Semua Bab Jika Aku Membuang Bapak: Bab 11 - Bab 20
28 Bab
11. Waktu dan Kenangan
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.  Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar. Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya. Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?” Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit. Apa dia tidak bersekolah? &l
Baca selengkapnya
12. Pilih Istri atau Bapak
Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.  “Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.  “Ah, iya. Makasih ya, Pak.” “Iya sama-sama, Mas.”  Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.  “Saya bantu ya, Pak!” “Oh iya, Mas. Kebetulan saya se
Baca selengkapnya
13. Panti Jompo
Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya
Baca selengkapnya
14. Unur
Unur membawa dua tas yang cukup besar. Katanya ia akan tinggal selama satu bulan. Ada banyak hal yang harus dia urus sebelum kembali ke Jerman. Aku menenteng satu tas yang lebih besar sambil memasuki rumah.  Bibir Unur tersenyum senang ketika melantunkan salam dengan suara yang cukup keras. Ia sudah melangkah masuk sambil melompat riang ketika tiba-tiba Bapak merangkak dari dalam dan menggapai-gapai udara sambil tertawa-tawa. Seperti biasa saat dia menyambutku sehabis kerja.  Unur terpaku cukup lama. Tas yang dia tenteng terjatuh lima detik kemudian. Aku hanya melihat punggungnya yang menegang.  Bapak masih melompat-lompat sambil tertawa ke arahku. Dengan cepat aku menghampirinya, berjongkok di samping Bapak dan membersihkan kotoran di lututnya.  “Jangan merangkak begitu, Pak. Lututnya bisa berdarah lagi.&r
Baca selengkapnya
15. Melepaskan Tanggung Jawab
“Kasih Abang kesempatan untuk menjelaskan soal Bapak, Nur. Di mana kamu sekarang? Sudah dapat kos belum?” Unur akhirnya mengangkat teleponku keesokan harinya. Aku berharap amarahnya bisa perlahan reda sebelum dia kembali ke Jerman. “Sudah, Abang nggak usah ke sini kalau cuma mau ngomongin orang itu.”“Unur, Abang mohon. Kita masih punya orang tua. Biarkan Abang jelaskan tentang Bapak.”“Aku nggak mau dengar! Sejak dia meninggalkan kita, kita nggak punya bapak lagi, Bang.”Napas ini kuhela dengan berat. Tidak mudah untuk membujuk Unur. Dia sangat memegang teguh pendiriannya. “Kalau begitu Abang nggak akan membahas soal Bapak. Abang cuma khawatir. Di mana kosmu, Dek?”“Abang nggak bakal bawa dia, ‘kan?”“Bapak nggak bisa jalan, Nur. Abang nggak bisa bawa Bapak seenaknya.”Ada jeda yang cukup panjang di seberang sana. Unur terdiam cukup lama sampai aku kembali memanggilnya. “Kosku di jalan Mangga Durian, nomor 78,” jawabnya. Entah kenapa suara Unur terdengar lirih. “Abang ke sana, ya
Baca selengkapnya
16. Makanan Basi untuk Bapak
Siang ini lebih terik dari biasanya. Aku beristirahat di pos-pos kecil yang biasanya aku, Parwo, dan Aziz pakai. Di sampingnya ada tiang listrik dan gunungan sampah. Meski baunya menusuk hidung, tapi ini satu-satunya tempat yang bisa kita gunakan untuk rehat dengan bebas. “Hasil nguli di pasar biasanya berapa, Mar?” Aziz mengembuskan asap rokoknya sambil menengadah. Bulir keringat menetes di lehernya. “Nggak nentu, Ziz. Mesti pontang-panting nyari pelanggan. Kalau ada 10 pelanggan ya bisa dapet 20 atau 30 ribu. Kalau datang pagi banget bisa nawarin ke pedagang, lumayanlah bisa dapat 50 ribu kalau ada tiga penjual mau diangkutin barangnya.”“Berat juga, ya.”“Mau apa kau tanya-tanya, Ziz? Mau nguli juga?” tanya Parwo lalu menyeruput kopi. Dia tidak merokok dan agak sensitif dengan asap rokok, tapi anehnya dia suka bergaul denganku dan Aziz yang seorang perokok, apalagi Aziz termasuk perokok berat. “Bapak lagi sakit di kampung, minta dikirimin duit. Mau cari tambahan,” terang Aziz.
