. Dasar mahasiswa tidak berakhlak! Amran mengomel dalam hati. Lalu, Dengan muka memerah, Amran menatap Mei. "Kami sedang rapat penting, Meine Schatzi. Would you mind to leave me alone, please?" Bukan Amran tak ingin Mei bertegur sapa, tetapi pembicaraan mereka sedang di titik kulminasi karena menyangkut pembengkakan biaya. Amran tidak ingin Mei ikut memikirkannya. Ia sudah memberi izin cuti sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan Amran benar-benar ingin membebaskan Mei dari segala jenis beban proyek. "Nanti aku panggil setelah rapat selesai dan kamu bisa ngobrol dengan mereka. Okay?" Amran menangkupkan telapak tangan di pipi Mei lalu mengecup bibir
Baca selengkapnya
Bab 32: Riak-Riak Kecil
Awalnya, Mei dan Amran memang tidak terlambat. Alarm ponsel membangunkan Amran lebih dulu. Setelah membersihkan diri, ia mencium kening dan bibir Mei, memaksanya terjaga dan bersiap. Mereka akan naik kereta pertama jurusan Yogyakarta dari Stasiun Jebres. "Hei, bangun, Meine Schatzi." Amran mengguncang tubuh Mei karena ciumannya tak berhasil membangunkannya. "Lombok sudah menunggu kita, Mei." "Jam berapa, Mas?" Dengan mata masih terpejam, Mei menggeliat. "Hampir subuh." "Hah!" Mendengar kata subuh, Mei terperanjat. Ia membuka mata lalu menyibak selimut, tetapi segera menutupkannya kembali ketika menyadari tubuhnya hanya dibalut gaun tidur sementara lampu kamar menyala terang. "To-tolong hadap sana, Prof." Mei menenggelamkan tubuhnya di balik selimut. Seluruh tubuhnya, kecuali mata, tetutup kain tebal berwarna merah. Amran tersenyum geli lalu berdiri. Diraihnya baju koko dari gantungan dan segera memakainya. Lalu, ditinggalkannya kamar. Waktu subuh belum tiba, tetapi lebih baik ia
Baca selengkapnya
Bab 33: Kopi yang Meredam Amarah
Sekian detik tatapan keduanya bertemu. Mei ingin bersorak. Ia tidak menyangka kalau Amran ternyata bisa bersikap romantis. Sementara Amran lega karena akhirnya bisa mempraktikkan saran dari konsultan-konsultan pernikahan yang ia dengar ceramahnya di youtube agar sering memuji istri dan sesekali menggombal. Sebelum menikah, Amran juga mencari daftar kata dan kalimat romantis yang bisa diucapkan pada istri. Ia mencatat semuanya dan berusaha keras menghapal. Hari ini hapalan recehnya ternyata berhasil membuat Mei salting. Amran selalu senang melihat Mei salah tingkah. Kesal di hatinya pun semakin berkurang.Denting piano Yiruna, aroma kopi panas, dan wangi kue menyambut Mei dan Amran. Mereka memilih meja di dekat dinding kaca. Dari tempat mereka duduk, hiruk-pikuk stasiun terlihat seperti putaran film dokumenter salah satu episode perjalanan hidup manusia, datang dan pergi. "Ngomong-ngomong, beneran Prof, kita bakal ke Gili Trawangan? Beneran Prof dapat cuti?" Mei masih sedikit sangsi.
Baca selengkapnya
Bab 34: Lintasan Pikiran yang Mengganggu
Bastian kabur setelah puas mengolok-olok Amran. Profesor muda itu bisa membayangkan bagaimana wajah Bastian saat berkelakar. Pria itu pasti tertawa puas, bila perlu sampai terpingkal-pingkal. Bastian tidak pernah setengah-setengah kalau meledek orang lain.Astagfirullah. Amran menatap layar ponsel sesaat seebelum memasukkan ke saku. Ia tidak pernah tersinggung dengan kelakar Bastian. Sebagai anak tunggal, Amran tidak pernah merasakan punya saudara dekat. Bastian dan Alvin mengobati kerinduannya akan sosok adik. Kehadiran mereka mewarnai kehidupan Amran. Bastian kadang mengajaknya menonton resital piano di Purna Budaya atau pentas musik di ISI. Setelahnya, mereka akan duduk di kafe dan mengobrol tentang banyak hal. Satu hal yang hampir tidak pernah dilakukan Amran karena selama ini hidupnya hanya di kampus dan rumah. Meski Alvin jauh lebih pendiam dari Bastian dan seperti memiliki dunia sendiri yang sulit dimasuki orang lain, Amran tetap menyukai anak itu. Ia pekerja keras, sigap, da
Baca selengkapnya
Bab 35: Surga Dunia
Mulut Mei sudah terbuka untuk kembai menggoda Amran tertutup lagi ketika petugas kereta mengumumkan kalau mereka akan segera sampai Stasiun Tugu. "Cek barang-barangmu, Meine Schatzi. Jangan sampai ada yang ketinggalan." Embusan napas lega lolos dari mulut Amran. Akhir perjalanan telah menyelamatkannya. Tidak ada lagi kesempatan bagi Mei untuk menggoda dan membuatnya malu. Mei menurut walau sebenarnya merasa tidak perlu melakukan apa pun. Sejak berada di dalam kereta, ia hanya mengeluarkan ponsel dan earphone. Keduanya kini sudah berada di dalam tas. Namun, Mei tetap berdiri dan mengecek kalau-kalau ada barang yang tertinggal di kursi.Roda-roda kereta melambat saat memasuki stasiun. Ruang di dalam kereta seketika menjadi lebih gelap. Gesekan roda kereta dengan rel saat masinis menarik tuas rem menimbulkan bunyi cukup nyaring, menyela suara-suara penumpang di dalam kereta yang saling mengingatkan anggota keluarganya. Sebagian penumpang berdiri dan bersiap turun sementara Amran memili
Baca selengkapnya
Bab 36: Canda yang Tak Disukai Amran
“Kamu bisa saja, Kay.” Sebenarnya Mei tidak ingin memikirkan apa pun, tetapi kata surga dunia mengingatkan Mei pada perlakuan Amran dan ingatan itu membuat dadanya mengembang dan kedua pipinya memerah. “Nah, kan, belum apa-apa Mbak Mei sudah tersipu-sipu. Diapain saja sama Mas Amran?” Mei membelalak lalu buru-buru berbalik hendak keluar kamar. Otaknya bisa geser kalau terus-terusan di sana bersama Kayla yang tidak bisa menjaga bicara. Lebih baik ia menyiapkan minum untuk Amran. Namun, Mei urung melangkah karena Amran sudah berada di samping Kayla, berdiri tepat di hadapannya. Pria itu menjewer telinga Kayla hingga gadis itu mengaduh.“Lepaskan! Mas Amran apa-apaan, sih?” Kayla berusaha menarik tangan Amran yang justru semakin kuat mencengkeram. “Tolong kalau ngomong jangan sembarangan, Bocah Nakal.” Amran menggeretakkan gigi. “Hal-hal seperti itu bukan untuk bahan guyon. Ngerti kamu?” “A-ampun, Yang Mulia. Tolong lepas telinga Hamba. Sakit, Yang Mulia!” “Minta maaf dulu baru ak
Baca selengkapnya
Bab 37: Rayuan Amran
Amran tidak menanggapi ucapan Mei. Ia memilih pergi ke kamar mandi. Raut mukanya kembali tegang, khawatir ada barang-barang pribadi yang tertinggal. Benar-benar memalukan kalau sampai hal itu terjadi dan ketahuan Kayla. Wangi lavender dari lilin aromaterapi mengerubuti hidung ketika pintu kamar mandi terbuka. Bathtub terisi air dengan kelopak-kelopak mawar mengapung di permukaannya. Amran membuka tempat baju kotor. Amran menarik napas lega menjumpai kotak berbahan rotan itu kosong. Ia telah meninggalkan kamar dalam keadaan bersih, tidak memalukan ketika dimasuki orang lain. Dengan wajah lebih rileks, Amran kembali ke kamar dan duduk di bibir ranjang yang bertabur kelopak mawar merah dan putih serta kuntum-kuntum melati, agak berlebihan menurut Amran. Ia tidak terlalu menyukai hal-hal seremonial seperti ini. Semua atas keinginan sang ibu dan Amran harus menerima sebagai tanda bakti. “Masih marah?” Mei duduk di samping Amran. Amran menoleh, menatap lurus-lurus Mei yang telah membuka
Baca selengkapnya
Bab 38: Yang Tersisa Dari Kebakaran
Sebelum keluar rumah, Amran pergi ke kamar Ratih untuk berpamitan. "Bu, saya ke Bantul dulu. Kandang kebakaran. Minta doanya semoga nggak ada masalah serius." "Iya, Ran. Hati-hati di jalan." Ratih menepuk pipi Amran. "Nggak usah ngebut. Yang tenang.""Iya, Bu. Doakan saya." Amran mencium punggung tangan Ratih. Lalu, tak lama kemudian, deru mobilnya membelah keheningan dini hari. Jalanan yang lengang membantu Amran sampai tujuan lebih cepat. Jantungnya berpacu ketika mobilnya memasuki Bambanglipuro. Kemungkinan kandang terbakar tidak pernah terlintas di pikiran Amran. Mereka memang memulai program saat musim kemarau, tetapi cuaca daerah Bantul tidak terlalu panas. Selain itu, kandang berada di dekat embung dan di dekat persawahan yang subur. Sejauh ini, Amran belum pernah mendengar ada kebakaran di tengah sawah. Amran memang memasukkan force major dalam proyeknya, tetapi bukan kebakaran. Ia lebih berpikir tentang serangan wabah penyakit yang bisa membunuh semua ternak. Ada potensi
Baca selengkapnya
Bab 39: Haruskah Menyalahkan Takdir
Amran selalu bersiap menghadapi sesuatu, baik dan buruk, tetapi kehilangan memang tak pernah bisa disiapkan. Kini, sebelum bisa berdamai dengan terbakarnya kandang, ia harus menerima berita buruk berikutnya. Ada bayang wajah Alvin menanggung sakit yang membuat dada Amran sedikit sesak sampai-sampai ia harus berusaha keras menjaga konsentrasi agar bisa mencerna penjelasan mahasiswanya. Hubungannya dengan Alvin memang hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Namun, justru karena itulah Amran merasa harus bertanggung jawab. “Saya akan ke rumah sakit sekarang, Prof.” Bastian berseru khawatir. Ia melihat sendiri bagaimana telapak tangan dan kaki Alvin melepuh dan terkelupas kulitnya menyisakan daging tertutup darah. Kini, sahabatnya harus mendapat vonis baru yang semakin memperburuk keadaan. Bastian ingin berada di samping Alvin. Setidaknya, ia bisa memastikan kalau Alvin tertangani dengan baik. Amran menggeleng cepat. Tangannya meraih lengan Bastian, menahan pria itu yang hampir berlari menuj
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status