“Kasih Abang kesempatan untuk menjelaskan soal Bapak, Nur. Di mana kamu sekarang? Sudah dapat kos belum?” Unur akhirnya mengangkat teleponku keesokan harinya. Aku berharap amarahnya bisa perlahan reda sebelum dia kembali ke Jerman. “Sudah, Abang nggak usah ke sini kalau cuma mau ngomongin orang itu.”“Unur, Abang mohon. Kita masih punya orang tua. Biarkan Abang jelaskan tentang Bapak.”“Aku nggak mau dengar! Sejak dia meninggalkan kita, kita nggak punya bapak lagi, Bang.”Napas ini kuhela dengan berat. Tidak mudah untuk membujuk Unur. Dia sangat memegang teguh pendiriannya. “Kalau begitu Abang nggak akan membahas soal Bapak. Abang cuma khawatir. Di mana kosmu, Dek?”“Abang nggak bakal bawa dia, ‘kan?”“Bapak nggak bisa jalan, Nur. Abang nggak bisa bawa Bapak seenaknya.”Ada jeda yang cukup panjang di seberang sana. Unur terdiam cukup lama sampai aku kembali memanggilnya. “Kosku di jalan Mangga Durian, nomor 78,” jawabnya. Entah kenapa suara Unur terdengar lirih. “Abang ke sana, ya
Siang ini lebih terik dari biasanya. Aku beristirahat di pos-pos kecil yang biasanya aku, Parwo, dan Aziz pakai. Di sampingnya ada tiang listrik dan gunungan sampah. Meski baunya menusuk hidung, tapi ini satu-satunya tempat yang bisa kita gunakan untuk rehat dengan bebas. “Hasil nguli di pasar biasanya berapa, Mar?” Aziz mengembuskan asap rokoknya sambil menengadah. Bulir keringat menetes di lehernya. “Nggak nentu, Ziz. Mesti pontang-panting nyari pelanggan. Kalau ada 10 pelanggan ya bisa dapet 20 atau 30 ribu. Kalau datang pagi banget bisa nawarin ke pedagang, lumayanlah bisa dapat 50 ribu kalau ada tiga penjual mau diangkutin barangnya.”“Berat juga, ya.”“Mau apa kau tanya-tanya, Ziz? Mau nguli juga?” tanya Parwo lalu menyeruput kopi. Dia tidak merokok dan agak sensitif dengan asap rokok, tapi anehnya dia suka bergaul denganku dan Aziz yang seorang perokok, apalagi Aziz termasuk perokok berat. “Bapak lagi sakit di kampung, minta dikirimin duit. Mau cari tambahan,” terang Aziz.
Rumah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk kudatangi. Eda sudah mengkhianati kepercayaanku. Aku selalu memaklumi semua keluhannya karena aku mengerti seberapa repot dia mengurus anak-anak kami dan juga Bapak. Namun, memberi Bapak makanan basi dan mentah bukanlah hal yang bisa kumaklumi lagi. Aku tak berteriak memanggil Eda seperti sebelumnya karena ada Bapak dalam gendonganku. Bapak bisa kaget nanti. Alhasil aku membaringkan Bapak di kamarnya lebih dulu, memastikannya tertidur dengan pulas. Kemudian aku mencari Eda dan menemukannya di dalam kamar kami yang sangat berantakan. Semua baju di dalam lemari kocar-kacir dan beberapa tas besar sudah tersedia. Bahkan ada tas Radit dan juga barang-barang Fauzi seolah Eda sudah siap untuk meninggalkan rumah ini. “Ngapain kamu, Eda?” Eda yang sedang tertidur di samping Fauzi membuka mata, menatapku sejenak lalu bangun dengan kerjapan mata mengantuk. “Baru pulang? Nggak usah pulang aja sekalian.” “Makanan apa yang kamu kasih ke Bapak?”E
“Kita salat Magrib dulu ya, Pak.” Aku menurunkan Bapak di teras masjid. “Wudu dulu tapi, ya.”Bapak mengangguk asal. Setelah makan bubur dan minum obat, pucat di wajah Bapak sedikit memudar. Dia juga tidak muntah lagi. Hanya air liurnya yang terus-terusan menetes membasahi punggungku. Kugendong Bapak ke tempat berwudu, antri sejenak sebelum mendapatkan tempat. Aku menuntun Bapak berwudu lebih dulu, lalu bersuci untuk diriku sendiri sambil dipandang oleh orang-orang. “Bapaknya ya, Mas?” Seorang pria menyapa setelah aku dan Bapak hendak meninggalkan tempat wudu. Dari wajahnya, ia tampak lebih tua dariku. Berkumis tipis dengan lingkaran hitam yang jelas di bawah mata.“Iya, Pak. Bapak saya sakit, jadi mesti digendong.”“Masya Allah, berbakti sekali masnya. Ridho dunia akhirat.”“Aamiinn. Saya bersyukur masih dikasih kesempatan untuk berbakti, Pak.” “Betul. Banyak orang yang tidak diberi kesempatan seperti Mas ini. Kalau bapak saya meninggal karena kecelakaan, mendadak dipanggil Allah
Sepeda motor yang hampir kehabisan bensin ini kukayuh lagi dengan tekad yang hampir surut. Ke mana kami mesti tidur malam ini? Lalu nama Unur teringat di kepala. Jika Unur mau menerima kami, alangkah bersyukurnya aku dan Bapak. Hanya beberapa jam saja karena pagi akan mengambil alih sebentar lagi. Kami hanya perlu lantai untuk rebah sejenak. Untung saja aku tahu letak kos Unur. Besar harapanku ketika motor kuparkirkan di luar pagar kosan. Alhamdulillah, kosan yang Unur tempati selalu terbuka pagarnya 24 jam. “Assalamu’alaikum, Nur? Unur?” Pintu Unur kuketuk pelan agar tak mengganggu penghuni kamar sebelah. Sepertinya Unur tertidur dengan sangat nyenyak hingga salam dan panggilan yang sudah belasan kali tak jua mendapat respons dari dalam. “Unur, ini Abang. Tolong bukain, Dek.”Tak lama kemudian pintu di hadapan kami akhirnya terbuka. Unur muncul dengan rambut acak-acakan dan wajah mengantuk. Matanya ia usap sambil menyipit berusaha mengenaliku. “Alhamdulillah, akhirnya dibukain
“Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa
Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se
Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar