All Chapters of Nikah Kontrak Demi Balas Dendam: Chapter 81 - Chapter 89

Satu hal yang membuat Albani tak mau kalau Aileen membuka amplop itu tanpa dirinya. Ia sudah bisa mengetahui siapa yang mengirimkan amplop itu, dan ia mungkin tau apa isi amplop itu. Sebelum semuanya jadi runyam, dan menimbulkan kesalahpahaman oleh Aileen. Ia lebih baik memberitahu Aileen lebih dulu. Albani buru-buru pergi ke kantor Aileen, ia bahkan tidak menggunakan sopir pribadi dan menyetir mobilnya sendiri agar bisa menambahkan kecepatan tinggi. Rumah tangganya dengan Aileen baru saja dimulai, ia amat bahagia bisa mendapatkan wanita sebaik Aileen dalam hidupnya. Lalu, apa yang akan terjadi jika wanita itu menghancurkan rumah tangganya hanya dengan sebuah amplop yang dia belum yakin apa isi didalamnya. Tapi satu hal, Albani yakin seratus persen itu pemberian dari Marsha. "Harusnya saya singkirkan wanita itu sejak awal." Albani menggeram saat lampu lalu lintas berubah merah. Ia tak sabar harus segera sampai. Di ruangannya Aileen juga masih menunggu Albani, walau rasa penasaran s

Semuanya kini fokus pada Aileen, terkecuali mama Albani. Wanita itu fokus menunggui Albani yang belum selesai dilakukan tindakan operasi. Aileen masih pingsan, saat ini dokter tengah melakukan pemeriksaan.Hasya panik, padahal tadi Aileen tampak sehat tapi saking syoknya hingga wanita itu sampai jatuh pingsan. Martin, papa Albani tak kalah cemas dengan kondisi menantunya. Dokter masih memeriksa di dalam, ia tak bisa hanya diam menunggu, tapi itu saja yang bisa dilakukannya sekarang. "Keluarga Nyonya Aileen?"Papa mertuanya langsung maju mendekati suster. "Anda siapanya pasien?" "Saya mertuanya, Sus.""Suaminya dimana ya?" "Suaminya masih di operasi." "Oh, maafkan saya. Baik, Pak. Anda boleh masuk." "Baik."Martin melihat Hasya, lalu Hasya mengangguk paham. Ia hanya bisa menunggu penjelasan dokter tentang Aileen nanti. Martin sangat cemas, Aileen masih pingsan di dalam sana. "Pak, silakan duduk." Dokter meminta Martin duduk, laki-laki itu pun duduk. "Dokter, bagaimana kondisi m

Melani membeku, ia hanya bisa menangisi segala fakta yang baru terungkap. Bahkan Melani kini tidak tau apa yang harus diperbuat. Ia sudah salah paham, tapi tindakannya selama ini terlalu kentara saat membenci Aileen, ternyata selama ini bukan Aileen yang seharusnya ia jauhi, tapi melainkan Marsha.. Wanita itu terlalu terpengaruh oleh mulut manis dan hasutan Marsha, tanpa melakukan investigasi lebih lanjut tentang fakta kebenaran berita itu. Lalu kalau sudah begini, ia sendiri jadi bingung, apa yang harus dilakukan. Apa dia mungkin dimaafkan, sementara tabiat buruknya sudah sangat amat berlebihan. "Nyonya, kenapa Anda malah di sini?" Seseorang muncul, bertanya dengan nada lembut dan sopan. Saat Melani yang berjongkok lalu mendongak, wajah itu malah tersenyum, meski ada keraguan. "M-Maaf, bukan maksud saya menganggu Anda. Tapi Al sudah siuman. Anda ibunya, tentu lebih berhak untuk melihat kondisi Al lebih dulu." "Al sudah siuman?" Aileen agak kaget, melihat wajah Melani yang

“Kenapa selalu wanita itu yang menang?” desis Marsha geram, melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia tak mengerti, bagaimana bisa nasib begitu memihak Aileen. Padahal Marsha sudah menyusun rencana matang. Ia sudah menyerahkan amplop cokelat berisi foto dan dokumen masa lalu Albani yang kelam kepada sekretaris Aileen, Hasya. Amplop yang seharusnya menjadi senjata pemusnah rumah tangga Aileen. Marsha memijat pelipisnya. “Apa amplop itu belum dibuka? Atau Hasya tidak menyerahkannya?” Dugaan itu membuatnya semakin kesal. Ia ingat betul, ekspresi Hasya saat menerima amplop itu memang mencurigakan. Wajahnya tegang, bahkan seolah menolak secara halus. Dan kini Marsha yakin, amplop itu tidak sampai ke tangan Aileen. “Aku harus bertindak,” gumamnya lirih. Marsha membuka laptopnya dan mulai menelusuri media sosial, mencari celah baru. Ia menyimpan beberapa video lama yang memperlihatkan Albani di masa lalunya, saat masih dekat dengan wanita lain sebelum menikah dengan Aileen. Salah satu

Ruangan kerja Aileen terasa berbeda hari itu. Meskipun sinar matahari menyinari meja dan sofa favoritnya, ada hawa dingin yang menggantung di udara. Hawa yang berasal dari satu benda kecil… amplop cokelat itu.Ia berdiri mematung di depan mejanya. Matanya menatap benda yang sejak hari pertama terasa seperti bom waktu. Amplop itu terselip rapi di dalam laci, tak pernah disentuh, tapi tak pernah juga benar-benar dilupakan.Kata-kata Albani terngiang di telinganya:> “Jangan buka itu sendirian, Sayang. Aku tidak mau kau menghadapi hal-hal buruk tanpa aku.”Tapi hari ini, Aileen merasa... cukup kuat. Dia sudah terlalu lama membiarkan tanda tanya mengendap di dalam hatinya. Dia mencintai Albani, benar. Tapi bukankah kepercayaan juga berarti berani melihat kebenaran?Tangannya gemetar saat menarik amplop itu keluar. Ia menatapnya sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.“Kalau pun ini menyakitkan,” bisiknya lirih, “aku akan menghadapinya.”Dengan napas yang berat, Aileen mero