All Chapters of Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50
59 Chapters
Bab 40: Siapa yang Harus Dicurigai
“Tidak, tidak perlu.” Amran meneguk kopinya. “Nanti sore aku pulang. Kamu tidak perlu ke sini. Semua baik-baik saja.” “Oh, oke.” Amran tahu Mei kecewa, tetapi ia tidak ingin terlihat rapuh di depan Mei. Kejadian ini membuat hatinya diamuk badai. Jangan sampai Mei mengetahui kegusarannya. Amran segera mengakhiri pembicaraan karena tidak ingin mendengar permintaan Mei. Amran hapal tabiat Mei. Perempuan itu pasti tidak akan menyerah begitu saja meski bibirnya menyebut kata “oke”. Ia ingin bertemu Mei, tetapi tidak sekarang. Amran butuh waktu melerai gelisah sehingga saat bertemu Mei, suasana hatinya sudah lebih baik. Baru saja Amran menghabiskan kopinya, notifikasi pesan dari Mei muncul di layar ponsel. Ujung telunjuk Amran bergerak cepat membuka pesan dan Amran merasa dirinya benar-benar sial saat membaca pesan dari Mei. “Mas, ada temen yang pengen liburan ke Gilli Trawangan. Aku tawarin tiket kita dan dia mau.” Ya, Tuhan, Amran menggenggam gelas erat-erat. Kenapa kamu nggak ngomo
Read more
Bab 41: Kemarahan Amran
Amran berdiri, mendekati jendela dan membuka tirainya sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk, menerangi dan menghangatkan kamar. Setelah sekian waktu berdiri di balik jendela, menatap halaman rumah sakit yang mulai ramai dengan kehadiran karyawan dan para penunggu pasien yang keluar untuk membeli makan, Amran berbalik lalu kembali duduk di samping ranjang. “Polisi sedang menyelidiki. Saya tidak habis pikir kalau beneran ada yang sengaja membakar kandang. Kita menyewa tanah kas desa itu dengan harga pantas. Kita juga tidak merusak apa pun. Justru warga diuntungkan. Pengeluaran warga berkurang karena sekarang tidak perlu membeli gas. Lingkungan mereka juga lebih bersih dan sehat.” “Hati manusia kadang tak bisa ditebak, Prof. Kadang kebaikan bisa tampak buruk di hati orang yang menyimpan dengki.” Amran tercenung. Entah mengapa kata dengki mengingatkan Amran pada Andra. Bukan tidak mungkin Andra menjadi dalang peristiwa ini. Walaupun jarang turun ke masyarakat, tetapi Andra selal
Read more
Bab 42: Mau Punya Berapa Anak
Mei menoleh sekilas pada Aina sebelum kembali menatap Amran. Kali ini dia mengizinkan Aina menjadikannya bahan ghibab dengan menyebar aib tanpa permisi. Hanya kali ini. Semua demi meluluhkan hati Amran. “Jadi, demi kewarasan kami bertiga, saya usul ke dia supaya ke sini menyusul Prof. Amran. Saya kira, dia bisa tenang dan tidak akan merecoki kami setelah bertemu Anda, Prof. Apalagi kami lagi banyak kerjaan dan pikiran. Kerewelan Mei sangat-sangat mengganggu.” Aina mengakhiri penjelasan dengan memasang senyum semanis arum manis. Diliriknya Mei dengan tatap penuh kemenangan. Kapan lagi bisa me-roasting teman di hadapan suaminya sampai-sampai Aina ingin bersorak melihat tampang kesal Mei. Lagi, Amran mengatur napas, mencoba mengesampingkan ego. Ada Alvin dan Fahmi. Tidak elok kalau sampai terjadi pertengkaran di sini, di depan mereka. Apalagi mereka sedang berada di rumah sakit. "Jadi dia ke sini karena mengkhawatirkan Anda, Prof, bukan mau jenguk Alvin. Kalau Prof mau marah, sama sa
Read more
Bab 43: Diam-Diam Ingin Diperhatikan
Dua hari setelahnya, Amran baru pulang, menghabiskan jatah baju ganti yang disiapkan Mei dan memastikan pembangunan kandang bisa segera dimulai. “Pak Kades ingin ada seremoni peletakan batu pertama yang dihadiri Pak Bupati, Prof.” Bastian melaporkan ketika Amran selesai rapat dengan warga sebelum pulang ke Yogyakarta. “Atur saja, Bas.” Tanpa pikir panjang Amran menyetujui permintaan Pak Kades. Ia terlalu lelah. Tidak ada lagi ruang di kepalanya untuk memikirkan permintaan Pak Kades. Seandainya saraf otak bisa dilihat, mungkin saat ini serabut-serabut tipis di kepalanya itu sudah menyerupai gulungan benang kusut. “Bagaimana kalau kita jadi alat pencitraan politik, Prof?” “Kemungkinan itu selalu ada. Tapi kerja kita di sini masih lama. Kita bisa mengakhiri kerjasama kalau terbukti hanya jadi alat pencitraan.” Bastian hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Amran. Ia juga sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk berdiskusi lebih panjang. Punggungnya sangat pegal dan kelopak matany
Read more
44: Tawaran untuk Amran
Waktu cuti Amran memang belum habis, tetapi semesta sepertinya tidak membiarkan pria itu memiliki waktu luang. Seperti pagi itu, ponselnya berdering kala Amran baru saja sarapan. Bukan sarapan yang sebenarnya karena ia menghabiskan waktu bersama Mei di kamar sejak matahari baru saja muncul di celah langit dan cahayanya belum terlalu terang. Kini, sinar matahari nyaris sempurna menyiram bumi dan sebagiannya menerobos masuk lewat lubang ventilasi di atas jendela yang masih tertutup lalu menimpa bagian atas rak buku setinggi satu meter, tepat pada batang bunga sedap malam dan kelopak mawar. Amran merasa tidak perlu tergesa karena nada dering yang menyala menandakan si penelpon bukan orang yang dikenal. Diambilnya kaus dan celana kemudian memakainya dengan santai. Lantas, ia turun dari ranjang dan mengambil ponsel di atas rak. Panggilan kedua tengah berlangsung ketika matanya menatap layar. Deret angka yang tidak ada dalam phonebook tertera di layar. Dengan dahi sedikit mengernyit, telu
Read more
Bab 45: Halo, Lila
“Rahasia.”“Kasih bocoran, dong. Biar nggak penasaran.” “Pokoknya rahasia.” Mei tertawa. Ia senang memberi kejutan dan membuat Amran penasaran. Ia bisa membayangkan wajah Amran saat penasaran, antara ingin tahu dan pasrah karena selalu gagal menebak. “Kasih clue. Huruf depan atau bahan-bahannya mungkin.” Amran masih mencoba mencari celah. Gelar profesornya mendadak tidak artinya setiap kali berhadapan dengan Mei. Otaknya seolah tidak mampu bekerja dengan baik. Sungguh meresahkan. “Rahasia, Prof." Lagi, Mei terkekeh. Ia makin di atas angin."Come on, Meine Schatzi. Please, kasih tahu.""Dah, ya, Prof. Met lembur.” Pesan terakhir Mei diikuti emoticon love. Setelah pertemuan dengan Nana, Amran memang memberitahu Mei kalau ia akan pulang terlambat hari ini. Mungkin karena itu Mei mengirim makanan untuknya. Setibanya di depan tangga lantai dua, Amran menyimpan ponsel di saku kemudian menaiki tangga menuju lantai tiga dengan cepat hingga suara ketukan sepatunya memenuhi udara. Sesuai
Read more
Bab 46: Drama Lila
"Aku sudah deket kosan kamu, La. Please be patient." Amran berseru gusar. Untuk kesekian kali Lila menghubunginya dan memintanya datang lebih cepat. Sempat terjebak macet di dua trafic light, akhirnya Amran tiba di depan rumah bergaya Victoria di ujung kompleks perumahan mewah di daerah Seturan. Amran berdiri sesaat di samping mobil, memastikan jika ia tdak salah tempat. Ditatapnya bangunan bercat putih dan berjendela lebar dan tinggi dengan teras sedikit menjorok ke depan. Teras itu memiliki atap berbentuk lengkung dan disangga empat tiang besar. Dua lampu dalam kap klasik tergantung di dua tiang penyangga paling depan. Amran mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu kembali melihat ke arah kosan Lila. Kesiur anging meriapkan bagian atas rambutnya, menyisakan hawa dingin di tangan yang tidak tertutup jas. Rumah di hadapan Amran terlihat mencolok karena arsitekturnya yang berbeda. Rumah-rumah lain bergaya Eropa atau Amerika modern dan cenderung minimalis. Sementara kosan Lila, sanga