Baca selengkapnya
17. Memilih Bapak
Rumah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk kudatangi. Eda sudah mengkhianati kepercayaanku. Aku selalu memaklumi semua keluhannya karena aku mengerti seberapa repot dia mengurus anak-anak kami dan juga Bapak. Namun, memberi Bapak makanan basi dan mentah bukanlah hal yang bisa kumaklumi lagi. Aku tak berteriak memanggil Eda seperti sebelumnya karena ada Bapak dalam gendonganku. Bapak bisa kaget nanti. Alhasil aku membaringkan Bapak di kamarnya lebih dulu, memastikannya tertidur dengan pulas. Kemudian aku mencari Eda dan menemukannya di dalam kamar kami yang sangat berantakan. Semua baju di dalam lemari kocar-kacir dan beberapa tas besar sudah tersedia. Bahkan ada tas Radit dan juga barang-barang Fauzi seolah Eda sudah siap untuk meninggalkan rumah ini. “Ngapain kamu, Eda?” Eda yang sedang tertidur di samping Fauzi membuka mata, menatapku sejenak lalu bangun dengan kerjapan mata mengantuk. “Baru pulang? Nggak usah pulang aja sekalian.” “Makanan apa yang kamu kasih ke Bapak?”E
Baca selengkapnya
18. Anak Berbakti Katanya
“Kita salat Magrib dulu ya, Pak.” Aku menurunkan Bapak di teras masjid. “Wudu dulu tapi, ya.”Bapak mengangguk asal. Setelah makan bubur dan minum obat, pucat di wajah Bapak sedikit memudar. Dia juga tidak muntah lagi. Hanya air liurnya yang terus-terusan menetes membasahi punggungku. Kugendong Bapak ke tempat berwudu, antri sejenak sebelum mendapatkan tempat. Aku menuntun Bapak berwudu lebih dulu, lalu bersuci untuk diriku sendiri sambil dipandang oleh orang-orang. “Bapaknya ya, Mas?” Seorang pria menyapa setelah aku dan Bapak hendak meninggalkan tempat wudu. Dari wajahnya, ia tampak lebih tua dariku. Berkumis tipis dengan lingkaran hitam yang jelas di bawah mata.“Iya, Pak. Bapak saya sakit, jadi mesti digendong.”“Masya Allah, berbakti sekali masnya. Ridho dunia akhirat.”“Aamiinn. Saya bersyukur masih dikasih kesempatan untuk berbakti, Pak.” “Betul. Banyak orang yang tidak diberi kesempatan seperti Mas ini. Kalau bapak saya meninggal karena kecelakaan, mendadak dipanggil Allah
Baca selengkapnya
19. Pengusiran Unur
Sepeda motor yang hampir kehabisan bensin ini kukayuh lagi dengan tekad yang hampir surut. Ke mana kami mesti tidur malam ini? Lalu nama Unur teringat di kepala. Jika Unur mau menerima kami, alangkah bersyukurnya aku dan Bapak. Hanya beberapa jam saja karena pagi akan mengambil alih sebentar lagi. Kami hanya perlu lantai untuk rebah sejenak. Untung saja aku tahu letak kos Unur. Besar harapanku ketika motor kuparkirkan di luar pagar kosan. Alhamdulillah, kosan yang Unur tempati selalu terbuka pagarnya 24 jam. “Assalamu’alaikum, Nur? Unur?” Pintu Unur kuketuk pelan agar tak mengganggu penghuni kamar sebelah. Sepertinya Unur tertidur dengan sangat nyenyak hingga salam dan panggilan yang sudah belasan kali tak jua mendapat respons dari dalam. “Unur, ini Abang. Tolong bukain, Dek.”Tak lama kemudian pintu di hadapan kami akhirnya terbuka. Unur muncul dengan rambut acak-acakan dan wajah mengantuk. Matanya ia usap sambil menyipit berusaha mengenaliku. “Alhamdulillah, akhirnya dibukain
Baca selengkapnya
20. Kesulitan Merawat Bapak
“Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status