Read more
Bab 47: Drama Lila (2)
Amran menatap jalan dengan gelisah. Bibirnya terkatup rapat sementara tangannya mencengkeram kemudi kuat-kuat. Permintaan Lila jelas sangat tidak masuk akal. Amran menggeleng keras. “Aku memang tidak akan membiarkanmu jadi gelandangan," ujarnya kemudian. Seketika bibir Lila melengkung, membayangkan ia akan diboyong Amran ke rumahnya sehingga rencananya akan semakin mudah terlaksana. “Tapi juga tidak akan membawamu ke rumahku,” tegas Amran. Ekor matanya melirik Lila sekilas lalu kembali melihat ke depan, tepat ketika lampu hijau menyala sehingga Amran segera menginjak pedal gas. Senyum Lila menguap dan bahunya melorot. Embusan napas kasar terlepas dari mulutnya. “Terus? Aku harus tinggal di mana, Ran, kalau tidak di rumahmu. Ini sudah malam. Aku juga nggak tahu harus cari kos di mana?” "Kamu diam dulu. Biar kupikirkan tempat yang tepat untukmu malam ini." "Kamu tega banget sama aku, Ran." Lila mengubah posisi duduk. Ia tak lagi menghadap Amran. Sekian detik berikutnya, perempuan i
Read more
Bab 48: Drama Lila (3)
Amran menghela napas. Ia bisa membaca maksud Lila. Perempuan itu tentu ingin menahannya lebih lama, tetapi Amran tidak ingin mengikuti keinginan Lila. Ada nama baiknya, nama baik keluarga, dan tentu saja hati Mei yang harus dijaga. Apa jadinya laki-laki dan perempuan hanya berdua di dalam kamar? Amran ngeri. Meski lama tinggal di Jerman, ia tidak pernah sekali pun mengikuti gaya hidup bebas orang barat. Ia masih orang timur. “Bukannya di kos kamu biasa makan sendiri?” tanya Amran kemudian. “Nggaklah. Seringnya makan bareng sama temen-temen.” Lila memasang senyum paling manis. “Ada televisi di dalam. Kamu bisa makan sambil nonton.” Amran membalas senyum Lila lalu pamit. Ia pergi tanpa menunggu respons Lila. Kali ini Lila tidak punya cara untuk menahan Amran. Jadi, ia hanya mematung, menatap tubuh mantan calon suaminya itu menjauh hingga lenyap dibalik pintu lift. Keesokan harinya, ponsel Amran berdering ketika ia tengah bersiap pergi dengan Mei. Ia mengajak Mei ke Banyu Langit hot
Read more
Bab 49: Drama Lila (4)
Astagfirullah. Amran menghela napas melihat ulah Lila. Untung cuma gelas kertas. "Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum, ayo makan dulu. Setelah itu kita cari jalan keluar bareng-bareng." Amran memegang lengan Lila. "Aku yakin, pasti ada jalan keluar."Lila menoleh, menatap Amran dengan pandangan putus asa. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang terdengar. "Aku tahu masalah kamu berat, tapi ini bukan Lila yang kukenal. Kamu orang yang kuat, percaya diri, dan selalu optimis. Come on, La, don't give up." Lila memalingkan pandangan dari wajah Amran seraya tersenyum sinis. Disentaknya tangan Amran yang masih memegang lengannya kemudian berdiri. Lalu, dengan gerakan cepat, diambilnya vas keramik di tengah meja dan melemparkannya ke tembok hingga menimbulkan bunyi berderak cukup keras disusul suara berdenting saat serpihan-serpihan keramik berhamburan di lantai. Sesaat mulut Amran terbuka dan matanya membelalak memandang Lila berdiri denga
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status